Berpolitik
yang Indah
Hajriyanto
Y Thohari ; Wakil Ketua MPR
|
KOMPAS,
16 Juni 2014
DULU,
konon, kita menjauhi politik ideologi untuk menghindari konflik-konflik
ideologis yang cenderung keras seperti yang dominan dalam dua dasawarsa
setelah kemerdekaan. Maka, dilakukanlah kebijakan deideologisasi politik,
terutama—antara lain—melalui kebijakan asas tunggal.
Deideologisasi
pada perkembangannya bersifat eksesif jadi depolitisasi, bahkan
deparpolisasi. Partai-partai politik tak dibenarkan menonjolkan ideologinya,
apalagi bersifat ideology-oriented,
tetapi harus lebih tampil dengan program dan pendekatan pemecahan masalah.
Kebijakan
ini sepintas memang benar. Konflik-konflik ideologis yang keras praktis tidak
terjadi sampai era Orde Baru berakhir. Begitu era Reformasi, tampillah ke
muka tokoh-tokoh politik yang mencoba membangunkan kembali ideologi-ideologi
lama dari dalam kuburnya dan mencoba menghidupkannya kembali dalam pentas politik
Reformasi. Namun, ternyata eksperimen ini tak berhasil. Partai-partai
ideologis terlempar dari pentas politik Reformasi. Partai yang bertahan
adalah partai-partai yang mengklaim sebagai partai terbuka, lintas ideologi, lintas agama, etnis, dan budaya.
Politik transaksional
Pergeseran
dari politik ideologi ke non-ideologi
(yang katanya berorientasi pemecahan masalah dan programatis) tersebut
ternyata kini jadi eksesif: berkembangnya pragmatisme politik. Tidak ada lagi
perjuangan ideologi dalam politik, tetapi perjuangan kepentingan. Pengertian
dari apa yang disebut ”kepentingan” itu pun sudah mengalami reduksi dan
distorsi sedemikian rupa menjadi sekadar kepentingan materi atau bahkan uang.
Inilah pangkal dari politik transaksional yang kini menyelimuti dunia
perpolitikan nasional kita.
Agaknya
kini ada banyak politisi yang kurang memandang politik sebagai seni.
Alih-alih mereka memperlakukan politik seperti halnya komoditas, sarat dengan
transaksi jual beli alias, kata orang Jawa, politik dol tinuku atau politik
ente jual, ane beli seperti kata orang Betawi. Inilah yang politik
transaksional.
Politik
transaksional terjadi secara internal dan eksternal. Maka, kemenangan politik
seseorang sejatinya adalah kemenangan transaksional belaka. Bukan sebuah raihan politik karena
keunggulan visi, gagasan, dan ide-ide politis-ideologis yang ditawarkan
kepada rakyat yang memberikan motivasi dan inspirasi. Karena itu, kemampuan
retorika sebagai seni berpidato yang bagus tidak lagi terlalu relevan, bahkan
akan dicemooh sebagai omong kosong doang. Dalam perpolitikan era sekarang
ini, hampir-hampir tidak diperlukan lagi tampilnya politisi ideolog. Bahkan,
seorang demagog sekalipun tidak begitu relevan.
Tak
seperti diduga sebelumnya, politik transaksional yang pragmatis ternyata
lebih banyak melahirkan sikap hidup atau mati, now or never, daripada politik
ideologis. Bahkan, politik
transaksional ternyata lebih melahirkan sikap hidup atau mati (to be or not
to be) atau to kill or to be killed karena sudah telanjur basah.
Lihat
saja Pemilu Legislatif 2014 dan perilaku tim sukses, tim sukarelawan—atau apa
pun namanya—dalam kampanye Pemilu Presiden 2014 sekarang ini: sarat kampanye
negatif, kampanye hitam, dan fitnah. Ada fenomena apabila calon presiden
idolanya dikritik apalagi diganggu sedikit saja mereka akan mengamuk, mem-bully, atau setidaknya mengeluarkan
kata-kata kasar dan vulgar. Bahkan, tidak jarang mengancam. Mereka ingin
orang lain atau partai-partai politik
lain mendukung total capresnya. Jika tidak mau mendukung, diharuskan
janganlah nyinyir mengkritik capres idolanya itu.
Politik
tidak lagi dipandang sebagai the art of the possible. Permainan politik tak
lagi cantik dan enak ditonton. Politik yang berkembang adalah politik tukang
pukul, penuh kata-kata kasar, ancaman, gertakan, intimidasi, dan
sedikit-sedikit ngamuk seperti itu. Di sini politik menjadi tak indah, tidak
cantik, dan tidak menarik untuk dinikmati. Padahal, semestinya berpolitik itu
perlu seni, estetika, dan etika.
Politik itu seni
Politik
memang bukanlah matematika atau ilmu eksakta yang serba pasti dan rasional.
Namun, dengan mengatakan demikian bukan lantas berarti politik itu barang
gaib yang irasional (atau transrasional) yang sama sekali tidak bisa
diprediksi. Politik itu, kata sebuah adagium Barat, memang lebih sebagai seni
(art), yakni seni memainkan kemungkinan. Akan tetapi, dengan adagium
tersebut, bukan berarti dalam politik
hal-hal yang tidak mungkin dapat menjadi mungkin dengan begitu saja.
Pemahaman demikian agaknya terlalu sewenang-wenang.
Meski
adagium ini bisa dipahami bahwa dalam politik tak ada yang tidak mungkin,
tetapi janganlah sekali-kali bermain
di atas ketidakmungkinan. Jika partai yang didukung tidak mendapatkan
sejumlah kursi dengan jumlah yang signifikan di parlemen ataupun menurut
survei sangatlah rendah, misalnya, janganlah ngotot berusaha dengan segala
cara untuk maju dalam pemilihan presiden. Sesuatu yang di atas kertas tidak
mungkin sebaiknya tidak diperjuangkan di lapangan. Itu namanya ngotot dan tidak
tahu diri. Berjuanglah untuk sesuatu yang mungkin, janganlah bersikukuh
berjuang untuk sesuatu yang tak mungkin.
Berpolitik
itu memang memerlukan seni, yakni seni dalam mencapai tujuan itu sendiri.
Inilah seninya politik. Politik yang kita tanggapi sebagai seni tidak akan
menimbulkan stres, rasa paranoid, tidak aman yang terus- menerus, apalagi
frustrasi. Jika seorang politikus punya sedikit kecerdasan dan memandang
politik sebagai seni, berpolitiknya pun juga akan penuh keindahan dan
kesantunan.
Politik
dan pemilu bukanlah ladang perburuan kekuasaan, apalagi ”peperangan” atau
”Bharata Yuda” untuk membantai lawan politiknya. Politik tanpa seni akan
melahirkan politikus yang sangat tega, bahkan kejam, brutal, dan sadis.
Tanpa
seni, politik akan dipandang bukan sebagai permainan yang cantik dan enak
dinikmati, melainkan semata-mata sebagai permainan kekuasaan. Bahkan,
pertarungan kekuasaan semata. Akibatnya, politik semacam ini akan cenderung
kasar dan menghalalkan segala cara. Politik model ini cenderung melahirkan
sikap hidup atau mati (zero-sum game).
Jabatan akhirnya menjadi tujuan utama, bahkan obsesi.
Kini
permainan politik kita tak indah karena tidak menggunakan seni. Kerja-kerja
politik untuk mencapai kekuasaan tak lagi dilakukan dalam suatu ”permainan”
yang cantik dan indah. Dalam kehidupan politik kita sekarang ini aspek
keindahan terasa kurang: terlalu telanjang dalam berburu kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar