Pentingnya
Revolusi Mental
Buni
Yani ; Peneliti Universitas Leiden Belanda
|
TEMPO.CO,
20 Juni 2014
Gagasan
calon presiden Jokowi mengenai "revolusi
mental" mendesak dilaksanakan dilihat dari sudut pandang
antropologi. Jika melihat transformasi demokrasi di Indonesia selama 16 tahun
dan di Filipina selama 28 tahun terakhir, perubahan sistem politik belum
berbuah menjadi kesejahteraan karena tidak dibarengi perubahan sikap mental
dan perilaku nyata sehari-hari.
Di kedua
bangsa, perubahan sistem dan institusi telah terjadi, tapi perilaku dan sikap
mental kolektif warga negara masih tetap sama. Yang berubah adalah orang,
sistem, dan institusi, tapi sikap mental dan perilaku korup, tidak disiplin,
serta etos kerja yang rendah masih tetap sama yang masih bisa ditemukan di
hampir semua lini birokrasi.
Sebagai
perbandingan, Korea Selatan, yang kondisinya sama dengan Indonesia pada
1960-an, kini menjadi negara industri maju karena sikap mental serta etos
kerja dan disiplin yang tinggi.
Di
banyak kantor pemerintah di Indonesia dan Filipina, masih bisa kita saksikan
para pegawai yang tidak disiplin. Proyek dilakukan melalui tender yang
dimainkan yang menyebabkan banyaknya korupsi. Proyek diberikan bukan kepada
bidder, yang bisa memberi harga paling rendah, melainkan kepada yang bisa
memberikan sogokan paling tinggi.
Etos
kerja rendah menghasilkan kinerja buruk dan berakibat pelayanan publik yang
terbengkalai. Kalaupun ada perbaikan di sana-sini atas inisiatif tokoh
tertentu yang menumbuhkan harapan, gerakan ini rentan dikalahkan oleh sikap
mental lama yang belum beranjak dari kebiasaan buruk yang sudah mendarah
daging.
Birokratisasi
yang dasarnya adalah rasionalisasi untuk mempermudah urusan publik seperti
diidealkan Weber justru yang terjadi sebaliknya. Sikap mental "kalau bisa dipersulit kenapa harus
dipermudah" masih ditemukan di mana-mana, karena sistem birokrasi
yang diperumit ini adalah sumber korupsi yang menggiurkan.
Setiap
usaha perbaikan ke arah birokrasi modern yang bersih dan berdisiplin tinggi
akan dilawan oleh kekuatan lama yang lahannya hilang. Bagi aparat lama yang
sudah membusuk ini, justru sistem yang kotor dan korup inilah yang
menguntungkan mereka.
Dalam
kondisi birokrasi yang suram inilah lalu gagasan tentang revolusi mental
menjadi ide yang cemerlang yang dinanti-nantikan rakyat, yang mendambakan
perubahan nyata. Revolusi mental menyiratkan kesediaan mengoreksi kebiasaan
lama yang buruk dan keinginan berbenah menuju tata nilai baru demi kemajuan
dan kesejahteraan bangsa.
Revolusi
mental haruslah mencakup koreksi terhadap seluruh kesalahan mental masa lalu
yang merugikan bangsa secara kolektif. Di tengah arus globalisasi, gerakan
ini harus memberi perhatian pada cinta budaya, produk, dan hasil karya bangsa
sendiri serta berhenti mendewa-dewakan segala sesuatu yang berbau asing.
Sebab, sebuah bangsa hanya bisa menjadi maju kalau mencintai budaya sendiri
(ethnocentric), bukan mencintai budaya asing (xenocentric).
Siapa
pun yang terpilih kelak, Prabowo atau Jokowi, dia haruslah memberi perhatian
lebih pada perbaikan mental bangsa ini melalui revolusi yang harus disebarkan
virusnya ke seluruh anak bangsa. Tanpa hal itu, reformasi hanya akan menjadi
perpindahan dari satu sistem ke sistem lain yang tak bermakna apa pun bagi
perubahan bangsa. Pengalaman di Indonesia dan Filipina dalam 28 tahun
terakhir ini telah menunjukkan hal itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar