Optimalisasi APBN Perubahan 2016
Apung Widadi ;
Peneliti Ekonomi-Politik
Anggaran Seknas Fitra
|
KOMPAS, 29 Juni 2016
Dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016 muncul lagi alokasi dana
optimalisasi. Padahal, nomenklatur dana tersebut punya sejarah menjadi
bancakan elite, transaksional, disalokasi dan menjadi pintu masuk korupsi.
Hal ini bertolak belakang dengan upaya optimalisasi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan (APBN-P) yang ditujukan untuk menggairahkan perekonomian.
Dalam pembahasan
asumsi makro dan pendapatan pada RAPBN-P 2016 di Panja DPR, ditetapkan
alokasi dana optimalisasi Rp 58,36 triliun. Angka ini berasal dari pembahasan
awal dalam asumsi makro Rp 49,9 triliun, ditambah realokasi belanja pemerintah
pusat Rp 8,46 triliun. Dana optimalisasi digelontorkan untuk empat alokasi:
Rp 22 triliun untuk 21 kementerian dan lembaga (K/L); Rp 7,4 triliun untuk
dana alokasi khusus (DAK) fisik; Rp 2,94 triliun untuk DAK umum; dan Rp 16,6
triliun untuk mengurangi margin defisit RAPBN-P 2016. Asumsinya, dengan dana
ini, defisit diharapkan berkurang 0,13 persen, dari 2,48 persen terhadap PDB
menjadi 2,35 persen.
DPR meyakini, dana
optimalisasi merupakan instrumen kebijakan fiskal dalam anggaran negara untuk
mendorong pembangunan daerah. Dana ini dihasilkan dari perubahan asumsi makro
dan target sumber-sumber pendapatan negara serta efisiensi atau realokasi
belanja.
Masalah
Dalam catatan Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), sejak 2010 nomenklatur versi
DPR ini cenderung selalu diselewengkan elite dan selalu bermasalah. Saat itu,
Badan Anggaran (Banggar) DPR memberikan alokasi pada setiap komisi Rp 100
miliar untuk dibahas dengan mitra kerja K/L masing-masing karena tak ditemui
nomenklatur dasar pengalokasiannya. Selanjutnya, pada 2011 dalam pembahasan
APBN-P, dana optimalisasi dikonversi menjadi korupsi anggaran dan pengadaan
Al Quran dengan peningkatan dari Rp 2,1 miliar menjadi Rp 22,8 miliar.
Bahkan, kasus
Hambalang juga bermula dari tambahan dana optimalisasi tahun 2010-2012. Tahun
2015, dalam persidangan di Tipikor Jakarta juga terungkap, mantan anggota
Komisi IX DPR menerima uang Rp 9,750 miliar dari mantan Dirjen Pembinaan
Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2Ktrans) pada Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Jamaluddien Malik. Uang diberikan sebagai wujud realisasi
komitmen 6,5 persen dari dana optimalisasi 2015 yang akan diterima Ditjen
P2Ktrans.
Ada beberapa catatan
Fitra terkait dana optimalisasi. Pertama, secara landasan hukum, tak ada satu
pun nomenklatur dalam peraturan perundang-undangan yang menyatakan secara
jelas tujuan dan definisi dana optimalisasi. Merujuk UU No 17/2003 tentang
Keuangan Negara dan UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tidak satu
pun ada dan relevan menyebut dana optimalisasi. Dugaannya, penafsiran dana
optimalisasi muncul sebagai perluasan fungsi budgeting DPR. Penafsiran
terlalu di permukaan karena tidak berdasarkan aturan teknis setingkat UU yang
ada. Akibatnya, tidak dapat diukur hasil dan kinerja realisasinya.
Kedua, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2014 mencatat, 15 K/L yang
menerima tambahan belanja justru tak mengalokasikan dana pada program
kegiatan sesuai kriteria yang ditetapkan pada APBN-P 2014 yaitu Rp 4,4
triliun. Masalah kedua ini disebabkan K/L penerima dana optimalisasi tak
berani mengalokasikan sebab kriteria dan penilaian kinerja anggaran tak
jelas.
Ketiga, penetapan dana
optimalisasi tak disertai perubahan atau perbaikan kembali dalam daftar
rencana kerja pemerintah (RKP). Penetapan alokasi dana optimalisasi tak
berdasar RKP, tetapi hanya berdasarkan pengajuan proposal. Hal ini membuka
ruang ambiguitas peningkatan kinerja pemerintah dan evaluasi kinerja
pemerintah. Hasil suntikan dana optimalisasi tak jelas akan masuk dalam
prestasi percepatan pembangunan yang mana dan dampaknya apa terhadap
kesejahteraan masyarakat. Karena tak
sesuai RKP dan prioritas pembangunan lima tahun, secara teknis aturan
pencairannya pun menemui kendala.
Keempat, alokasi dana
optimalisasi tak berdasarkan kriteria K/L penerima yang sesuai. Kriteria tak
transparan, bahkan pembahasannya biasanya selalu tertutup di Banggar DPR.
Dalam rapat tertutup itu, oknum DPR dan kementerian biasanya bermain lobi dan
menetapkan hanya berdasarkan proposal. Bahkan, tahun 2014 ada temuan BPKP,
penetapan tak melibatkan pemerintah sehingga K/L tak mengetahui mendapatkan
besaran tertentu dalam alokasi tambahan belanja dan tak siap menjalankan
program. Akibatnya, alokasi rawan untuk tak tepat sasaran dan cenderung
transaksional.
Kelima, dana
optimalisasi tak dapat mengoptimalkan APBN-P dalam penanganan defisit negara.
Secara prinsip, sesuai penjelasan Pasal 15 Ayat 3 UU No 17/2003 disebutkan,
perubahan APBN dapat diusulkan DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan
defisit. Pada pelaksanaannya, tahun 2014, misalnya, akibat dana optimalisasi
justru terjadi peningkatan defisit dari Rp 154,2 triliun pada RAPBN 2014
menjadi Rp 175,35 triliun pada UU APBN 2014. Pada RAPBN-P 2016, optimalisasi
tak menambah defisit, tetapi hanya sedikit mengurangi margin defisit sebesar
0,13 persen dan angkanya masih di atas Rp 250 triliun.
Cermin terkini
Kondisi alokasi APBN-P
2016 terkini relevan dengan cermin masalah dana optimalisasi di atas. Dana
optimalisasi Rp 58,36 triliun terlalu besar dibandingkan proporsi pendapatan
negara yang dipatok hanya meningkat Rp 88 triliun, sejalan dengan kondisi
ekonomi dan penerimaan pajak. Dalam APBN-P 2016, dari sektor pendapatan
negara, khususnya pajak, pemerintah hanya menargetkan peningkatan Rp 19,6
triliun. Hingga Juni 2016, realisasi pajak kurang dari 30 persen. Sementara
sektor Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ditetapkan secara ambisius
meningkat Rp 68,4 triliun. Padahal, kecenderungannya PNBP yang masuk selalu
rendah akibat fluktuasi harga minyak sehingga PNBP dari sektor pajak rendah,
sedangkan dari BUMN tidak mengalami peningkatan karena dikonversi dalam
bentuk tambahan modal (PMN), dan kinerja kementerian dalam PNBP juga tidak
menggembirakan.
Contohnya, Kementerian
Perikanan dan Kelautan yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp 10 triliun pada
2015 dengan harapan PNBP-nya akan meningkat justru tak masuk dalam sepuluh
besar K/L penyumbang PNBP.
Alih-alih terjadi
penghematan belanja pemerintah, dana optimalisasi justru kontraproduktif.
Presiden Jokowi pada awal Mei telah mengeluarkan peraturan presiden terkait
penghematan belanja K/L sebesar Rp 50 triliun. Langkah ini diapreasi banyak
pihak meski ternyata yang dipotong adalah sektor prioritas. Di antaranya,
belanja fungsi, pendidikan sekolah menengah, Dikti, kesehatan, pertanian, dan perumahan rakyat.
Padahal, belanja fungsi ini sesuai prioritas Nawacita yang diejawantahkan
dalam RPJMN dan RKP 2016.
Pemotongan Rp 50
triliun anggaran sektor prioritas diganti dengan peningkatan Rp 40 triliun
belanja K/L yang kurang prioritas. Belanja pemerintah pusat dalam APBN-P 2016
tercatat naik dari Rp 743,5 triliun menjadi Rp 784,1 triliun.
Seharusnya, dana
optimalisasi Rp 58,36 triliun dapat lebih bermanfaat jika dialokasikan ke
sektor prioritas, seperti infrastruktur rakyat, pendidikan, kesehatan, atau
subsidi langsung kepada masyarakat agar terjadi optimalisasi APBN-P.
Sayangnya, dana tersebut justru dialokasikan untuk peningkatan belanja pada
20 kementerian yang prioritasnya tak sesuai RKP. Hal ini mengonfirmasikan
bahwa alokasi dana optimalisasi hanya berdasarkan proposal. Contohnya,
Kementerian Pertahanan mendapat alokasi tambahan Rp 6,6 triliun yang
direncanakan digunakan untuk membeli satelit. Kepolisian mendapat tambahan Rp
5,6 triliun, padahal Presiden melalui perpres penghematan dan pemerintah pada
Nota Keuangan justru mengusulkan anggaran polisi dipotong Rp 1,5 triliun.
Di sisi lain, transfer
ke daerah juga naik Rp 11,9 triliun untuk DAK fisik dan DAK umum. Hal ini
perlu diawasi karena DAK fisik ini rawan ditunggangi politisi dalam
pencairannya melalui calo. Realisasinya dalam bentuk fisik juga rawan untuk
ditransaksionalkan seperti kasus yang kini masih ditangani KPK, yakni terkait
pengurusan infrastruktur di Maluku dengan terdakwa anggota DPR, Damayanti.
Jika DPR dan
pemerintah peka dan sesuai prioritas, dana desa yang seharusnya ditambah,
khususnya untuk kebutuhan pendampingan desa dalam mengelola dana desa yang
belum optimal. Secara mandatori, dana
desa juga belum mencapai 10 persen dari total APBN. Selain itu, seandainya
dana optimalisasi digunakan untuk menutup defisit, APBN bebas dari
ketergantungan asing karena meski angka defisit turun Rp 40,1 triliun,
pemerintah tetap harus menutupinya dengan utang luar negeri Rp 273 triliun tahun
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar