Kamis, 19 Juni 2014

Jurnalisme Fitnah dan Kampanye Hitam

Jurnalisme Fitnah dan Kampanye Hitam

Asmadji As Muchtar  ;   Dosen Pascasarjana UII Yogyakarta ,
Wakil Rektor III Unsiq Wonosobo Jawa Tengah
SINAR HARAPAN,  18 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Media seperti tabloid bisa disebut sebagai produk jurnalisme fitnah, jika isinya tidak berdasarkan fakta dan sangat tendensius membunuh karakter pihak-pihak tertentu yang diberitakannya.

Jika tabloid seperti itu muncul menjelang pilpres berisi data-data terkait capres yang tidak benar, bisa juga dianggap sebagai bentuk kampanye hitam.

Begitulah. Menjelang pilpres, kampanye hitam atau kampanye gelap semakin marak, lazimnya berisi fitnah terhadap capres. Publik hanya bisa menduga-duga pelakunya dari masing-masing tim sukses atau bisa jadi dari pihak lain.
Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi pembangunan demokrasi di negeri ini jika tidak ada upaya untuk melawannya.

Seharusnya, masing-masing capres bersama tim suksesnya bersedia duduk bersama memberikan penjelasan kepada publik kampanye hitam atau kampanye gelap berisi fitnah tidak usah dipercaya. Jadi, ini bisa menjadi pencerahan bagi semua pihak khususnya bagi rakyat.

Namun sayang sekali, sejauh ini masing-masing capres dan tim suksesnya malah cenderung saling bersikap defensif dan cuci tangan sehingga kampanye hitam justru semakin marak.

Korban Fitnah
Layak ditegaskan, rakyat bisa menjadi korban kampanye hitam atau kampanye gelap jika sampai memercayainya karena memercayai fitnah sama dengan tersesat atau terjerumus ke dalam lingkaran setan yang bernama labirin fitnah-memfitnah.

Misalnya, jika si A percaya terhadap fitnah, cenderung akan cenderung ikut menyebarkan fitnah. Padahal, menyebarkan fitnah bisa dikategorikan dosa dan juga melanggar hukum positif.

Dalam rumus sosiologi, fitnah atau pembunuhan karakter memang sering lebih kejam daripada pembunuhan dalam arti yang sebenarnya. Konkretnya, korban fitnah atau korban pembunuhan karakter tetap hidup, tetapi citra kepribadiannya telah hancur di mata masyarakat.

Meski demikian, korban fitnah tetap berpeluang memperbaiki citra pribadinya, jika sejarah membuktikan fitnah yang menimpa dirinya betul-betul fitnah.

Dalam hal ini, jika korban fitnah ternyata memang difitnah, publik akan mengerti pihak yang memfitnah memang jahat dan karenanya tercela, bahkan layak dikutuk.

Data empiris membuktikan, sejumlah tokoh yang pernah difitnah rezim Orde Baru sebagai komunis atau subversif, kemudian dijebloskan ke dalam tahanan atau dipenjara dalam waktu lama, ternyata bisa membuktikan dirinya hanya korban fitnah.

Publik pun mengerti rezim Orde Baru ternyata sangat jahat karena suka memfitnah anak bangsa sendiri untuk memperpanjang kekuasaan.

Politik Fitnah

Dalam ranah politik, fitnah-memfitnah bukan hal baru lagi. Pasalnya, masing-masing pihak selalu bersaing atau sama-sama berhak untuk berkuasa. Sejarah pun mencatat, Ken Arok bisa menjadi raja karena berhasil memfitnah Kebo Ijo dengan kelicikan yang sempurna.

Bahkan, Kebo Ijo bukan hanya sebagai korban fitnah, melainkan juga dibunuh Arya Penangsang dalam arti yang sebenarnya sehingga tak punya peluang lagi untuk membuktikan fitnah yang menimpanya. Namun, akhirnya sejarah kemudian tetap mencatat Kebo Ijo difitnah dan dibunuh Ken Arok yang berambisi menjadi penguasa.

Fitnah memang kejam, itu pasti. Namun, fitnah yang paling kejam adalah fitnah politik atau bisa dibalik menjadi politik fitnah. Selain itu, politik fitnah bisa melibatkan banyak pihak sehingga fitnah politik bisa meluas dan menjelma konspirasi-konspirasi yang keji.

Kerena itu, politik fitnah sebaiknya tidak dikembangkan di Indonesia, terutama atas nama demokrasi yang sedang berkembang. Terlalu sayang jika demokrasi dibiarkan menjadi perang fitnah yang menimbulkan kekejaman politik yang kontraproduktif dan destruktif.

Risiko Demokrasi

Namun, politik fitnah sering dianggap wajar dalam negara demokrasi atau politik fitnah dianggap termasuk risiko demokrasi yang tidak perlu dibawa ke pengadilan. Dalam hal ini, korban fitnah politik harus berjiwa besar sebagaimana lazimnya pemimpin di negara-negara demokrasi.

Dengan kata lain, capres tidak perlu memenjarakan pihak-pihak yang memfitnahnya karena mereka bisa berdalih tidak memfitnah, tetapi hanya ingin mengekspresikan aspirasinya sesuai spirit demokrasi.

Di negara demokrasi, setiap pemimpin harus berjiwa besar menerima risiko demokrasi. Kita tidak bisa membayangkan apa jadinya jika misalnya capres yang terpilih nanti suka memenjarakan anak-anak bangsa hanya karena mengekspresikan demokrasi.

Harus ditegaskan juga, maraknya praktik politik fitnah memang bisa berbahaya bagi demokrasi jika tidak diterima sebagai risiko yang wajar terutama oleh penguasa. Misalnya saja, jika capres terpilih nanti menghukum mereka yang melakukan fitnah dengan pasal subversi atau pencemaran nama baik, seluruh rakyat akan ketakutan.

Pada titik ini, Indonesia bisa mundur dan menjadi negara terbelakang yang berpeluang dipimpin diktator yang sangat kejam.

Karena itu, maraknya praktik politik fitnah dalam demokrasi tak perlu dibenturkan dengan hukum berdasarkan pasal-pasal karet yang sangat menakutkan bagi anak-anak bangsa agar negara ini tidak terus-menerus dicemari sejarah tentang kekejaman rezim-rezim otoriter yang suka membungkam lawan-lawan politiknya.

Biarlah rakyat bebas menikmati ekspresi demokrasi. Yang suka memfitnah dengan keji pasti akan ditampik rakyat yang notabene sudah cerdas.

Dalam hal ini, upaya melawan fitnah dalam kampanye hitam harus dilakukan capres bersama tim sukses masing-masing sebatas keterangan resmi yang jujur dan terbuka di depan publik agar semua pihak mengerti, fitnah dalam kampanye hitam ternyata dari pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Karena itu, fitnah tidak perlu dipercaya atau disebarluaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar