Slogan
Muhiddin
M Dahlan ; Kerani @warungasip
|
TEMPO.CO,
16 Juni 2014
Tiga
puluh dua negara yang berlaga di Piala Dunia Brasil 2014 membawa serta 32
slogan yang mereka ciptakan. Slogan itu secara mencolok terpacak di kaca
samping masing-masing bus tim. Ke mana pun bus besar itu membawa tim, ke situ
pula slogan mengikuti.
Slogan-atau
menurut definisi sederhana KBBI adalah kalimat singkat-mirip jimat yang terus
dikepit dalam perjalanan meraih cita-cita tertinggi. Mungkin doa untuk sebuah
harapan berakhir di Maracana.
Kata-kata
slogan itu diramu sedemikian rupa untuk menggambarkan seperti apa sebuah
hasrat yang terbayangkan menjadi kenyataan. Baca saja slogan tim Brasil, "Preparem-Sel O Hexa Esta
Chegando!", yang yakin sekali mereka bakal merengkuh gelar juara
untuk keenam kalinya. Atau slogan tim Swiss, yang seperti sudah memastikan
mereka berada di puncak pagelaran: "End
Station: 13 Juli 2014, Maracana!".
Mungkin
slogan paling santai dan nyaris tanpa beban adalah tim Korea Selatan: "Enjoy it, Reds!". Bagi
Korea Selatan, Piala Dunia mesti ditempatkan sebagai permainan yang
mengalirkan kesenangan, dan bukan ketegangan, apalagi sengketa politik yang
kerap muncul saat Argentina kontra Inggris.
Bandingkan
dengan tiga negara yang mewakili Asia lainnya yang rata-rata datang untuk
bertarung mengubah arus sejarah dan/atau memundaki harga diri. Slogan Jepang:
"Samurai, The Time Has Come to
Fight!". Sedangkan Australia: "Socceroos:
Hopping Our Way Into History". Dan Iran: "Honour of Persia".
Slogan
Korea Selatan itu seakan menyempal dari diktum klasik bahwa pagelaran
kejuaraan reguler empat tahunan menjadi urusan bangsa, urusan negara.
Setidaknya bagi Argentina, yang membentangkan slogan tegas: "No Samos Un Equipo, Somos un Pais
(Bukan Sekadar Tim, Kami Adalah Negara)".
Dan Honduras dengan slogan seperti sebuah sumpah: "Samos Un Pueblo, Un Nacion, Cinco Estellas De Corazon (Kami Satu Negara, Satu Bangsa, Lima
Bintang di Hati)".
Yang
menarik adalah hanya tiga negara yang meminjam amsal hewan untuk mewakili
semangat mereka. Bosnia-Herzegovina, yang menjadi pendatang baru,
menggambarkan dirinya serupa naga: "Zmajevi
U Scru Zmajevi Na Terenul (Naga di
Hati, Naga di Lapangan)". Kamerun menggambarkan diri mereka sebagai
singa: "Un Lion Demeure Un Lion (Sekali Singa Tetap Singa)".
Sementara itu, slogan Pantai Gading agak ganjil tapi sekaligus menandaskan
keperkasaan. Mereka mengidentikkan diri dengan gajah: "Les Elephants a la Conquete du Bresil (Gajah-gajah Menyerang Brasil)".
Slogan
adalah cara mengikat keinginan besar dan bersama dalam satu perasaan bahasa
yang ringkas dan cergas. Tapi slogan juga menyimpan ambiguitasnya. Slogan
adalah produk bahasa yang sangat rapuh. Kekuatannya bergantung pada
kenyataan. Ketika slogan berbenturan vis
a vis dengan kenyataan, slogan atau moto berubah makna menjadi cibiran
sinis: sloganistis! Kata tanpa makna.
Slogan
menjadi tuntunan bila diikuti tindakan-tindakan rasional dalam kenyataannya.
Sebaliknya, slogan menjadi kata cemoohan jika tak memiliki rujukan dalam
realitas. "Menolak Korupsi"
adalah kata-kata kuat; namun menjadi sampah ketika kenyataan justru
menunjukkan hal sebaliknya.
Karena
itu, dalam urusan slogan, mungkin bisa meniru Prancis di Piala Dunia tahun
ini yang mengusung moto sederhana: "Impossible
N'Est Pas Francis (Tak Ada Kata
Tidak Mungkin dalam Bahasa Prancis)". Slogan tim Prancis ini seperti
memberi tahu, sepak bola pada akhirnya juga urusan bahasa, urusan literasi.
Mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar