Senin, 16 Juni 2014

Menanti Keadilan

Menanti Keadilan

Syafruddin Ngulma Simeulue  ;   Komisioner Komnas HAM (2007-2012);
Wakil Ketua Dewan Nasional Walhi (2005-2007)
KOMPAS,  16 Juni 2014

                                                                                         
                                                      
TULISAN Bung Mugiyanto, Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, ”Kami yang Menanti Keadilan”, di rubrik Opini Kompas, Sabtu (24/5), sungguh membuat siapa pun terenyuh sekaligus membangkitkan empati.

Saya memahami jeritan hati keluarga para korban yang disuarakan Bung Mugiyanto dalam tulisan itu. Betapa tidak, keluarga korban penghilangan paksa dan Tragedi Mei 1998 sudah 16 tahun menanti serta mencari kejelasan nasib orang yang mereka cintai—apakah masih hidup atau sudah meninggal dan di mana kuburannya—serta apa bentuk pertanggungjawaban negara atas hilangnya mereka.

Tidak bermaksud mengecilkan perjuangan panjang yang melelahkan keluarga korban dan para aktivis HAM yang mendampingi, menurut saya perlu refleksi dan koreksi atas kerja advokasi yang dilakukan selama 16 tahun karena riil tidak ada hasil yang berarti, kecuali ketidakpastian.

 Lebih konkret bahwa selain secara jujur harus kita akui bahwa negara telah gagal melindungi hak warganya sehingga peristiwa yang memilukan itu harus terjadi dan para ”pemangku kewajiban” (terutama Presiden RI) terus mengulur waktu, di pihak lain harus diakui juga bahwa peran yang dilakukan para aktivis HAM dalam melakukan pendampingan dan advokasi sebenarnya tak optimal dan tidak efektif.

Dikatakan tidak optimal dan tidak efektif karena tidak didukung oleh kampanye yang masif dan terus-menerus—minimal di beberapa kota besar—terutama di kampus-kampus. Satu-satunya kampanye yang bertahan adalah aksi  Kamisan di depan Istana. Namun, aksi ”payung hitam” Gerakan Melawan Lupa yang sudah berlangsung tiga ratusan Kamis, tak lebih seperti satu lilin kecil di tengah gurun pasir sehingga lebih mengekspresikan keputusasaan ketimbang menggalang kekuatan dan membangun aliansi berbagai elemen masyarakat sipil. Akibatnya, tak mampu membangun posisi tawar dan menghasilkan tekanan politik yang bisa memaksa Presiden SBY untuk melakukan tindakan progresif.

Perlu diluruskan

Kasus penghilangan paksa dan Tragedi Mei 1998 sudah 16 tahun berlalu. Rentang waktu sedemikian panjang itu telah  membuat opini dalam masyarakat berkembang ke mana-mana dan sekurang-kurangnya ada empat hal yang perlu diluruskan.

 Pertama, penyelidikan kasus penghilangan paksa dan Tragedi Mei 1998 oleh Komnas HAM sudah selesai dan berkasnya sudah dilimpahkan ke Jaksa Agung selaku penyidik. Karena itu, seharusnya sasaran advokasi difokuskan untuk mendesak Jaksa Agung melakukan penyidikan. Soal rekomendasi DPR dan pembentukan pengadilan HAM ad hoc oleh Presiden sebenarnya tak perlu jadi agenda advokasi karena jika Jaksa Agung melakukan penyidikan, rekomendasi DPR dan pembentukan pengadilan HAM ad hoc otomatis jadi kebutuhan Jaksa Agung.

Namun, yang aneh justru para aktivis HAM lebih sering bolak-balik ke Komnas HAM. Celakanya, Komnas HAM pun ikut-ikut latah dan melakukan hal-hal yang tak terkait fungsi sebagai penyelidik, seperti mengeluarkan Surat Keterangan Keluarga Korban Penghilangan Paksa (2011) dan membuat Putusan Paripurna Komnas HAM tentang Kriteria Calon Presiden (2014). Padahal, semua itu hanya ”angin surga”. Sama sekali tak memberikan pengaruh apa-apa pada penyelesaian kasus.

Sebenarnya kalau Komnas HAM ingin melakukan peran di luar mandat yang terkait langsung dengan penegakan hukum, bisa mengoptimalkan fungsi yang diatur UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, antara lain mengefektifkan rapat dengar pendapat tiga bulanan dengan Komisi III DPR serta melakukan komunikasi intens dengan Presiden (selaku kepala negara) dan Jaksa Agung. Sayang, Komnas HAM tak serius melakukan peran strategis ini, buktinya sejak 2007 hingga kini SBY belum pernah menghadiri peringatan Hari HAM setiap 10 Desember.

Kedua, penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Komnas HAM adalah penyelidikan proyustisia atau untuk kepentingan penegakan hukum (sesuai mandat UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Sebagai proses penegakan hukum, seluruh materi (temuan fakta hukum, analisis, kesimpulan, dan rekomendasi) bersifat rahasia. Artinya, semua yang menyangkut substansi penyelidikan, mulai dari saat pelaksanaan penyelidikan sampai menjadi putusan yang ditetapkan Sidang Paripurna Komnas HAM dan dilimpahkan kepada Jaksa Agung, tidak boleh dibuka kepada publik. Karena itu, di bagian paling atas setiap lembar laporan penyelidikan tertulis: ”RAHASIA, Hanya untuk kepentingan penyidikan Jaksa Agung”.

Entah karena tak paham atau memang sengaja (dengan harapan semua orang tidak tahu), dalam acara talk show televisi beberapa waktu lalu ada  aktivis HAM dan anggota DPR menjadikan penyelidikan Komnas HAM sebagai referensi dan menyebut nama seseorang sebagai orang yang harus bertanggung jawab; Timbul pertanyaan: siapa yang membocorkan isi penyelidikan Komnas HAM itu? Ini masalah serius, Kejagung perlu menelusuri.

Ketiga, dalam tahap penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat, belum diarahkan mencari tersangka. Mandat Komnas HAM sebagai penyelidik hanya memastikan ada tidaknya indikasi atau bukti awal yang cukup terjadinya pelanggaran HAM yang berat. Tahap berikutnya, yakni penyidikan—termasuk menetapkan tersangka—sepenuhnya jadi kewenangan Jaksa Agung. Karena itu, opini yang berkembang di masyarakat seolah-olah sudah ada tersangka yang dianggap bertanggung jawab, sangat menyesatkan. Bagaimana mungkin menuding seseorang harus bertanggung jawab, sementara penyidikan atas kasus itu belum dilakukan.

Keempat, belakangan ini para aktivis HAM sering bicara dan mendesak Komnas HAM segera memanggil dua mantan petinggi TNI AD: Mayjen (Purn) Kivlan Zen dan Letjen (Purn) Prabowo Subianto. Permintaan tersebut lagi-lagi direspons Komnas HAM yang mengatakan akan segera memanggil mereka. Ini jadi membingungkan, dalam rangka apa dua mantan petinggi TNI itu dipanggil dan diperiksa oleh Komnas HAM? Kalau terkait dengan kasus penghilangan orang secara paksa atau Tragedi Mei 1998, penyelidikannya sudah selesai!

Kalau untuk kepentingan penyempurnaan, masih diperlukan keterangan atau bukti tambahan selain yang sudah ada dalam berkas penyelidikan,  maka yang berwenang memintanya hanya Jaksa Agung selaku penyidik. Prosesnya adalah Jaksa Agung mengembalikan berkas penyelidikan kepada Komnas HAM disertai dengan petunjuk tentang apa saja yang harus dilengkapi. Semestinya komisioner Komnas HAM dan para aktivis HAM sudah sangat paham prosedur baku ini dan tidak mengaburkannya, yang terkesan lebih untuk kepentingan pencitraan.

Mengakhiri kebuntuan

Mengingat saat ini pertarungan politik menuju Pilpres 9 Juli 2014 hampir mencapai puncaknya, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia perlu menjaga posisi serta jangan sampai terjebak permainan dan kepentingan politik kelompok tertentu. Saat ini lebih baik memanfaatkan waktu untuk evaluasi, merancang ulang strategi, serta langkah-langkah advokasi berikutnya dan memperkuat kapasitas kelembagaan agar lebih mandiri.

Salah satu yang penting segera dirancang dengan baik adalah strategi komunikasi, terutama dengan presiden terpilih nanti, Jaksa Agung, dan DPR. Salah satu yang perlu intens dikomunikasikan adalah pentingnya konsensus nasional  tentang alternatif penyelesaian terbaik kasus-kasus HAM masa lalu, termasuk segera menyelesaikan pengganti UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ke depan, kita berharap proses hukum tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan penyelesaian kasus HAM masa lalu sehingga kita tidak menguras energi sia-sia karena apriori, buruk sangka, kebencian, dan dendam yang berkepanjangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar