Selasa, 17 Juni 2014

Kampanye Kreatif

Kampanye Kreatif

Ali Rif’an  ;   Peneliti Poltracking
TEMPO.CO,  16 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Menyaksikan model kampanye hari-hari ini, saya merasa ada sesuatu yang unik. Salah satunya adalah munculnya beragam kampanye kreatif. Misalnya, pendukung Prabowo-Hatta yang mengatasnamakan Sahabat Prabowo membuat video berjudul Happy yang diunggah di YouTube. Begitu pula pendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang tergabung dalam Jogja Hip-Hop Foundation menciptakan sebuah lagu berjudul Bersatu Padu Coblos Nomor 2 yang bisa didengarkan di situs www.soundcloud.com dan dapat diunduh secara gratis melalui situs www.mediafire.com.

Memang harus diakui, dalam literatur ilmu politik, istilah kampanye kreatif masih terasa asing karena jenis kampanye yang kita kenal selama ini ada tiga: kampanye positif, kampanye negatif, dan kampanye hitam.

Dalam kampanye positif, masyarakat biasanya disuguhi "narasi-narasi ala malaikat" dengan tujuan untuk mempengaruhi persepsi dan preferensi pemilih. Tak jarang, kampanye model ini kerap menampilkan narsisisme politik yang kadang justru membuat publik jenuh. Sedangkan dalam kampanye negatif, masyarakat dicekoki berita atau informasi miring ihwal pasangan capres-cawapres.

Kampanye hitam tentu lebih parah lagi. Dalam kampanye ini, masyarakat disuguhi berita yang berisi isu dan fitnah. Orientasi kampanye hitam adalah menghasut masyarakat dengan cara-cara yang menabrak aturan sekaligus etika.

Karena itu, hadirnya kampanye kreatif bisa menjadi oase di tengah kepenatan masyarakat menyaksikan tiga model kampanye di atas. Sebab, salah satu ciri kampanye kreatif adalah dapat menghibur. Kampanye kreatif menjadi penting karena di dalamnya mengandung dua unsur sekaligus: gagasan dan hiburan. Lock dan Harris (1996) pernah mengatakan, di dalam kampanye, ada dua hubungan yang harus dibangun: hubungan internal dan eksternal. Hubungan internal adalah hubungan yang berkaitan dengan kader partai, organisasi-organisasi sayap partai, ataupun lembaga-lembaga pendukung partai. Sedangkan hubungan eksternal adalah hubungan yang berkaitan dengan masyarakat luas-di luar kader dan simpatisan.

Jika mengacu pada dua bangunan kampanye tersebut, dalam prakteknya, model kampanye kreatif biasanya lebih efektif digunakan untuk menarik simpati pemilih non-kader dan non-partisan (eksternal). Sebagai contoh, saat Jokowi maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada 2012, nyaris bahwa dukungan pasangan Jokowi-Ahok saat itu sangat sedikit dibanding pesaingnya, Foke-Nara, yang didukung banyak partai koalisi.

Waktu itu, Jokowi-Ahok hanya didukung dua partai (PDI Perjuangan dan Partai Gerindra), sementara Foke-Nara didukung Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PKB, PAN, dan PPP. Namun menariknya, yang unggul justru pasangan yang didukung partai sedikit, yakni Jokowi-Ahok. Usut punya usut, salah satu faktor yang tak boleh dilupakan adalah pengaruh kampanye kreatif saat itu. Video-video dan lagu-lagu yang berisi tentang dukungan terhadap Jokowi-Ahok ketika itu banyak beredar di berbagai media sosial, bahkan menyelusup ke berbagai kampus dan kantor.

Karena itu, munculnya beragam kampanye kreatif ini tak boleh dianggap sepele. Apalagi dalam studi Gelman dan King (1993) disebutkan bahwa preferensi pemilih terhadap kontestan telah ada jauh hari sebelum kampanye dimulai. Artinya, kampanye yang biasa-biasa saja akan sulit mempengaruhi preferensi pemilih. Sebaliknya, kampanye kreatif-selain berfungsi menghibur-bisa digunakan sebagai strategi untuk membidik pemilih yang masih ragu-ragu atau swing voter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar