Keseimbangan Baru Pasca-Brexit
Dzulfian Syafrian ;
Ekonom, Institute for
Development of Economics and Finance (INDEF) – Indonesia; Kandidat Doktor, Durham University Business
School – Inggris
|
KORAN SINDO, 28 Juni
2016
Pada 23 Juni 2016, Inggris
Raya (the United Kingdom/ UK)
akhirnya memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa (European Union/EU) melalui mekanisme referendum. Pada referendum
kali ini ada dua opsi yang tersedia yaitu tetap bertahan sebagai anggota EU (remain) atau keluar dari keanggotaan
EU (leave). Sebagaimana sudah
diprediksi sebelumnya, referendum ini akan berlangsung sangat ketat,
selisihnya tidak akan lebih dari 5%.
Faktanya, hasil akhir
menunjukkan bahwa kubu leave memenangi peperangan ini dengan perolehan
sekitar 52% suara. Banyak pihak menyebut bahwa referendum ini pemungutan
suara paling penting bagi UK sejauh ini, jauh lebih penting dibandingkan
pemilu biasa (general election).
Dampak bagi Dunia
Pertanyaan mendasar
dari Brexit (British Exit) bagi kita, orang Indonesia, adalah: kenapa kita
harus peduli dengan isu ini? Apa dampak isu ini bagi negeri kita? Setidaknya
ada dua alasan utama mengapa isu Brexit
menjadi penting bagi kita dan juga menjadi perhatian dunia.
Pertama, UK salah satu
negara terpenting dalam percaturan politik dan ekonomi dunia. Revolusi
industri yang merupakan salah satu titik tolak peradaban modern dunia lahir
dari rahim UK. Pada saat itu para inventor UK mampu menciptakan mesin modern
untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia.
Revolusi ini kemudian
mendongkrak produktivitas manusia berkali-kali lipat, sekaligus membawa UK
sebagai negeri pertama yang mengalami industrialisasi meski akhirnya dibalap
oleh negara lain seperti AS, Jerman, dan Jepang. Pada saat ini, UK tercatat
sebagai negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia, anggota NATO,
G-7, dan tentu G-20. Selain itu, ibu kota mereka, London, juga pusat keuangan
dunia.
Jadi, tidak diragukan
lagi peran UK sangatlah penting dalam percaturan politik-ekonomi dunia.
Kedua, Brexit diyakini akan memiliki efek domino yang sangat besar.
Kemenangan kubu leave di UK
dikhawatirkan akan menginspirasi gerakan serupa (Euroskeptik) di belahan
Eropa lain seperti Prancis, Belanda, Italia, dan Swedia. Kemungkinan negara-negara
lain untuk meninggalkan EU memiliki bibit yang cukup kuat.
Jika melihat fenomena
yang terjadi di UK, berbagai fenomena serupa juga dapat kita temukan di
negara-negara Eropa lain. Permasalahan dan keluhan terkait imigrasi (termasuk
berbagai macam masalah turunannya) dan kedaulatan bangsa tidak hanya terjadi
di UK, tetapi juga di negara-negara Eropa lain.
Belum lagi
permasalahan ekonomi seperti deflasi, rendahnya pertumbuhan ekonomi, dan
pengangguran juga menjadi isu mendasar di negara-negara Eropa, khususnya
Eropa Selatan seperti Italia, Yunani, dan Spanyol. Sebagai gambaran, Le Pen
(salah satu kandidat Presiden Prancis) juga mendorong Prancis untuk keluar
dari EU meski hingga saat ini dia masih kesulitan mendapatkan suara
mayoritas.
Di belahan negara
lain, Geert Wilders -pemimpin gerakan Euroskeptik Belanda saat
ini-mendapatkan dukungan mayoritas untuk mengadakan referendum seperti UK.
Jika negara-negara lain juga akhirnya memiliki kehendak yang sama dengan UK
untuk keluar dari EU, masa depan EU akan buram dan suram. EU bisa hanya
tinggal sejarah.
Paradoks Globalisasi
Keluarnya UK dari EU
merupakan sebuah paradoks globalisasi. Pasca-Perang Dunia II globalisasi
merupakan fenomena yang lazim terjadi di berbagai negara. Hubungan satu
negara dengan negara lain tidak sebatas hubungan dua negara (bilateral),
tetapi juga dengan banyak negara (multilateral). Kerja sama satu negara
dengan berbagai negara lain menjadi lumrah dan tak terhindarkan, dunia
menjadi terasa datar (flat) dan
tanpa batas (borderless).
Dalam sektor ekonomi,
hubungan multilateral ini diprakarsai oleh berdirinya Grup Bank Dunia (Word
Bank, IMF, ADB, dan sebagainya). Kemudian, hubungan dan perjanjian dagang
antarnegara atau yang sering dikenal dengan istilah FreeTrade Agreement (FTA) menjamur di mana-mana. FTA tidak hanya
dilakukan melalui hubungan bilateral, tetapi juga melibatkan banyak negara di
dalamnya seperti ACFTA, ASEAN+3, NAFTA, dan yang paling anyar adalah Trans Pacific Partnership (TPP).
Apa yang dilakukan
negaranegara Eropa dengan membentuk EU sudah jauh lebih kompleks dari FTA. EU
merupakan sebuah proyek regionalisme yang tidak hanya menjamin hilangnya
berbagai hambatan perdagangan (trade
barriers) antaranggotanya, baik berupa hambatan tarif atau nontarif,
tetapi juga menjamin ada arus bebas modal dan tenaga kerja.
EU juga sebuah region yang menerapkan mata uang
tunggal (single currency area)
yaitu euro yang dapat digunakan lintas negara. Lebih jauh lagi, EU juga telah
menjelma menjadi sebuah organisasi yang berperan sebagai supranegara (super-state). EU memiliki berbagai
institusi dan simbol pendukung layaknya sebuah negara seperti bendera, “ibu
kota” (Brussel), presiden, parlemen, hingga bank sentral (European Central Bank/ ECB).
Berbagai institusi ini
mampu memaksa negara anggotanya untuk menerapkan keputusan yang mereka
keluarkan. Begitu kuatnya peran Brussel dalam mengintervensi urusan rumah
tangga para anggotanya, kemudian dijadikan salah satu bahan kampanye kubu
leave untuk meninggalkan EU. Kubu leave mengatakan bahwa konsep EU telah
menggadaikan independensi UK sebagai negara berdaulat.
Kubu leave juga berpendapat bahwa EU sudah
berjalan terlalu jauh. Fenomena hancurnya ekonomi negara-negara Eropa selatan
juga tidak terlepas dari karut-marutnya tata kelola yang dilakukan oleh
Brussel. Berbasis itu, kubu leave menyebut EU merupakan sebuah negara gagal (a failed state) yang berbahaya bagi
kedaulatan dan masa depan UK.
Keseimbangan Baru
Fenomena ekonomi
antara negara maju dan berkembang memang cenderung bertolak belakang. Saat
ini salah satu ancaman paling serius bagi negara maju adalah masalah resesi
berkepanjangan dan deflasi. Di sisi lain, negara-negara berkembang justru
sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dan tantangan inflasi.
Jika negara-negara maju
sedang menghadapi tantangan masyarakat yang menua (ageing population), negara-negara berkembang justru sedang
dikaruniai bonus demografi di mana jumlah penduduk produktif jauh lebih besar
dibanding penduduk tua dan tidak produktif.
Jika negara-negara
berkembang sedang gencargencarnya meliberalisasi perekonomian mereka dengan
membuka selebarlebarnya pintu untuk para investor asing untuk melakukan
aktivitas ekonomi di negara mereka, di sisi lain isu proteksionisme justru
kian populer di negaranegara maju.
Keluarnya UK dari EU
menjadi sangat menarik jika kita lihat dalam kacamata ini. Brexit mungkin
saja menjadi momentum bergesernya bandul keseimbangan politik dan ekonomi
dunia. Brexit memunculkan tanda tanya besar bagi kita semua bagaimana nasib,
pola, dan bentuk kerja sama bilateral dan multilateral ke depan.
Kita sudahsemestinya
memikirulang bagaimana mendesain bentuk kerja sama antarnegara agar dapat
memberikan manfaat bagi dua belah pihak (mutualisme), bukan hanya
menguntungkan satu pihak (komensalisme), apalagi merugikan pihak lain
(parasitisme). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar