Senin, 23 Juni 2014

Menjerat Hukum Aktor Tabloid Obor Rakyat

Menjerat Hukum Aktor Tabloid Obor Rakyat

Agust Riewanto  ;   Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
MEDIA INDONESIA, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KOMPETISI dalam Pilpres 2014 yang diikuti oleh hanya dua pasangan capres/cawapres (Prabowo Subianto-Hatta Rajasa vs Joko Widodo-HM Jusuf Kalla) sangat keras, panas, dan sengit. Tak mengherankan bila aneka cara ditempuh untuk dapat memenangi kompetisi ini, mulai cara halus hingga teramat kasar dan tak beradab. Tabloid Obor Rakyat belakangan ini menjadi sorotan publik karena dijadikan alat untuk mengagitasi, memprovokasi, dan memfitnah capres Joko Widodo (Media Indonesia, 17 Juni 2014).

Super-black campaign dan fantastis

Menyelisik bentuk dan kedalaman isinya, tabloid ini sengaja didesain bukan sebatas kampanye gelap (black campaign), melainkan telah sampai pada derajat supergelap (super-black campaign). Tabloid ini dapat dikategorikan sebagai media super-black campaign karena isi, maksud, dan tujuannya hanyalah menyajikan berita, opini, dan gagasan yang membunuh karakter (character asassination) salah satu capres (Joko Widodo) dengan menggunakan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang keji, tanpa dimbangi dengan data yang akurat, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah jurnalistik.

Lebih dari itu, peredaran tabloid ini sangat sistematis dan terstruktur, sebab hanya disebarluaskan untuk kala ngan pesantren di Jawa Barat dan Jawa Timur. Jumlah oplahnya 27.230 dengan total biaya sekali terbit untuk cetak, honor, dan kirim sangat fantasis, total Rp3.200.065.000 (Media Indonesia, 17 Juni 2014).

Borok kampanye

Lazimnya di alam demokrasi, media adalah alat mulia untuk menyemai gagasan, opini, berita aktual yang mendidik dan mencerahkan publik. Itulah mengapa diperlukan aneka model regulasi institusi pengawasan media agar berada dalam `roh kemuliaannya'. Sejatinya, lahirnya UU No 49 Tahun 1999 tentang Pers dan Dewan Pers ialah sematamata untuk meluruskan fungsi mulia media. Atas dasar itulah Ketua Dewan Pers Prof Dr Bagir Manan menyatakan tabloid Obor Rakyat tidak dapat dikategorikan sebagai produk jurnalistik, bukan hanya karena tidak memiliki surat izin jurnalistik, melainkan juga karena isinya jauh dari asas-asas jurnalistik yang baik (Kompas, 17 Juni 2014).

Dengan demikian, Obor Rakyat sesungguhnya bukan hendak memberi obor (penerang) rakyat, melainkan justru menyajikan borok dan kebobrokan model kampanye pilpres di Indonesia yang menghalalkan segara cara: menindih dan mematisurikan nalar dan moral.

Indonesia terlalu demokratis

Munculnya tabloid Obor Rakyat dalam kampanye Pilpres 2014 sesungguhnya merupakan noda hitam yang melukai asas demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, dan keadilan dalam berkompetisi meraih tiket kursi istana presiden. Ini cermin dari superliberalisme kompetisi dalam demokrasi untuk merebut kursi kekuasaan presiden sepanjang sejarah politik di Indonesia. Amerika Serikat yang selalu dijadikan rujukan praktik demokrasi liberal, dalam praktiknya kampanye pilpres di sana tidak dilakukan seliberal di Indonesia. Betapa terlalu demokrasisnya Indonesia kita. Liberalisme demokrasi bukan berarti bebas mengumbar fitnah dan memprovokasi rakyat untuk membenci sese orang atau golongan, seperti tecermin dari isi tabloid Obor Rakyat.

Liberalisme dalam demokrasi pun sejatinya ada batasnya, yakni kebebasan yang dibatasi oleh hak orang lain. Kebebasan tidak bersifat absolut, tetapi limitatif. Demokrasi Indonesia adalah demo krasi yang memiliki nilai dasar ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan kesejahteraan seperti tecermin dalam lima sila ideologi Pancasila. Tepatlah jika di era 1950-an Wakil Presiden Drs Moh Hatta (Bung Hatta) menulis buku Demokrasi Kita (1966) yang menggugat demokrasi Indonesia yang terlalu liberal melebihi praktik demokrasi di negara-negara Barat. Padahal Bung Hatta sendiri jebolan pendidikan Barat. Bung Hatta telah merasakan denyut nadi praktik demokrasi di Timur dan di Barat, sehingga validitas gugatannya tak diragukan lagi.

Produk politik

Menyelisik produk tabloid ini yang hanya hadir saat Pilpres 2014, mudah diduga ia bukan produk sembarang produk, melainkan produk politik yang bermotif untuk meracuni kompetisi dalam pilpres. Memang isi tabloid ini tidak secara eksplisit menyebutkan dukungan kepada capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, tetapi secara implisit mudah dibaca, jika menyudutkan dan membunuh karakter capres Joko Widodo, berarti mendukung capres Prabowo Subianto.

Belakangan diketahui pemimpin redaksi tabloid ini (Setyardi Budiyono) ialah salah satu staf khusus Presiden SBY bidang otonomi daerah. Adapun Partai Demokrat jelas menyokong capres Prabowo Subianto karena berpasangan dengan cawapres Hatta Rajasa yang merupakan besan SBY.

Mudah diduga tabloid ini pastilah disiapkan dalam setting kepentingan besar untuk mendukung salah satu capres. Di belakang tabloid ini diduga bukan orang biasa yang memiliki askses dan jejaring kekuasaan politik dan uang yang tidak kecil. Itulah mengapa sesungguhnya tabloid ini adalah representasi status quo kekuasaan politik di Indonesia yang tak ingin perubahan. Siapa pun tahu kompetisi capres Prabowo Subianto vs Joko Widodo adalah representasi koalisi pro-status quo vs koalisi anti-status quo, koalisi elite politik vs koalisi rakyat, koalisi orang besar vs koalisi orang kecil, koalisi bermodal uang vs koalisi modal uang iuran, koalisi rezim lama vs koalisi rezim baru, dan koalisi militer vs koalisi sipil.

UU untuk menjeratnya

Karena bukan produk jurnalistik, tabloid Obor Rakyat melanggar asas-asas jurnalistik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengatur tentang larangan menyebarkan berita kebencian berda sarkan diskriminasi dan etnis. Tabloid ini lahir saat kampanye pilpres, maka dapat dikategorikan sebagai alat kampanye supergelap. Karena itu, ia dapat dikualifikasikan melanggar ketentuan Pasal 214 UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden yang mengatur tentang larangan kampanye yang mengandung unsur provokasi dan kekerasan berdasarkan agama, suku, dan antargolongan, yang berdampak pada elaktibilitas capres. Karena tabloid ini secara riil menimbulkan korban dan kerugian immateriil pihak tertentu (Jokowi), maka pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan tabloid ini dapat dijerat dengan menggunakan Pasal 310 dan 311 KUHP yang mengatur tentang larangan penghinaan dan fitnah, serta Pasal 157 dan 157 KUHP tentang potensi penyebaran kebencian kelompok/orang tertentu.

Dengan demikian, sesungguhnya menjerat hukum pelaku dan para pihak yang terlibat dalam jaringan penerbitan tabloid ini dapat menggunakan tiga dasar hukum, yakni UU Pers, UU Pilpres, dan KUHP, karena di dalamnya mengandung unsur kejahatan dan pelanggaran pidana khusus momentum pilpres, juga mengandung praktik kejahatan pidana umum. Karena itu, proses menjerat hukum pelakunya dapat melibatkan Dewan Pers, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan kepolisian.

Dewan Pers difungsikan untuk mengkaji isi berita yang melanggar asas jurnalistik dan menegakkan UU Pers. Bawaslu berfungsi untuk mengkaji tentang eksistensi tabloid ini, yang muncul di saat kampanye pilpres, karena itu ia bagian dari alat kampanye supergelap. Adapun kepolisian sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki otoritas melakukan penyidikan dan penyidikan atas kejahatan dan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh tabloid itu.

Menanti nyali Kapolri

Sesungguhnya, baik UU Pers, UU Pilpres, maupun KUHP bermuara pada 
keberanian polisi untuk menjerat hukum para pelaku penerbitan tabloid ini. Kini bola ada di tangan kepolisian, mau dan beranikah menjerat pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan tabloid ini. Tak ada alasan kuat bagi polisi untuk membiarkan kasus ini berlarut. Karena, kian lambat polisi memproses kasus ini, berarti polisi telah melakukan pembiaran (by omission) sebab barang bukti telah jelas, pelakunya ada (Setiyardi Budiyono dan Darmawan Sepriyossa). Tugas polisi kini tinggal merajut dan mendalami siapa aktor utama di balik kasus ini, berikut motifnya.

Publik berharap kasus ini tidak menguap dan hilang ditelan oleh beragam isu hukum lain yang lebih seksi, hanya semata-mata karena polisi takut pada nalurinya sendiri. Sesungguhnya kasus ini adalah pertaruhan besar reputasi kinerja dan komitmen menjadikan polisi lebih profesional dan independen di bawah kepemimpinan Kapolri baru Jenderal Sutarman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar