Indonesia
Bukan Kandang Kuda
Max
Regus ; Studi Doktoral di Belanda
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Juni 2014
BEBERAPA waktu lalu, dalam salah
satu sesi Mata Najwa, yang menampilkan perdebatan blok Jokowi versus kubu
Prabowo, publik Indonesia merasa tergelitik dengan jawaban ringan Adian
Napitupulu yang menyebut sisi baik capres Prabowo sebagai pengurus kuda yang
baik. Begitu cepat, ucapan mantan aktivis 1998 itu segera terhubungkan dengan
kebiasaan Prabowo mengoleksi kuda, yang sebelumnya tidak banyak diketahui
masyarakat. Sentilan politikus PDIP itu langsung mengingatkan publik ketika
Prabowo memamerkan gayanya dalam menunggang kuda beberapa waktu lalu dalam
hajatan politik Partai Gerindra. Tentu, soal kuda itu lebih daripada sekadar
lelucon di panggung debat politik. Kuda, seperti juga boneka yang disematkan
kepada capres Jokowi beberapa waktu sebelumnya, menjadi simbolisme kuasa.
Komitmen
Sebetulnya, tidak ada yang aneh
dengan simbolisme kuda. Sejak lama, kuda dijadikan sebagai ukuran kekuatan.
Misalkan, sebuah mobil yang disamakan dengan sekian banyak tenaga kuda. Atau,
kekuatan kendaraan yang dikonversikan ke dalam tenaga kuda.
Mungkin Prabowo ingin meminjam
simbolisme politik kuda untuk membahasakan kegagahan dan kekuatan dalam
kancah Pilpres 2014. Namun, soal sederhana itu dapat pula dibahas dari sisi
yang lain. Dalam konteks politik, tidak terhindarkan, sesederhana apa pun
kebiasaan hidup calon pemimpin, sebetulnya hal itu mencerminkan apa yang
mengendap di kedalaman kesadaran personal dan jiwa politik.
Selalu menjadi hal yang menarik
untuk mengupas pola hidup para calon pemimpin dengan titik berangkat pada
sejumlah hal sederhana dengan menabrakkannya pada substansi komitmen politik
kekuasaan mereka bagi kebaikan rakyat. Di saat-saat tertentu, mereka secara
tidak sengaja memperlihatkan sesuatu yang dapat menjadi alasan bagi publik
untuk mencocokkan arus keprihatinan politik mereka, atau sekadar meraba
sebetulnya seserius apa mereka ingin menjadi jembatan harapan rakyat.
Publik, misalnya, mesti berani
melemparkan pertanyaan, apakah calon pemimpin, katakanlah Prabowo, yang
telaten mengurus kuda, dapat memperhatikan kehidupan rakyat dan keindonesiaan
dengan ketelatenan politik pada tingkat yang jauh lebih serius ketika dia
mengurus kuda peliharaan? Benarkah ada kesungguhan ketika orang-orang yang
mengumandangkan diri sebagai calon pemimpin menghabiskan harta mereka dengan
cara semacam itu di tengah sekian juta anak-anak Indonesia yang tidak dapat
menikmati makanan yang layak dan pendidikan yang baik? Kebiasaan hidup yang
berjarak dengan kegelisahan pokok rakyat kalangan bawah justru mengunci dan
mematikan komitmen politik demokratik.
Kepatutan
Ketika audiens Mata Najwa
terbahak mendengar sentilan Adian Napitupulu tentang sosok Prabowo,
sebetulnya itu mencuat dari refleksi publik tentang seperti apa sosok
pemimpin yang dapat menangkap hasrat politik mereka. Di situ, bukan lagi
kecanggihan metode kampanye politik yang amat menentukan pilihan politik
publik, melainkan kadar kepatutan politik yang dipunyai calon pemimpin.
Kepatutan politik membahasakan koneksitas antara kata dan persaksian politik.
Ketika calon pemimpin politik memuncratkan kata-kata populis, tetapi pilihan
tindakan sosial melenceng jauh dari kegelisahan publik, ketidakpatutan
politik akan memborgol opsi fundamental kekuasaan yang mampu mengabdi
kepentingan rakyat.
Perilaku sosial para calon
pemimpin harus bebas tafsir politik publik. Anda tidak bisa marah kepada
publik yang bisa menjatuhkan pilihan politik berdasarkan pertimbangan pada
sejumlah aspek yang mungkin dianggap sepele. Begitu pun, tatkala simbolisme
kuda diangkat dalam kerangka diskursus politik publik, soal itu segera berada
di level yang substansial. Itu sama seperti ketika orang menyamakan Jokowi
seperti boneka.
Prabowo teruji amat telaten
mengurus kuda peliharaannya. Namun, rakyat tidak seperti kuda peliharaan,
yang saban hari diberi gizi, lalu pada suatu ketika akan ditunggangi sekadar
untuk memamerkan kekuasaan. Sesuatu yang sebetulnya datang dari rakyat. Para
elite politik seharusnya menajamkan kesadaran bahwa kelaziman meminjam
punggung rakyat untuk mempertontonkan kepongahan ialah kezaliman yang harus
segera diakhiri. Di titik ini, semua kekejian politik semacam itu harus bisa
diakhiri. Penguasa tidak bisa menyogok rakyat dengan janji-janji politik
tanpa bukti konkret di level pengabdian sosial, lalu menindas mereka dengan
seonggok kuasa yang datang dari rakyat.
Transaksional
Komitmen politik untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat akan runtuh ketika kerangka kekuasaan
disesaki dengan perkoncoan transaksional. Dalam bahasa sederhananya, para
elite politik saling `menunggang' untuk memuluskan kepentingan politik faksional.
Tragisnya, rakyat yang akan menanggung akibat destruktif dari tata laku
kekuasaan semacam ini. Tidak mustahil, rumusan kebijakan politik yang
diamankan dengan balutan regulasi hanya akan menjadi kuda tunggangan penguasa
untuk mengeruk keuntungan ekonomi-politik tanpa batas.
Kita berada di area permenungan
politik yang tidak remeh bahwa Indonesia niscaya menjadi ruang pemekaran
kesejahteraan dan pemerkayaan keadilan sosial. Indonesia tidak seperti
kandang kuda, tempat tuannya menyehatkan kuda piaraan agar bisa kuat untuk
ditunggangi. Rakyat bukan kuda tunggangan para penguasa di bumi Nusantara
ini. Sebaliknya, pemimpin politik adalah sosok yang rela menyentuh kesulitan
masyarakat bawah dan meraih tangan mereka, lalu berjalan bersama untuk
menemukan arah yang tepat menuju Indonesia yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar