Minggu, 22 Juni 2014

Pertarungan Sengit

Pertarungan Sengit

M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SEORANG tetangga mengurung diri seharian di rumah. Dia tidak berani membuka pintu gara-gara tidak menggunakan hak pilihnya. Dia takut didatangi dan diinterogasi tentara. Itu peristiwa di suatu pagi pada hari pencoblosan Pemilu 1977. Pada zaman Orde Baru, jangankan tidak memilih, pilihan berbeda saja, dianggap subversif. Sebab, Orde Baru membuat semuanya ”menguning” alias wajib memilih Golkar, salah satu mesin politik pemerintah. Berbeda warna politik, hijau (PPP) atau merah (PDI), berarti siap untuk diinteli dan dikuntit, apabila perlu, dipanggil aparat.

Padahal, setiap momen pemilu, penguasa Orde Baru selalu mengampanyekan slogan ”luber”. Bukan luber berarti tumpah ruah, melainkan ”langsung-umum-bebas-rahasia”. Namun, jangan tanya soal realitasnya. Karena ”lain di bibir, lain di perbuatan”. Pada zaman Orde Baru, gaya politiknya sentralistik, otoriter, dan penuh mobilisasi. Warga negara menjadi terlarang ketika tidak memilih partai pemerintah. Jadi, luber itu hanya slogan politik penguasa.

Pemilu 2014 ketika kita semua (rakyat, pemerintah, elite politik) merasa dewasa dalam berdemokrasi, sepertinya gaya Orde Baru masih terwariskan. Ketika demokrasi lagi mekar-mekarnya, cara-cara tidak demokratis pun masih dipilih. Tiba-tiba ada babinsa (bintara pembina desa) main data saja, misalnya di rumah-rumah warga di Cideng, Jakarta Pusat. Lucu saja mendengar alasan tentara bahwa pendataan itu untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah dengan preferensi suara terhadap partai politik atau kandidat tertentu. Memang lucu jika pendataan itu demi mengamankan dan mencegah potensi terjadinya bentrokan antar-pendukung.

Atmosfer pemilu kali ini memang terasa beda. Aroma persaingan terasa begitu sengit. Barangkali karena pasangan calon presiden-calon wakil presiden cuma dua, Prabowo-Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kalau dua calon, posisinya berhadap-hadapan, satu lawan satu. Inilah zero sum game, hanya ada ”kalah dan menang”. Beda rasanya kalau calonnya lebih dari dua pasang. Polarisasi persaingan akan lebih berpencar dan terdistribusi ke banyak kutub, tidak berada pada posisi berlawanan.

Misalnya, pada Pemilu 2009, ada tiga pasang capres-cawapres, yakni Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Jusuf Kalla-Wiranto. Pemilu 2004 lebih banyak lagi, ada lima pasang calon. Mereka adalah Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Hamzah Haz-Agum Gumelar, Megawati-Hasyim Muzadi, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, dan Wiranto-Salahuddin Wahid. Kalau pasangan Abdurrahman Wahid-Marwah Daud Ibrahim lolos, bisa bertambah banyak lagi.

Dua pemilu lalu, rasanya tak terasa sesengit sekarang. Kini, betapa sengit kampanye negatif, saling tuding, saling menjatuhkan, saling tangkis. Ada yang sangat proaktif, dan ada yang defensif. Bahkan, bisa jadi suasana Pemilu 2014 ini mirip tahun 1995 ketika ruang politik sampai memasuki ranah pribadi. Ada orang yang benar-benar mendukung dan membela mati-matian calonnya. Sampai-sampai di media sosial dan ruang publik begitu banyak ”perang” menjelang pemilu ini. ”Memangnya situ siapa sih, apa saudaranya capres A/B? Kok bela banget mati-matian?”

Lingkungan tentara lebih terasa persaingan dan kubu-kubuanya. Terutama jenderal-jenderal purnawirawan. ”Bintang-bintang” itu jelas-jelas memperlihatkan dukung-mendukung, baik ke pasangan Prabowo-Hatta atau Joko Widodo-Jusuf Kalla. TNI pun dibikin rikuh. Padahal, TNI sudah jelas-jelas bertobat dari kekuasaan politik. Pasca reformasi, TNI sudah ”kembali ke barak” dan berani menolak dari daya tarik politik. Apakah sekarang ini mulai rindu kuasa kembali? Kita berharap TNI tetap menjadi alat negara dan mengabdi kepada rakyat, bukan ke kepentingan politik. Itulah harga mati tentara yang lahir dari rahim rakyat.

Kalau bernostalgia, memang TNI (ABRI kala itu) mengalami masa-masa indah. Sejak konsep dwifungsi yang merupakan kelanjutan konsep ”Jalan Tengah” Jenderal AH Nasution pada akhir 1950-an, TNI punya peran strategis. Mereka tidak hanya mengurusi persoalan pertahanan, tetapi juga dapat tempat istimewa untuk menentukan keputusan-keputusan politik pemerintahan. Jangan heran jika TNI mendapat jatah kursi kekuasaan. Pada masa lalu, kursi bupati, wali kota, atau gubernur ada alokasi untuk TNI. TNI memang begitu lama menikmati privilese pada masa Orde Baru.

Akan tetapi, tanggal 9 Juli nanti, kita memilih presiden dan wakil presiden yang baik, jujur, bersih, berintegritas. Bukan memilih idola, teman, saudara, atau kelompok. Siapa pun juga, dialah yang terbaik untuk dipilih meskipun bukan dari kelompok sendiri. Presiden dan wakil presiden terpilih nanti harus bisa membawa bangsanya sejahtera dan makmur. Ada 240 juta lebih rakyat yang berharap dan tengah berupaya mendapat masa depan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar