Piala
Dunia dan Bola Api Pilpres
Tom
Saptaatmaja ; Kolumnis,
Alumnus
STFT Widya Sasana Malang dan Seminari St Vincent de Paul
|
SINAR
HARAPAN, 18 Juni 2014
Sepak
bola memang olahraga terfavorit dan paling populer sejagat raya. Salah satu
buktinya, bisa kita saksikan betapa publik dunia, termasuk publik kita,
hari-hari ini tengah dilanda euforia, bahkan kegilaan akan sepak bola Piala
Dunia (PD) resmi dimulai Jumat 13 Juni dini hari dengan tuan rumah Brasil
menjamu Kroasia.
Secara
keseluruhan, PD di Brasil berlangsung pada 13 Juni-14 Juli 2014. Total pesta
bola bernilai Rp 129 triliun ini akan menyajikan 64 pertandingan dari 32
negara peserta. PD di Brasil ini merupakan Piala Dunia yang ke-20.
Piala
Dunia pertama diadakan di Uruguay dari 13-30 Juli 1930. Pesertanya 13 negara.
Uruguay mengalahkan Argentina 4-2 di final di depan 93.000 penonton di
Montevideo untuk menjadi negara pertama yang merebut piala tersebut.
Sepanjang
sejarah Piala Dunia, negeri ini pernah sekali berpartisipasi, yakni pada
Piala Dunia ketiga di Prancis pada 1938. Waktu itu negeri kita bernama Dutch
East Indies atau Hindia Belanda yang menjadi negara Asia pertama yang masuk
ke putaran final Piala Dunia.
Para
pemainnya, antara lain Isaak Patiwael, Anwar Soetan, Nawir, Soedarmadji,
Moheng, dan Hong Djin. Di babak pertama, tim kita dilibas Hungaria 0-6.
Setelah
merdeka, prestasi bola kita justru merosot. Pada 19 April 2014, PSSI, yang mewadahi
sepak bola kita berultah ke-84, tapi apa yang bisa ditorehkan PSSI? Paling
hanya dua medali emas SEA Games 1987 dan 1991. Saat ini, peringkat bola kita
masih berada di posisi 154 dari 208 anggota FIFA.
PD kali
ini jelas menjadi blessing in disguise bagi kita. PD ibarat ''kompres''
pendingin di tengah kondisi memanas di Tanah Air, seiring kampanye pilpres.
Tanpa PD, jelas suhu politik kian memanas.
Boleh
jadi kita sudah tahu, yang menarik dari fenomena sepak bola adalah fakta
betapa daya pesonanya bukan hanya berlangsung di dalam lapangan, melainkan
juga ke luar lapangan, yakni mendorong bola ke ranah lain di luar dirinya,
seperti ke wilayah politik atau agama. Karena itu, muncullah sepak bola
politik atau ''agama sepak bola''.
Sepak
bola politik kita, misalnya, hanya dipenuhi pemain yang egois sehingga tidak
ada kerja sama untuk mewujudkan kesejahteraan bersama sebagaimana makna
politik pada awalnya, yakni untuk bonum commune atau kebaikan bersama.
Para
politikus kita hanya menjadikan politik sebagai ajang malum commune atau
keburukan bersama.
Untuk
''agama sepak bola'' yang terkenal pernah diungkapkan Robert N Bellah. Dalam
perspektifnya tentang civil religion, sepak bola juga sebuah agama. Civil religion,
menurut Bellah, tidak dalam arti agama konvensional, seperti Islam atau
Kristen.
Namun,
itu suatu bentuk kepercayaan dan gugusan nilai dan praktik yang memiliki
semacam ''teologi'' dan ritual tertentu yang di dalam realisasinya
menunjukkan kemiripan dengan agama.
Thomas
Mitchell juga punya pemikiran menarik soal agama sepak bola itu. Dalam
tulisannya, “Is Soccer Europe's
Substitute Religion?”, dia memaparkan bahwa agama Kristen di Eropa saat
ini sudah diganti agama sepak bola. Lihat, bangku-bangku gereja di Eropa
semakin sepi pengunjung, sedangkan bangku-bangku di stadion bola kian penuh
sesak.
Akan
tetapi, hal seperti diungkapkan Mitchell itu tidak terjadi di dalam sepak
bola Brasil. Meski bagi orang Brasil sepak bola sudah menjadi agama nomor
dua, agama yang utama tetap dilibatkan dalam urusan sepak bola. Sukses tim
Brasil yang sudah menjuarai Piala Dunia untuk kelima kali, konon, juga tak terlepas
dari keyakinan atau agama mayoritas negeri itu.
Agama dan Politik
Hal yang
menarik, jelang pilpres ini, agama dijadikan bola api politik. Kalau Rinus
Michel, pelatih timnas Belanda 1974, suka menyebut sepak bola adalah perang,
dalam kancah perpolitikan, kita justru sedang berlangsung perang urat saraf
antara pasangan capres cawapres nomor 1 dan 2.
Perang
urat saraf menggunakan propaganda dan tindakan lain secara sistematis dan
taktis dengan maksud memengaruhi opini, emosi, sikap, dan perilaku lawan,
kelompok netral, maupun sahabat dalam rangka mencapai goal atau sasaran serta
tujuan. Itu seperti terlihat dari maraknya propaganda berupa iklan politik
atau kampanye hitam.
Menurut
pakar komunikasi politik Amerika Harold Lasswell (1977:48), propaganda tidak
lain merupakan diseminasi informasi secara sistematis dan tanpa henti guna
mengubah pandangan, sikap, dan emosi lawan supaya akhirnya berpihak kepada
pihak penyampai propaganda.
Tidak
heran jika beragam cara dimanfaatkan para kandidat capres guna menyongsong
Pilpres 9 Juli 2014. Lihat, beragam propaganda dan metode guna memikat
perhatian publik dilakukan.
Misalnya,
beragam bentuk propaganda di Facebook atau Twitter untuk mempromosikan capres
pilihannya. Tentu saja iklan politik di televisi atau koran serta di spanduk
dan gambar yang dipajang di sepanjang jalan.
Semua
cara propaganda memang sah-sah saja. Namun yang disayangkan adalah jika
persoalan SARA terus di-blow up untuk jadi isi propaganda. Cara-cara tak etis
ini jelas bukan merupakan pendidikan politik yang baik bagi rakyat.
Itu
sudah masuk kategori fitnah dan menyudutkan! Ini jelas sudah menjadikan agama
sebagai bola api politik. Ini sangat berbahaya bagi keutuhan dan persatuan
bangsa. Lagipula, cara-cara itu akan meninggalkan luka panjang, padahal
gelaran pilpres hanya sebentar.
Selain
berbahaya bagi keutuhan bangsa, cara kampanye dengan fitnah mengingatkan kita
akan ulah pemain Italia di Euro 2004, Fransesco Totti, yang meludahi pemain
Denmark sehingga akhirnya dia diskors.
Seperti
Totti, para penggagas atau penyebar selebaran gelap sebenarnya sudah meludahi
dan menghina keluhuran martabat manusia dan agama.
Kalau
itu terus digunakan, cara-cara tersebut hanya akan berbuah kekalahan bagi
kemanusiaan. Kekalahan bagi kemanusian seperti inilah yang seharusnya kita
ratapi daripada sekadar kekalahan dalam berebut kekuasaan.
Mari
kita tidak menjadikan agama sebagai bola yang bisa disepak atau ditendang
dengan kaki yang kotor. Mari kita belajar berdemokrasi dengan menjunjung
sportivitas atau prinsip fair play
sebagaimana di PD.
Yang
paling penting, mari kita kembalikan agama ke jati dirinya sebagai pembawa
perdamaian dan perekat antarmanusia, bukan sepatu untuk melegimitasi birahi
akan kekuasaan dengan menginjak-injak martabat sesama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar