Minggu, 22 Juni 2014

Kedaulatan dalam Pendidikan

Kedaulatan dalam Pendidikan

Anita Lie  ;   Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Widya Mandala, Surabaya
KOMPAS, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
RUMUSAN visi misi kedua calon presiden tak bisa menghindari penggunaan pernyataan yang jargonistik. Dalam komunikasi politik, memang jargon dibutuhkan untuk menarik hati calon pemilih dan menggalang dukungan. Mencermati agenda dan program nyata dalam bidang pendidikan kedua capres, mengarahkan kita untuk berupaya menggali filosofi pendidikan yang mungkin terangkum dalam jargon yang sudah disampaikan kepada masyarakat dan poin-poin yang masih butuh klarifikasi lebih lanjut.

Jargon dalam visi misi pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, ”Membangun Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur, serta Bermartabat”. Untuk bidang pendidikan, diterjemahkan dalam agenda IV: meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan melaksanakan reformasi pendidikan. 

Jargon dalam visi misi pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, ”Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”. Pembangunan bidang pendidikan secara spesifik diwadahi dalam tiga dari sembilan agenda prioritas. Pertama (agenda ke-5), peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dalam program Indonesia Pintar. Kedua (agenda ke-8), penataan kembali kurikulum pendidikan nasional untuk revolusi karakter bangsa akan mengedepankan pendidikan kewarganegaraan dan mengevaluasi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional termasuk ujian akhir nasional. Ketiga (agenda ke-9), mengajukan pendidikan kebinekaan.

”Mengejar ketertinggalan”

Kedua capres mengemukakan semangat kedaulatan. Menggali dari amanat Pancasila, Jokowi- JK memaknai kedaulatan sebagai hak setiap warga negara untuk menentukan nasibnya sendiri dan apa yang terbaik bagi bangsanya dalam kesadaran akan adanya kesalingtergantungan dalam kehidupan bermasyarakat dan antarbangsa.

Tentu saja visi misi serta agenda kedua capres masih perlu dijabarkan lebih lanjut, terutama dalam kaitan dengan kebijakan dan praksis pendidikan. Satu isu kedaulatan dalam sistem pendidikan nasional adalah kemandirian sikap dalam menentukan tujuan dan target kebijakan pendidikan nasional secara spesifik.

Partisipasi Indonesia dalam berbagai tes internasional pada TIMMS (Matematika dan IPA) sejak 2009, PISA (Matematika, Sains, dan Membaca) pada 2000, dan PIRLS (khusus kemampuan membaca) pada 2006, menunjukkan pencapaian yang masih masuk dalam kategori rendah.

Jebloknya posisi Indonesia selama beberapa kali partisipasi tampaknya belum mampu mendorong otoritas sistem pendidikan nasional untuk mendongkrak mutu pendidikan dalam dua masa pemerintahan.  Bahkan, kegagalan dalam tes-tes internasional tampaknya makin membuat Indonesia terjebak dalam sindrom ”mengejar ketertinggalan”. Ekses dari sindrom ini, di antaranya, manipulasi dalam pelaksanaan ujian nasional dan kebanggaan semu terhadap prestasi beberapa individu cemerlang di pentas internasional.

Pertanyaan strategis yang harus didiskusikan dan dijawab adalah apakah Indonesia akan terus mengikuti tes-tes internasional tersebut sambil terus berusaha merangkak pada tangga pencapaian? Ataukah sebaiknya Indonesia merumuskan dan memantapkan dahulu visi, misi, dan program kerja, serta menentukan sendiri target-target pencapaian pendidikan yang lebih relevan dengan kondisi riil? Titik tengah dari kedua posisi ini adalah partisipasi secara terseleksi dan bertahap seperti yang dilakukan Tiongkok yang diwakili oleh Shanghai dan Hongkong.

Berbagai tes internasional punya aspek positif yang bisa bermanfaat bagi peningkatan mutu pendidikan nasional. Soal-soal dalam tes-tes itu didesain untuk memberikan gambaran pencapaian tingkat berpikir dan menyelesaikan masalah. Sayangnya, keikutsertaan Indonesia selama lebih dari satu dekade ternyata belum mampu menggulirkan reformasi pendidikan secara signifikan. Bahkan, tampak ada ketidakkonsistenan dalam acuan pencapaian dan keterputusan dalam kebijakan pendidikan.

Jika Indonesia mengambil posisi pertama (terus berpartisipasi), otoritas sistem pendidikan nasional perlu merumuskan desain dan strategi reformasi sistem pendidikan serta jadi akuntabel atas pencapaiannya. Jika memutuskan menerjemahkan kedaulatan sebagai menentukan sendiri apa yang terbaik bagi anak- anak usia sekolah tanpa benchmark internasional, otoritas sistem pendidikan nasional perlu punya alternatif pengukuran target pencapaian pendidikan.

Kuantitas ke kualitas

Besarnya jumlah penduduk usia sekolah, kompleksitas situasi geografis, dan keberagaman budaya di Indonesia memang tantangan luar biasa bagi pengelola otoritas sistem pendidikan nasional. Jumlah besar anak usia sekolah di Indonesia dan pengukuran indeks pembangunan telah membuat perhatian terfokus pada indikator kuantitas, seperti angka partisipasi sekolah, rerata lama sekolah, dan harapan lama sekolah.

Tantangan yang harus diselesaikan oleh pemerintahan mendatang adalah mengubah kuantitas menjadi kualitas. Ketika anggaran 20 persen dari APBN/APBD untuk pendidikan sudah dipenuhi dan angka partisipasi sekolah sudah dilaporkan meningkat dari tahun ke tahun, kualitas peserta didik di Indonesia masih tergolong sangat rendah dalam berbagai perbandingan ujian internasional. Kurikulum yang berorientasi pada peningkatan kualitas seharusnya memperhatikan keseluruhan proses, mulai dari hulu (cita-cita dan tujuan pendidikan), peta jalan (rencana strategis dan program aksi), kesiapan para pemangku kepentingan dan sarana prasarana, hingga hilir (profil lulusan sekolah yang diharapkan).

Agenda Prabowo-Hatta untuk merekrut 800.000 guru dan memberikan tunjangan profesi Rp 4 juta per bulan serta dana fasilitas Rp 150 juta per sekolah terkesan sangat populis dan kurang berlandaskan data. Janji populis ini akan mengalami kendala dalam implementasi.

Menghentikan model-model penyeragaman yang dikemukakan dalam visi misi Jokowi-JK, termasuk kebijakan UN, bisa menjadi terobosan dalam strategi peningkatan mutu pendidikan. Indonesia memang terlalu besar dan kompleks untuk dikelola dengan model yang sama. Pekerjaan dan pencapaian yang dibebankan kepada otoritas sistem pendidikan nasional memang terlalu berat dan rumit untuk diatasi dalam model penyeragaman, apalagi tanpa koordinasi efektif dengan kementerian yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar