Transaksional,
Transformasional
F
Budi Hardiman ; Pengajar
Program Pascasarjana STF Driyarkara
|
KOMPAS,
16 Juni 2014
MENGEJAR
kekuasaan adalah sah dalam demokrasi modern. Untuk itulah, antara lain,
partai politik didirikan. Segala retorika moral yang mengiringi adalah
pemanis untuk memikat hati rakyat yang darinya kuasa dilahirkan. Realisme
politis seperti itu bukan berita baru bagi kita. Dalam Pemilu 2009,
partai-partai berkoalisi membangun kekuasaan. Saat itu cinta kepada rakyat
juga menjadi retorika moral yang nyaring. Pada 2014, lima tahun kemudian,
substansi politis tidak banyak berubah. Bukankah barisan partai yang dulu
mendukung SBY sekarang juga berada di belakang salah satu kandidat? Tentu
tidak gratis untuk mendapatkan dukungan itu.
Namun,
partai pemenang Pemilu Legislatif 2014, PDI-P, dan kandidat unggulannya, Joko
Widodo, membuat perbedaan yang signifikan sehingga kita boleh mengharapkan
perubahan substansi politis yang sudah lama mengendap di negeri ini. Sejak
awal mereka membuka kemungkinan sebuah kerja sama tanpa syarat. Kata
”koalisi” dinilai terlalu pragmatis dan transaksional karena bertolak dari
kepentingan partikular partai-partai, sementara kata ”kerja sama” dinilai
lebih tepat untuk sebuah proyek kerakyatan yang melampaui kepentingan
partikular partai-partai. Sasaran terakhirnya formasi pemerintahan
presidensial yang kuat.
Dua macam politik
Seandainya
kategori kerja sama tanpa syarat tidak muncul, mungkin lanskap Pemilu 2014
tak berbeda dari lima tahun lalu. Pemilu hanya menjadi ajang sirkulasi kuasa
elite politis di atas langit sana. Sikap politis baru ini memberikan harapan
bahwa sebuah demokrasi yang digerakkan oleh komitmen moral, bukan oleh transaksi
politis belaka, masih mungkin di negara kita.
Dalam Transformational Leadership, BM Bass
dan RE Riggio berpendapat, kepemimpinan transaksional paling-paling hanya
akan menghasilkan kompromi yang tidak akan melampaui self-interests. Pemimpin memperoleh loyalitas para pengikut
dengan menjanjikan sejumlah uang atau kedudukan. Organisasi yang terbangun
rapuh karena tidak diikat oleh komitmen moral, tetapi hanya oleh pertukaran
kepentingan diri.
Berbeda
dari itu, kepemimpinan transformasional membangkitkan ”kesadaran akan nilai dan pentingnya tujuan-tujuan ideal dan khusus”
serta ”melampaui kepentingan diri demi
kebaikan organisasi”. Seorang pemimpin transformasional ”efektif dalam memotivasi para pengikut
untuk mendukung kebaikan yang lebih besar yang melampaui kepentingan diri”.
Ia
melibatkan para pengikut untuk memberdayakan mereka sehingga kinerja
organisasi menjadi lebih daripada yang diharapkan. Dalam teori politik,
kepemimpinan transaksional mendekati modus vivendi ala Hobbes, sedangkan kepemimpinan transformasional
mendekati demokrasi partisipatoris. Kita lalu boleh bicara tentang politik
transaksional dan politik transformasional.
Pengejaran
kuasa kerap membuat orang lupa bahwa politik transaksional hanya akan
mereproduksi oportunis- oportunis sebagaimana sudah kita kenal selama ini.
Demi perolehan suara lebih besar dan tak peduli dengan berbagai permasalahan
yang mendera mereka, partai induk dalam koalisi merangkul sebanyak mungkin
partai, tentu dengan pemanis kesamaan platform. Dengan ekspektasi perolehan
kedudukan lebih banyak, partai-partai pendukung merapat ke partai induk.
Bukan hanya oportunisme yang dihasilkan politik macam itu, melainkan juga
elitisme karena kepentingan-kepentingan partikular partai-partai akan lebih
banyak berbicara daripada tujuan lebih tinggi, yakni kepentingan semua pihak,
yang dapat dicapai dengan komitmen moral.
Mengingat
visi tajam Gerindra sebelum terbentuknya koalisi, orang mengira bahwa partai
ini akan selektif menerima kawan-kawan koalisi. Patut disayangkan, hal itu
tak terjadi. Dalam imajinasi politis masyarakat koalisi Merah Putih lalu
dipojokkan ke kutub ”politik transaksional”, sementara kerja sama tanpa
syarat yang dimajukan PDI-P dan kandidatnya berada di kutub lawannya yang
boleh kita sebut ”politik transformasional”. Polarisasi kedua tipe politik
itu bahkan melampaui pengelompokan partai. Untuk pertama kalinya dalam
demokrasi pasca Soeharto, partai-partai terbelah menurut figur yang mereka
pilih, seperti yang terjadi pada Golkar, PAN, dan PPP.
Harapan pembaruan
Polarisasi
antara politik transaksional dan politik transformasional meringkas kedua
kekuatan politis dalam kampanye Pilpres 2014. Banyak utang moral dipikul oleh
salah satu kubu, seperti: pelanggaran HAM di masa lalu, problem lumpur
Lapindo, dan kasus-kasus korupsi petinggi partai pendukung mereka. Sementara
belum ada klarifikasi atas soal-soal itu, beberapa berita belakangan juga
membebani kubu ini, seperti: analogi perang Badar Amien Rais, masuknya
kelompok-kelompok garis keras ke dalam barisan pendukung, pelibatan babinsa
untuk mengarahkan dukungan warga kepada salah satu capres, dan janji kampanye
untuk mengangkat Soeharto sebagai pahlawan.
Tidak
ada kebaruan dalam tema-tema dan cara-cara berpolitik semacam itu karena
hal-hal seperti itulah yang mengisi lanskap politis selama ini sejak Orde
Baru. Tanpa bantahan dan tanpa klarifikasi, kubu yang dikaitkan dengan
hal-hal tersebut akan sulit menghindari kesan telah mewakili
kekuatan-kekuatan konservatif negeri ini.
Di kubu
lain, Joko Widodo dan Jusuf Kalla tidak memiliki utang moral. Mantan Wali
Kota Solo yang dikenal pekerja keras, merakyat, jujur, dan bersahaja ini
merupakan novum yang sesungguhnya dalam Pemilu 2014. Figur ini adalah semacam
fenomena ”angsa hitam”, sebuah kekecualian di tengah-tengah perilaku politis
yang sudah lazim. Mungkin ia diberikan sekali saja untuk Indonesia. Jika
terpilih, boleh diharapkan, sebuah generasi baru akan memimpin Indonesia
dengan inovasi-inovasi politis baru.
Kubunya,
misalnya, telah menempuh strategi non-konvensional dengan menggalang dana
kampanye yang berasal dari kantong masyarakat. Strategi ini menabrak langsung
tradisi sogok dalam politik transaksional selama ini. Alih-alih disogok untuk
memilih calon mereka, para pemilih justru mengongkosi kampanye calon yang
akan mereka pilih. Inovasi politis ini merupakan ”serangan moral” dari sebuah
politik transformasional yang ingin merevitalisasi nilai-nilai sentral
demokrasi partisipatoris dan menguatkan civil society kita.
Etalase politis
Transaksional
atau transformasional? Pilihan ini sudah jelas sejak awal kampanye. Memilih
presiden tidak cukup hanya dengan percaya pada niat dan tekad yang dikatakan
para kandidat. Dalam kampanye, niat dan tekad merupakan bagian permainan
simbol untuk meraup suara. Sangat penting mencermati latar belakang mereka
dan apa yang telah mereka lakukan. Masa kampanye ini juga merupakan semacam
etalase yang sedikit banyak mempertontonkan cara bagaimana niat mereka nanti
akan dilaksanakan.
Calon
yang paling banyak masalah dan tidak menunjukkan kebaruan dalam cara-cara
berpolitik selama kampanye tidaklah menarik untuk dipilih karena besar
kemungkinan pemerintahannya akan banyak menghasilkan masalah. Bukankah Anda
tidak akan membeli barang cacat dari etalase?
Berbagai
masalah besar harus mereka selesaikan nanti, seperti: korupsi, kemiskinan,
compang-campingnya sistem pendidikan, deradikalisasi kelompok-kelompok garis
keras, masih buruknya pelayanan publik, dan penyelesaian masalah pelanggaran
HAM pada masa lalu. Dapatkah mengoreksi semua itu dengan sebuah politik
transaksional yang mengakomodasi kekuatan-kekuatan yang merupakan bagian dari
masalah-masalah itu sendiri? Tentu tidak. Masalah tidak dapat diselesaikan
dengan masalah. Yang diperlukan adalah politik transformasional yang mengubah
kekurangan-kekurangan menjadi kekuatan sebuah bangsa demokratis yang beradab,
bebas dari rasa takut, dan inovatif menghadapi tantangan masa depan.
Pilpres
2014 akan menjadi batu uji demokrasi kita. Apakah kita akan berjalan di
tempat, mundur ke belakang, atau naik ke level lebih tinggi dalam demokrasi
akan ditentukan oleh tindakan suara hati pemilih di dalam bilik suara. Di
tempat itu seharusnya tidak terjadi politik transaksional, tetapi keputusan
suara hati sebagai tindakan politis yang transformasional karena tindakan
memilih adalah sebuah peristiwa moral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar