Menjerat
Hukum Aktor Tabloid Obor Rakyat
Agust
Riewanto ; Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Juni 2014
KOMPETISI dalam Pilpres 2014
yang diikuti oleh hanya dua pasangan capres/cawapres (Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa vs Joko Widodo-HM Jusuf Kalla) sangat keras, panas, dan sengit. Tak
mengherankan bila aneka cara ditempuh untuk dapat memenangi kompetisi ini, mulai
cara halus hingga teramat kasar dan tak beradab. Tabloid Obor Rakyat
belakangan ini menjadi sorotan publik karena dijadikan alat untuk
mengagitasi, memprovokasi, dan memfitnah capres Joko Widodo (Media Indonesia, 17 Juni 2014).
Super-black campaign dan fantastis
Menyelisik bentuk dan kedalaman
isinya, tabloid ini sengaja didesain bukan sebatas kampanye gelap (black campaign), melainkan telah
sampai pada derajat supergelap (super-black
campaign). Tabloid ini dapat dikategorikan sebagai media super-black
campaign karena isi, maksud, dan tujuannya hanyalah menyajikan berita, opini,
dan gagasan yang membunuh karakter (character
asassination) salah satu capres (Joko Widodo) dengan menggunakan isu SARA
(suku, agama, ras, dan antargolongan) yang keji, tanpa dimbangi dengan data
yang akurat, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah
jurnalistik.
Lebih dari itu, peredaran
tabloid ini sangat sistematis dan terstruktur, sebab hanya disebarluaskan
untuk kala ngan pesantren di Jawa Barat dan Jawa Timur. Jumlah oplahnya
27.230 dengan total biaya sekali terbit untuk cetak, honor, dan kirim sangat
fantasis, total Rp3.200.065.000 (Media
Indonesia, 17 Juni 2014).
Borok kampanye
Lazimnya di alam demokrasi,
media adalah alat mulia untuk menyemai gagasan, opini, berita aktual yang
mendidik dan mencerahkan publik. Itulah mengapa diperlukan aneka model
regulasi institusi pengawasan media agar berada dalam `roh kemuliaannya'. Sejatinya,
lahirnya UU No 49 Tahun 1999 tentang Pers dan Dewan Pers ialah sematamata untuk
meluruskan fungsi mulia media. Atas dasar itulah Ketua Dewan Pers Prof Dr
Bagir Manan menyatakan tabloid Obor Rakyat tidak dapat dikategorikan sebagai
produk jurnalistik, bukan hanya karena tidak memiliki surat izin jurnalistik,
melainkan juga karena isinya jauh dari asas-asas jurnalistik yang baik (Kompas, 17 Juni 2014).
Dengan demikian, Obor Rakyat
sesungguhnya bukan hendak memberi obor (penerang) rakyat, melainkan justru
menyajikan borok dan kebobrokan model kampanye pilpres di Indonesia yang
menghalalkan segara cara: menindih dan mematisurikan nalar dan moral.
Indonesia terlalu demokratis
Munculnya tabloid Obor Rakyat
dalam kampanye Pilpres 2014 sesungguhnya merupakan noda hitam yang melukai
asas demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, dan
keadilan dalam berkompetisi meraih tiket kursi istana presiden. Ini cermin
dari superliberalisme kompetisi dalam demokrasi untuk merebut kursi kekuasaan
presiden sepanjang sejarah politik di Indonesia. Amerika Serikat yang selalu
dijadikan rujukan praktik demokrasi liberal, dalam praktiknya kampanye
pilpres di sana tidak dilakukan seliberal di Indonesia. Betapa terlalu
demokrasisnya Indonesia kita. Liberalisme demokrasi bukan berarti bebas
mengumbar fitnah dan memprovokasi rakyat untuk membenci sese orang atau
golongan, seperti tecermin dari isi tabloid Obor Rakyat.
Liberalisme dalam demokrasi pun
sejatinya ada batasnya, yakni kebebasan yang dibatasi oleh hak orang lain.
Kebebasan tidak bersifat absolut, tetapi limitatif. Demokrasi Indonesia
adalah demo krasi yang memiliki nilai dasar ketuhanan, kemanusiaan,
keberadaban, dan kesejahteraan seperti tecermin dalam lima sila ideologi
Pancasila. Tepatlah jika di era 1950-an Wakil Presiden Drs Moh Hatta (Bung
Hatta) menulis buku Demokrasi Kita (1966)
yang menggugat demokrasi Indonesia yang terlalu liberal melebihi praktik
demokrasi di negara-negara Barat. Padahal Bung Hatta sendiri jebolan
pendidikan Barat. Bung Hatta telah merasakan denyut nadi praktik demokrasi di
Timur dan di Barat, sehingga validitas gugatannya tak diragukan lagi.
Produk politik
Menyelisik produk tabloid ini
yang hanya hadir saat Pilpres 2014, mudah diduga ia bukan produk sembarang
produk, melainkan produk politik yang bermotif untuk meracuni kompetisi dalam
pilpres. Memang isi tabloid ini tidak secara eksplisit menyebutkan dukungan
kepada capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, tetapi secara implisit mudah
dibaca, jika menyudutkan dan membunuh karakter capres Joko Widodo, berarti
mendukung capres Prabowo Subianto.
Belakangan diketahui pemimpin
redaksi tabloid ini (Setyardi Budiyono) ialah salah satu staf khusus Presiden
SBY bidang otonomi daerah. Adapun Partai Demokrat jelas menyokong capres
Prabowo Subianto karena berpasangan dengan cawapres Hatta Rajasa yang
merupakan besan SBY.
Mudah diduga tabloid ini
pastilah disiapkan dalam setting
kepentingan besar untuk mendukung salah satu capres. Di belakang tabloid ini
diduga bukan orang biasa yang memiliki askses dan jejaring kekuasaan politik
dan uang yang tidak kecil. Itulah mengapa sesungguhnya tabloid ini adalah
representasi status quo kekuasaan politik di Indonesia yang tak ingin
perubahan. Siapa pun tahu kompetisi capres Prabowo Subianto vs Joko Widodo
adalah representasi koalisi pro-status
quo vs koalisi anti-status quo,
koalisi elite politik vs koalisi rakyat, koalisi orang besar vs koalisi orang
kecil, koalisi bermodal uang vs koalisi modal uang iuran, koalisi rezim lama
vs koalisi rezim baru, dan koalisi militer vs koalisi sipil.
UU untuk menjeratnya
Karena bukan produk jurnalistik,
tabloid Obor Rakyat melanggar asas-asas jurnalistik sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 16 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengatur tentang
larangan menyebarkan berita kebencian berda sarkan diskriminasi dan etnis.
Tabloid ini lahir saat kampanye pilpres, maka dapat dikategorikan sebagai
alat kampanye supergelap. Karena itu, ia dapat dikualifikasikan melanggar
ketentuan Pasal 214 UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden yang mengatur
tentang larangan kampanye yang mengandung unsur provokasi dan kekerasan
berdasarkan agama, suku, dan antargolongan, yang berdampak pada elaktibilitas
capres. Karena tabloid ini secara riil menimbulkan korban dan kerugian
immateriil pihak tertentu (Jokowi), maka pelaku dan pihak-pihak yang terlibat
dalam penerbitan tabloid ini dapat dijerat dengan menggunakan Pasal 310 dan
311 KUHP yang mengatur tentang larangan penghinaan dan fitnah, serta Pasal
157 dan 157 KUHP tentang potensi penyebaran kebencian kelompok/orang
tertentu.
Dengan demikian, sesungguhnya
menjerat hukum pelaku dan para pihak yang terlibat dalam jaringan penerbitan
tabloid ini dapat menggunakan tiga dasar hukum, yakni UU Pers, UU Pilpres,
dan KUHP, karena di dalamnya mengandung unsur kejahatan dan pelanggaran
pidana khusus momentum pilpres, juga mengandung praktik kejahatan pidana
umum. Karena itu, proses menjerat hukum pelakunya dapat melibatkan Dewan
Pers, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan kepolisian.
Dewan Pers difungsikan untuk
mengkaji isi berita yang melanggar asas jurnalistik dan menegakkan UU Pers.
Bawaslu berfungsi untuk mengkaji tentang eksistensi tabloid ini, yang muncul
di saat kampanye pilpres, karena itu ia bagian dari alat kampanye supergelap.
Adapun kepolisian sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki otoritas
melakukan penyidikan dan penyidikan atas kejahatan dan pelanggaran pidana
yang dilakukan oleh tabloid itu.
Menanti nyali Kapolri
Sesungguhnya, baik UU Pers, UU
Pilpres, maupun KUHP bermuara pada
keberanian polisi untuk menjerat hukum
para pelaku penerbitan tabloid ini. Kini bola ada di tangan kepolisian, mau
dan beranikah menjerat pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan tabloid
ini. Tak ada alasan kuat bagi polisi untuk membiarkan kasus ini berlarut.
Karena, kian lambat polisi memproses kasus ini, berarti polisi telah
melakukan pembiaran (by omission)
sebab barang bukti telah jelas, pelakunya ada (Setiyardi Budiyono dan
Darmawan Sepriyossa). Tugas polisi kini tinggal merajut dan mendalami siapa
aktor utama di balik kasus ini, berikut motifnya.
Publik berharap kasus ini tidak menguap dan hilang
ditelan oleh beragam isu hukum lain yang lebih seksi, hanya semata-mata
karena polisi takut pada nalurinya sendiri. Sesungguhnya kasus ini adalah
pertaruhan besar reputasi kinerja dan komitmen menjadikan polisi lebih profesional
dan independen di bawah kepemimpinan Kapolri baru Jenderal Sutarman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar