Potong Satu Generasi
M Subhan SD ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 04 Mei 2016
Awal-awal
Reformasi dulu, wacana ”potong satu generasi” (cut off generation) barangkali dianggap terlalu kejam. Bisa jadi
dianggap mengandung motif balas dendam. Alhasil Reformasi, yang sebetulnya
begitu radikal menumbangkan rezim kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan
sentralistik, pada gilirannya berjalan tertatih-tatih. Langkah Reformasi
ibarat anak balita yang sedang belajar jalan: jatuh-bangun. Artinya, kemajuan
Reformasi bisa terhalangi dengan keburukan-keburukan yang begitu sulit
dihilangkan. Perangkat aturan memang banyak direformasi, tetapi perubahan
pola pikir (mindset) dan watak (character) bukan main sulitnya. Selama
18 tahun Reformasi, pergumulan belum mencapai titik akhir. Reformasi memang
proses, tetapi selama itu kita tidak mampu menuntaskan agenda Reformasi.
Andai
kata—sekali lagi andai kata—18 tahun lalu dilakukan pembersihan atau lustrasi
(lustration), bisa jadi kondisi
negeri ini tidak serumit sekarang. Agenda Reformasi, yakni pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) barangkali telah menunjukkan kemajuan
sangat berarti. Namun, yang terjadi selama 18 tahun ini, korupsi jalan terus
dan terjadi meluas, kolusi tetap marak, dan nepotisme juga tidak malu-malu
lagi. Institusi trias politika, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif,
sulit dibilang bersih. Reformasi tiga institusi memang telah dilakukan,
tetapi setiap muncul kasus-kasus korupsi. Maling uang rakyat masih saja
berkeliaran.
Barangkali
cuma di Indonesia yang jumlah kepala daerahnya (gubernur, bupati, wali kota)
lebih banyak terjerat korupsi. Hingga tahun 2015, dari 541 kepala daerah,
tercatat sebanyak 360 orang (sekitar 66 persen) terlibat korupsi.
Mencengangkan! Kini, Mahkamah Agung tengah disorot, setelah para penegak
hukum seperti hakim, bahkan termasuk panitera pengadilan, ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi. Publik masih menanti apakah MA benar-benar bersih atau
sebaliknya.
Tak
mengherankan, tekad serius untuk benar-benar membersihkan negeri ini dari
pejabat penggarong dipertanyakan. Pemerintah dan DPR selalu menyatakan
berkomitmen dengan agenda pemberantasan korupsi. Namun, kadang ”lain di bibir
lain di hati”. Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur Bupati
dan Wali Kota yang disetujui pada Kamis (2/6), pemerintah dan DPR ternyata
masih setengah hati untuk memperketat pencegahan praktik politik uang
(Kompas, 3/6).
Pertanyaan
penasaran terus membayang: apakah kita serius memberantas korupsi sampai ke
akar-akarnya? Sebetulnya generasi Reformasi lebih arif dibanding generasi
Orde Baru (Orba). Ketika Orba muncul, rezim langsung memotong atau melakukan
pembersihan besar-besaran terhadap semua hal yang terkait atau berbau Orde
Lama (Orla). Orba membasmi semua anasir komunis (PKI) yang dianggap terlibat
peristiwa 1965. Caranya, selain dibasmi dan dihukum, mereka ditandai kode
”ET” dan skrining ”bersih lingkungan”. Mengingat sejarah kelamnya, komunisme
menjadi musuh paling berbahaya. Partai-partai juga dipotong lewat kebijakan
fusi pada awal 1970-an. Begitupun rakyat, suaranya dibungkam. Di era Orde
Baru, rakyat benar-benar diam, nyaris tak bersuara. Politik mobilisasi sangat
kentara, bukan partisipasi. Mereka yang berbeda pendapat atau melawan
pemerintah dituding subversif atau antek komunis.
Generasi
era Reformasi tidak sedendam Orba. Meskipun mahasiswa dan rakyat berhasil
menumbangkan rezim Soeharto, tidak sampai menerapkan politik ”tumpas kelor”.
Justru aktor-aktor utama Orba bisa ikut gerbong Reformasi. Misalnya, Partai
Golkar yang menjadi mesin politik Orba tetap hidup. Wacana potong satu
generasi tidak membuat generasi Reformasi gelap mata. Tidak ada pelampiasan
dendam pada unsur-unsur Orba yang menindas selama lebih 32 tahun. Sayangnya,
tidak sedikit orang yang tidak berkeringat dan berdarah-darah memperjuangkan
Reformasi, justru menikmati kursi empuk kekuasaan. Dan, banyak pejabat publik
masih bermental Orba. Bahkan ada pejabat publik menuding Reformasi yang
menumbangkan Soeharto didalangi negara kapitalis dan komunis.
Tampaknya
generasi Reformasi lebih fokus melakukan perubahan radikal secara
substansial, yaitu kebebasan dan demokratisasi. Corak utama perubahan politik
dari Orba menuju Orde Reformasi adalah proses transisi dari sistem otoriter
menjadi sistem demokratis, transisi dari ekonomi kapitalis perkoncoan dan
patron-klien (patron-client and crony
capitalist) menuju sistem ekonomi pasar berbasis aturan main (rules-based market economy), dan
transisi dari sistem sosial-politik-ekonomi sentralistik menuju sistem
terdesentralisasi (Tadjoeddin, 2002).
Karena
semangatnya lebih genuine, Reformasi tidak memberi ruang terwujudnya
pembersihan, walaupun sempat mencuat pada tahun-tahun awal Reformasi. Pada
zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Mahfud MD pernah mengusulkan
kebijakan lustrasi atau memotong generasi tertentu seperti di sejumlah
negara.
Lustrasi
adalah kebijakan politik yang membersihkan rezim baru dari sisa-sisa rezim
lama. Pejabat-pejabat negara disaring ulang, yang bermasalah dan korup
diamputasi. Lustrasi memang menjadi jalan untuk mengerok korosi negeri ini
agar generasi berikutnya tidak terkontaminasi.
Di
sejumlah negara, lustrasi menjadi obat mujarab yang mengurai keruwetan suatu
negara, sebagaimana di negara-negara Eropa Timur pasca komunis, awal 1990-an.
Ilmuwan politik Universitas McGill, Maria Popova dan Vincent Post (The
Washington Post, 9 April 2014), menceritakan lustrasi mendapatkan momentum di
Ukraina. Sebuah survei mencatat hampir 80 persen responden mendukung
kebijakan lustrasi. Becermin pada pengalaman negara-negara seperti Hongaria,
Ceko, Slowakia, Polandia, dan Georgia, lustrasi memiliki efek positif pada
demokratisasi dan tata kelola pemerintahan yang baik di negara-negara
tersebut.
Bagaimana
Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar