Market-Signaling dan Gejolak Harga
Firmanzah ;
Rektor Universitas Paramadina;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UI
|
KORAN SINDO, 13 Juni
2016
Gejolak harga
kebutuhan pokok akhir-akhir ini menjadi perhatian semua kalangan. Upaya
meredam gejolak harga menjadi fokus kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia
(BI) agar inflasi tetap terkendali.
Market-signaling yang
telah dikeluarkan pemerintah, bahkan sebelum masuknya bulan suci Ramadan,
belum mampu membendung lonjakan harga kebutuhan pokok, terutama daging dan
gula. Akhir-akhir ini harga kelompok sayur-mayur juga naik signifikan di
sejumlah daerah.
Perintah Presiden Joko
Widodo (Jokowi), sebagai bentuk market- signaling, yang memerintahkan agar
harga daging di bawah Rp80.000/kg masih belum mampu menurunkan harga daging
di pasaran. Sampai saat ini harga daging berada di kisaran
Rp120.000-150.000/kg. Di sejumlah daerah harga daging di atas kisaran tersebut.
Tingginya harga daging membuat pemerintah, melalui menteri perdagangan dan
menteri pertanian, menerbitkan izin impor daging yang dilakukan BUMN dan
swasta.
Pemerintah memberikan
sinyal untuk menambah pasokan yang diharapkan mampu mengendalikan harga
sesuai perintah Presiden. Izin impor daging sebanyak 10.000 ton diberikan ke
Bulog. PT Berdikari 5.000 ton. Kemudian izin impor daging oleh swasta
sebanyak 23.200 ton.
Selain memberikan izin
impor, pemerintah juga telah melakukan market-signaling lain seperti
kunjungan menteri di beberapa pasar tradisional dan rencana operasi pasar
untuk meredam gejolak harga dan membawa harga daging di bawah Rp80.000/kg.
Pertanyaan mendasar dalam hal ini, seberapa besar efektivitas
market-signaling yang dilakukan pemerintah untuk meredam lonjakan harga di
pasar? Apakah market-signaling yang dikeluarkan pemerintah mampu mengatasi
ketimpangan supply-demand domestik?
Secara teoritis, arah
dan kebijakan yang akan ditempuh pemerintah merupakan sinyal bagi pasar.
Kebijakan yang sesuai dengan tren pasar sering kali kita sebut sebagai
kebijakan pro-cyclical dan yang
melawan tren pasar, counter-cyclical.
Dalam konteks membalikkan tren kenaikan harga komoditas saat Ramadan dan Idul
Fitri, kebijakan market-signaling kita kategorikan sebagai counter-cyclical. Upaya membuat harga
komoditas rendah saat permintaan sangat tinggi.
Tentunya ini bukan
pekerjaan mudah lantaran tingginya permintaan tanpa diimbangi dengan
penambahan pasokan yang cukup besar akan membuat harga di pasar melambung.
Market-signaling yang dikeluarkan oleh pemerintah akan dikontraskan dengan
kondisi riil di sistem rantai nilai produksi. Antara lain dari mulai jumlah
dan kecukupan ketersediaan sapi, sistem logistik, kondisi rumah potong hewan,
distribusi daging, sampai struktur industri daging nasional.
Sementara itu, tekanan
dari sisi permintaan memang cukup tinggi karena likuiditas bertambah di bulan
Ramdan dan jelang Idul Fitri. Salah satu faktor yang membuat likuiditas
bertambah adalah kebijakan pemerintah yang akan memberikan gaji ke- 13 dan
ke-14 bagi PNS/TNI/ Polri di bulan Ramadan. Ditambah dengan ada Tunjangan
Hari Raya (THR) bagi karyawan swasta, likuiditas yang dipegang masyarakat
bertambah besar.
Bank Indonesia
memperkirakan kebutuhan uang tunai masyarakat saat Ramadan dan Idul Fitri
akan meningkat 14,5%. Secara psikologis, meski masyarakat baru akan
mendapatkan tambahan gaji menjelang Idul Fitri, hal tersebut cukup untuk
mendorong pembelian di awal Ramadan. Kepastian prospek tambahan pendapatan mendorong
perilaku konsumen belanja lebih awal dan lebih tinggi dari bulanbulan
sebelumnya.
Bagi saya, peningkatan
konsumsi masyarakat bukanlah hal yang selalu harus dikonotasikan negatif.
Bahkan justru pada saat perlambatan ekonomi global dan penghematan anggaran
negara, konsumsi masyarakat bisa menarik sektor usaha domestik menjadi lebih
bergairah. Konsumsi domestik selama ini berkontribusi secara rata-rata 54-
56% terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional.
Jadi, kita tidak dapat
menyalahkan tingginya konsumsi yang membuat harga kebutuhan pokok melonjak.
Justru kita perlu bersyukur bahwa masyarakat masih mau mengonsumsi. Negara
seperti China saat ini bahkan mendorong kenaikan konsumsi domestik untuk
mengompensasi penurunan tajam ekspor mereka.
Secara domestik,
banyak perusahaan baik di bidang ritel, tekstil dan produk turunannya,
makanan dan minuman, transportasi, telekomunikasi, perhotelan, dan bahkan
jasa-jasa lainnya mendapatkan limpahan order yang sangat tinggi akibat
tingginya konsumsi masyarakat. Hal ini yang membuat margin industri terjaga
dan ekspansi bisnis terjadi.
Bayangkan kalau
permintaan dan konsumsi sangat rendah di bulan Ramadan dan Idul Fitri. Risiko
buruk bagi perekonomian nasional mungkin bisa terjadi sebagai akibat
ketidakmampuan sektor industri nasional menjaga margin keuntungan.
Pengurangan jam kerja, menahan tidak ekspansi, dan bahkan pemutusan hubungan
kerja bisa saja dilakukan pengusaha untuk mengompensasi kerugian akibat
rendahnya permintaan di pasar domestik.
Kondisi inilah yang
sebenarnya terjadi dalam sistem perekonomian nasional saat Ramadan dan
menjelang Idul Fitri. Dengan demikian, efektivitas market-signaling berupa
arahan, kebijakan counter-cyclical, dan gesture para menteri harus mampu
memahami kondisi riil persoalan supply-demand nasional. Tanpa pemahaman yang
memadai apalagi belum sinkronnya data yang dimiliki antarkementerian/
lembaga, membuat market-signaling tidak koheren satu dengan yang lain.
Hal ini akan semakin membuat
pelaku pasar kebingungan market-signaling yang mana yang harus diikuti.
Ketidaksinkronan pernyataan para pengambil kebijakan terlihat pada klaim
keamanan stok kebutuhan pokok jelang Ramadan dan Idul Fitri yang tidak jarang
berbeda satu dengan yang lain. Para pelaku pasar akan semakin kebingungan
ketika pernyataan pengambil kebijakan berbeda satu dengan yang lain.
Sementara produsen dan
pedagang berlomba dengan waktu untuk memenuhi tingginya permintaan dari
masyarakat. Koherensi pernyataan dan sikap untuk kebijakan countercyclical
sangat diperlukan untuk memperkuat kredibilitas market signaling di mata
pelaku pasar. Tentunya kita semua berharap market-signaling berupa kebijakan
counter-cyclical dapat benar-benar terwujud.
Dengan kata lain,
harga kebutuhan pokok dapat terkendali di saat Ramadan dan menjelang Idul
Fitri. Tidak hanya tahun ini, tetapi juga di tahun-tahun depan. Namun, untuk
mewujudkan hal ini, pekerjaan besar perlu dilakukan dari sisi pasokan (supply side). Kurva permintaan
cenderung shifting ke atas dan menekan harga naik akibat bertambahnya
likuiditas (uang tunai) yang dipegang masyarakat dan aspek lainnya seperti
aspek kultural- sosiologis (misalnya fenomena mudik, libur panjang, dan
transfer dana ke kampung halaman).
Agar harga tetap dalam
keseimbangan awal, kurva pasokan tidak hanya bergerak sepanjang kurva (moving along the curve), tetapi harus shifting. Sehingga, market-signaling yang dibutuhkan harus
lebih kuat dan mampu meyakinkan pelaku pasar bahwa pasokan tercukupi di pasar
domestik untuk mengimbangi tekanan pembelian yang sangat tinggi di bulan suci
Ramadan dan menjelang Idul Fitri.
Apabila hal ini
terjadi, kita akan semakin optimistis bahwa cita-cita dan tujuan untuk
counter-cyclical dalam meredam gejolak harga dapat diwujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar