Jumat, 20 Juni 2014

Memahami Revolusi Mental

Memahami Revolusi Mental

Sudarsono Hardjosoekarto ;   Guru Besar Sosiologi Organisasi FISIP UI;
Sekjen DPD
KOMPAS,  20 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
LEBIH  dari 10 tahun sebelum capres Jokowi menyampaikan gagasan tentang Revolusi Mental (Kompas, 10 Mei 2014), saya sudah mengemukakan hal itu pada artikel berjudul ”Presiden sebagai Pemimpin Pembelajaran” (Kompas, 8 November 2003). Saat itu, saya mengupas kepemimpinan Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad berdasarkan studi systems thinking yang dilakukan Prof Kim Dong-hwan dari Chung Ang University, Korsel.

Sama dengan calon presiden Joko Widodo, saya menggunakan istilah revolusi mental untuk menggambarkan kebutuhan pemimpin nasional sebagai pemimpin pembelajaran.

Saat itu, saya katakan, ”Itulah sebabnya setiap negara dan bangsa memerlukan pemimpin pembelajaran, yakni pemimpin yang telah mengalami revolusi mental atau shift of paradigm. Pemimpin yang bukan hanya pandai membawa dirinya menjadi pembelajar sepanjang hayat, melainkan juga membangun seluruh organisasi bangsa menjadi organisasi pembelajaran (learning organization) dan sekaligus membimbing bangsanya menjadi bangsa pembelajar.”

Trisakti Bung Karno

Esensi revolusi mental adalah proses pembelajaran dan perubahan, yakni perubahan dari cara berpikir lama (linier thinking) ke cara berpikir baru (system thinking). Pentingnya revolusi mental ini dikemukakan oleh CK Prahalad, ”If you don’t change, you die.” Juga ditegaskan oleh Peter Drucker bahwa ”The greatest danger in times of turbulence is not the turbulence… it is to act with yesterday’s logic.” Maksudnya adalah ”Yang paling berbahaya dalam situasi krisis bukanlah krisis itu sendiri, tetapi justru tindakan yang dilandasi cara berpikir yang ketinggalan zaman”.

Capres Jokowi mengupas Trisakti Bung Karno sebagai tawaran untuk menyelesaikan krisis nasional saat ini. Dalam revolusi mental yang merupakan cerminan proses pembelajaran, tiga hal harus dilakukan.

Pertama, meninggalkan paradigma lama (to unlearn) yang menjadi penyebab sekaligus kendala penyelesaian krisis. Kedua, menggali dan kemudian menghidupkan kembali paradigma lama (to relearn) yang masih dapat diandalkan untuk menyelesaikan krisis. Ketiga, mempelajari, menguasai, dan mempraktikkan paradigma baru (to learn) untuk menjawab krisis multidimensi dan tantangan bangsa yang makin kompleks.

Jelas bahwa tawaran penyelesaian krisis nasional dengan Trisakti Bung Karno barulah satu aspek saja, yakni to relearn dari revolusi mental. Masih harus dielaborasi lebih lanjut bagaimana strategi to unlearn dan sekaligus to learn sebagai satu kesatuan triple loop learning, sebagai wujud revolusi mental, bagi bangsa dan pemimpin pembelajaran.

Ketidakberdayaan

Selain strategi triple loop learning yang harus diurai dengan jelas, aplikasi revolusi mental juga harus mengantisipasi potensi ketidakberdayaan belajar (learning disability). Paling tidak ada 7 butir yang harus diantisipasi menurut Peter Senge, yakni (1) I am my position, (2) the enemy is out of there, (3) the illusion of taking charge, (4) the fixation on events, (5) the parable of boiled frog, (6) the delusion of learning from experience, dan (7) the myth of the management team.

”Saling menyalahkan” adalah contoh penyakit the enemy is out of there. Maka menyembuhkan penyakit ”semua orang lain salah, yang benar hanya diri sendiri” adalah salah satu contoh revolusi mental itu.

Demikian juga, I am my position adalah penyakit serius yang harus masuk agenda penyembuhan, termasuk, antara lain, ”Saya anggota DPRD dipilih oleh tiga puluh ribu pemilih, jadi untuk apa saya harus ikut pelatihan?”

Mempertimbangkan banyaknya potensi ketidakberdayaan belajar, sering dikatakan bahwa proses pembelajaran dan revolusi mental tidaklah mudah. Learning is a painful process. Karena itu, revolusi mental memerlukan contoh nyata keteladanan pemimpin.

Jauh hari, saya sudah mengemukakan pentingnya disiplin dialog seorang pemimpin. Dialog adalah metode komunikasi untuk memperoleh kecendekiaan kolektif (collective intelligence) dan kesepahaman (shared meaning) yang optimal. Dengan dialog akan diperoleh keseimbangan antara mencari tahu (inquiry) dan memberi tahu (advocacy).

Pemimpin yang telah mengalami revolusi mental adalah pemimpin yang telah meninggalkan cara-cara debat kusir, bahkan telah naik kelas melampaui diskusi terampil, menunjukkan kecanggihan dalam dialog, yakni antara lain mau dan mampu mendengarkan hal-hal yang tidak ingin didengarkan.

Capres Jokowi menawarkan revolusi mental menjadi gerakan nasional. Untuk itu, praktik nyata dan keteladanan pemimpin sangat perlu: mulai dari diri sendiri, keluarga, tempat kerja, tempat tinggal, meluas sampai kota dan negara. Lebih dari itu, gerakan nasional ini harus ditopang perombakan sistem pendidikan secara keseluruhan.

Basis pendidikan

Pertama, tata ulang pendidikan umum nasional. Target-target kuantitatif, sampai karut-marut ujian nasional, memberi kesan kuat bahwa pendidikan dari usia dini sampai pendidikan tinggi kita bersifat traumatis dan diwarnai kekerasan, baik fisik maupun simbolik. Dalam kurikulum kita tidak ada yang memastikan bahwa proses belajar-mengajar harus membahagiakan siswa.

Kedua, reformulasi pendidikan kedinasan, pendidikan aparatur sipil negara, dan pendidikan pejabat publik. Saat ini masih terdapat kesenjangan dalam pendidikan pejabat publik. Siapakah yang melakukan pendidikan politik dan kebangsaan, sebagai landasan revolusi mental, bagi kader parpol?

Kiprah parpol dalam melakukan pendidikan kadernya sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol nyaris tidak terdengar.

Bila kader parpol menjadi kepala daerah atau anggota DPRD, memang ada fasilitas pelatihan seperti yang diatur dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, bagaimana dengan pendidikan institusional politik dan kenegaraan bagi anggota DPR dan DPD?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar