Senin, 16 Juni 2014

Dolly, Oh, Dolly

Dolly, Oh, Dolly

Tjahjono Widarmanto  ;   Pimpinan Redaksi Majalah Sastra KALIMAS,
Penyair, Guru & Mahasiswa Doktoral Unesa
JAWA POS,  16 Juni 2014

                                                                                         
                                                      
RABU, 19 Juni mendatang, merupakan lonceng kematian bagi para penghuni lokalisasi Dolly. Pasalnya, pemkot Surabaya sudah menetapkan bahwa di hari itu lokalisasi Dolly harus ditutup total. Keputusan ini tentu saja mengundang pro dan kontra dari berbagai sudut pandangan dan paradigma. Tulisan ini tak hendak menambah jumlah yang pro maupun kontra tersebut. Penulis pun tidak pernah terlibat dalam emosi batin dengan keberadaan Dolly (apalagi sebagai pelanggan dan pengguna jasa di Dolly) sehingga merasa sah-sah saja kalau pemerintah sebagai penjaga moral masyarakat harus menutup sebuah tempat yang dianggap sebagai limbah masyarakat yang bisa mengancam moralitas masyarakat.

Tak bisa dimungkiri bahwa pada kenyataannya, Dolly di Surabaya merupakan sebuah fakta historis, sebuah realita kesejarahan yang tak bisa dilepaskan dari historika Kota Surabaya. Seperti juga sejarah pelacuran di dunia, dunia prostitusi, bisnis nikmat dan berahi di Dolly, memiliki sejarah yang panjang. Konon, para antropolog menggambarkan bahwa prostitusi atau pelacuran merupakan sebuah fakta yang tak dapat dielakkan sejak adanya pembagian peran laki-laki dan perempuan yang muncul pada masyarakat primitif yang berpola patriarki. Pada masyarakat primitif yang memiliki pola patriarki, tugas perempuan hanya diarahkan untuk melayani kebutuhan berahi laki-laki. Kaum feminis melihat bahwa kuatnya sistem patriarki inilah yang memicu fenomena prostitusi. Kaum Marxis menambahkan bahwa perkembangan kapitalisme ikut andil dalam menyuburkan prostitusi (pelacuran). Bahkan, Geertz (dalam Hull:1997) menunjukkan keterkaitan perkembangan ekonomi dan perkembangan prostitusi.

Dolly sudah mengakar seiring dengan perjalanan dan pertumbuhan Kota Surabaya. Sejarah industri prostitusi di Surabaya sudah dimulai saat zaman penjajahan yang pada waktu itu telah menjadikan Surabaya berkembang menjadi kota pelabuhan, pangkalan garnisun, perlintasan kereta, basis industri, pusat perniagaan dan persinggahan yang berdampak pula pada pertumbuhan niaga prostitusi dan aktivitas pelacuran. Adalah Dolly Van Der Mart yang pertama memunculkan bisnis berahi ini. Tante Dolly inilah yang dengan jeli melihat peluang yang cerah pada bisnis esek-esek ini yang pada akhirnya terbukti saat Surabaya menjadi salah satu kota yang memiliki tempat prostitusi terbesar dan terkenal se-Asia Tenggara menandingi Thailand.

Sebagai fakta historis, Dolly mau tidak mau, diakui atau diingkari, ternyata telah menjadi penanda identitas. Sudah menjadi ikonyang menandai identitas Surabaya. Bahkan, ada asumsi bahwa Dolly setara dengan Bali. Bali merujuk identitas Indonesia dan Dolly merujuk identitas Surabaya. Sebagai sebuah ikondari identitas, diam-diam masyarakat Surabaya mengakui keberadaannya, sebagian dengan ’malu-malu’ dan bangga, separo yang lain dengan mencibir. Baik yang ’malu-malu’, bangga, maupun yang sengit mencibir merupakan bentuk pengakuan keberadaan Dolly sebagai bagian dari Surabaya.

Saat menjadi bagian dari fakta historis dari historika panjang Kota Surabaya, Dolly pun menjadi sebuah fakta kultural. Dolly menjadi basis berkembangnya sebuah produk dan perilaku kultural yang berbeda dengan tempat yang lain. Luasnya wilayah prostitusi yang meliputi daerah Dolly, Tambak Sari, Klakah Rejo, Jarak dan Kremil, dengan total 3.500 penjual jasa prostitusi (yang 1.200, hampir separonya, berpusat di Dolly) yang secara otomatis membangun jejaring ekonomi dan sosial memungkinkan Dolly menjadi sebuah (meminjam istilah Pierre Bourdieu, dalam artian luas): habitus yang memiliki produk, kecenderungan, dan perilaku kultural yang liyan dan khas.

Masih ingat di kenangan penulis, saat menjadi mahasiswa di sebuah institut terkenal di Surabaya, saat menjadi salah seorang anggota baru sebuah unit kegiatan teater, senior saya menyuruh untuk melakukan observasi pada sebuah wilayah yang dianggap memiliki kekhasan. Pilihan saya jatuh pada Dolly. Maka, dengan seorang kawan berbekal sebuah motor buntut pinjaman, kami menyusuri gang-gang di sepanjang Dolly. Mata saya jelalatan, namun hati berdegup-degup di antara hasrat, takut, takjub, dan terkesima melihat para perempuan cantik, seksi, bergaya dan berdandan memancing berahi di balik kaca-kaca, persis ikan dalam akuarium dengan lampu 10 watt (untunglah, di masa itu saya masih seorang mahasiswa kere sehingga bisa menepis hasrat yang nyaris meletup-letup).

Ada juga yang turun ke jalan menyapa dengan folk klore berbentuk parikan yang khas; ”Tanjung Perak, Mas, kapale kobong, Mangga pinarak, Mas, kamare taksih kosong”. Ada juga sindiran bagi seorang yang tidak ’belanja’ namun menunggui rekannya ngamar: ”Pitik ditaleni, wong nggithik kok dienteni.” Atau parikan untuk mengundang tamu: ”Alang-alang di pinggir kali, gak bisa goyang uang kembali”. Ada pula yang lebih saru: Endhog gemak warnane cleret-cleret, tak jamin Pean penak molet-molet”. Atau yang lebih terang-terangan saat bertransaksi: ”Terang aja mahal, sandal jepit dirubung angkrang, barang isa njepit mesti regane larang!”

Ketika Dolly menjadi sebuah penanda sebuah identitas, menutupnya bukan persoalan sederhana. Ibaratnya, Dolly adalah sebuah tahi lalat di muka perempuan cantik (Surabaya). Untuk membuangnya diperlukan sikap yang hati-hati dan cara yang benar. Kalau caranya salah, jangan-jangan maunya agar kelihatan kinclong dan putih, malah menjadi belang-belang bopeng di wajah. Menutup Dolly harus melihat dan mempertimbangkan berbagai aspek, seperti aspek sosial, aspek ekonomi, aspek psikologi maupun kultural. Harus dicari solusi untuk mengganti jejaring sosial dan ekonomi yang telah telanjur terajut berpuluh tahun. Harus dicari solusi melubernya para penjaja nikmat ke daerah-daerah lain yang berarti tidak terkontrol lagi. Harus dibangun sikap psikologis masyarakat untuk mau menerima para mantan penjaja nikmat. Setidaknya harus ada upaya memutus akar prostitusi, yaitu kemiskinan, mentalitas, ketidakberdayaan perempuan dan kultur patriarki.

Dolly, oh..., Dolly, apa pun nasibmu bulan depan nanti, kau akan abadi dalam perbincangan dan kenangan karena kau pernah menjadi bagian dari kami. Dolly, oh, Dolly. Oh, Dolly....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar