Agama
Calon Presiden dan Biologi Evolusi
Dyna
Rochmyaningsih ; Jurnalis Sains Independen
|
TEMPO.CO,
04 Juni 2014
Menjelang
pemilihan presiden Juli mendatang, banyak orang mempermasalahkan kedalaman
agama kedua kandidat. Izinkan saya menelaah fenomena ini dari perspektif
biologi evolusi. Para ilmuwan kini mulai meyakini bahwa agama dan politik
merupakan bagian dari sifat dasar manusia (human nature). Mereka percaya bahwa, seperti segala sifat manusia
yang lain, politik dan agama pun bersifat hereditary,
yang berarti diwariskan melalui DNA.
Profesor
Darren Scheiber, political
neuroscientist dari Universitas Exeter, Inggris, dan salah satu pengusung
teori hereditas dalam politik dan agama, mengakui bahwa masih banyak yang
belum diketahui tentang bagaimana biologi menentukan keputusan politik. Namun
penelitian terhadap orang-orang kembar yang memiliki kecenderungan sikap yang
sama, baik itu dalam politik maupun agama, meyakinkan para ilmuwan bahwa
sifat yang mengatur soal kecenderungan politik dan agama juga diwariskan.
Dalam
perspektif evolusi, politik dapat ditemui pada banyak makhluk hidup lain,
seperti lumba-lumba, gajah, hyena, dan simpanse. Mereka berinteraksi dengan
anggota dalam kelompok mereka untuk mendapatkan kekuasaan dalam komunitasnya.
Hewan-hewan ini juga bisa membentuk koalisi.
Berbeda
dengan politik, agama merupakan suatu hal yang baru ditemui pada spesies
manusia modern (Homo sapiens).
Richard Sosis, seorang ahli biologi evolusi, mengemukakan sebuah teori
tentang fungsi agama dalam evolusi manusia. Tidak seperti sejawatnya dari
Inggris, ahli biologi evolusi Richard Dawkins, yang mengatakan bahwa agama
adalah parasit, Sosis justru berteori bahwa agama adalah sebuah bentuk
adaptasi bagi keberlangsungan hidup spesies manusia modern.
Bagi
Sosis, agama merupakan sebuah alat untuk mencapai kesatuan sosial (social cohesion). Dengan mempercayai
Tuhan yang sama, manusia bisa lebih mudah bekerja sama.
Peran
agama sebagai penyatu sosial ini terlihat jelas dalam sejarah umat manusia,
walaupun sekarang peran agama sebagai penyatu sosial mulai luntur di
negara-negara Barat yang perlahan meninggalkan agama. Di Amerika, misalnya,
pemilihan presiden bukan lagi menyoal tentang agama, melainkan lebih ke arah
ideologi partai, liberal atau konservatif, yang berwujud kebijakan-kebijakan
yang sering kali bertolak belakang.
Namun,
di negara-negara Islam, peran agama sebagai penyatu sosial terasa masih
sangat kental. Banyak umat Islam, termasuk mereka di Indonesia, kecewa atas
keterpurukan negara-negara muslim sekarang, dan kekecewaan ini berakhir pada
sebuah kerinduan akan kejayaan masa lampau. Dalam pandangan mereka, Islam,
sebagai identitas, haruslah dimiliki oleh pemimpin negara muslim.
Isu
agama ini semakin mencuat menjelang pemilu presiden 2014 dan, menurut saya,
masih menjadi faktor signifikan saat memutuskan siapa calon yang dipilih.
Keputusan
memilih presiden, sebagaimana keputusan lain dalam hidup manusia, didasari pertimbangan
rasional dan emosional. Pertimbangan rasional dapat berwujud dari analisis
visi dan misi kedua calon presiden. Sedangkan pertimbangan emosional bisa
berwujud kecintaan kepada partai pengusung, rasa kagum terhadap calon
presiden, dan lain-lain. Meskipun rasio dan emosi saling bekerja sama untuk
membuat sebuah keputusan, pastilah ada yang lebih dominan di antara keduanya.
Mengingat
kebanyakan rakyat Indonesia tidak melanjutkan studi ke jenjang perguruan
tinggi, dan mengingat para calon presiden kita mengusung visi dan misi yang
normatif, saya ragu bahwa akan banyak warga Indonesia menggunakan analisis
rasional dalam pilpres nanti. Kebanyakan pasti akan menggunakan jalan pintas
(short cut) dalam memilih. Jalan
pintas ini merupakan analisis emosional di mana sikap keagamaan (religious behavior) bermain dan
menjadi dominan.
Dengan
memanfaatkan sifat manusiawi ini, banyak dari politikus kita menggunakan
agama untuk menyetir kontroversi politik melalui kampanye hitam. Mereka
memanfaatkan sifat natural manusia, yang cenderung memihak agamanya untuk
menyerang kandidat lain. Apa yang akan terjadi setelah kampanye hitam ini?
Profesor
Darren Scheiber, dalam komunikasinya dengan penulis, mengatakan: "Jika seorang politikus atau partai
ingin sukses menggunakan agama untuk tujuan politik mereka, mereka haruslah
terlihat 'ikhlas', bukan 'politis' (memiliki maksud tertentu). Bagaimanapun,
para politikus hanya merepotkan diri sendiri jika mereka terlalu bersekutu
dengan figur atau kelompok agama tertentu. Hal ini karena mereka bisa
membentuk koalisi yang terlalu terbatas. Keterbatasan semacam ini akan
mematikan bagi mereka."
Banyak
informasi di media sosial mengenai keagamaan kandidat yang terlihat sangat
politis. Alih-alih ikhlas, masyarakat melihat ibadah mereka sebagai aksi
politik. Dan, menurut Darren, hal itu justru tidak menguntungkan bagi mereka.
Pilpres Juli mendatang akan menunjukkan kesahihan argumen Darren dan
Sosis. Apakah rakyat Indonesia benar-benar sedang menggunakan agama sebagai
penyatu sosial? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar