Dua Jalan bagi Ahok
Refly Harun ;
Akademisi dan Praktisi Hukum
Tatanegara;
Mengajar di Program Pascasarjana
UGM
|
DETIKNEWS, 20 Juni
2016
Seperti yang
diikrarkan, Teman Ahok, organisasi informal yang mengumpulkan dukungan bagi
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, atau yang akrab dipanggil Ahok, sudah
mengumpulkan lebih dari satu juta tanda tangan warga DKI. Tanda tangan dengan
melampirkan fotokopi KTP tersebut dimaksudkan sebagai syarat dukungan bagi
Ahok untuk maju sebagai calon perseorangan dalam Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) DKI 2017.
Selebrasi lebih satu
juta dukungan warga tersebut sudah dilakukan. Ahok sendiri juga hadir dalam
keceriaan tersebut. Namun, di sisi lain, dua partai sudah jelas mendekat,
Partai Nasdem dan Parta Hati Nurani Rakyat (Hanura). Satu kapal lebih besar,
Partai Golkar, juga hampir pasti merapat.
Dengan dukungan trio
Nasdem, Hanura, Golkar, cukup bagi Ahok untuk mendapatkan jatah satu nominasi
dari persyaratan 20 persen kursi atau 25 persen suara dari pemilu anggota
DPRD terakhir, yaitu Pemilu 2014. Jalan melalui partai politik adalah jalan
kepastian. Sementara jalan melalui jalur perseorangan menjadi jalan terjal.
Onak dan duri pasti banyak. Bukan tidak mungkin langkah terjegal, bahkan
terjagal.
Di sinilah dilema
muncul: apakah Ahok akan mencari jalan berkepastian melalui dukungan parpol.
Ataukah tetap istiqomah dengan dukungan warga secara perseorangan. Di atas kertas,
dengan satu juta fotokopi KTP lebih, harusnya Ahok lolos di tahap pencalonan
karena cuma dibutuhkan 500 ribuan dukungan untuk calon perseorangan. Namun,
sekali lagi, jalur perseorangan masih belum berkepastian. Ahok bisa terjegal,
Basuki bisa terjagal.
Verifikasi Faktual
Sebabnya, revisi
undang-undang pilkada terbaru (Perubahan Kedua UU Nomor 1 Tahun 2015)
memperkenalkan instrumen verifikasi faktual. Dukungan terhadap Ahok yang
berjumlah satu juta fotokopi KTP akan diverifikasi secara keseluruhan bila
semuanya didaftarkan.
Bila sebelumnya
verifikasi cukup dengan sistem sampel, sekarang tidak lagi. Jika dalam proses
verifikasi faktual tidak ditemukan warga yang memberi dukungan, sang calon
harus menghadirkan orang dimaksud di PPS (panitia pemungutan suara). Bila
tidak dihadirkan, suara dari yang bersangkutan dianggap gugur.
Verifikasi faktual
memunculkan dua pertanyaan sekaligus. Pertama, soal kemampuan penyelenggara
pemilu untuk melakukan verifikasi faktual. Kedua, soal transparansi proses.
Mengenai soal pertama, bisa dibayangkan betapa repotnya KPU DKI untuk
melakukan verifikasi semua dukungan tersebut. Mereka harus mengecek satu demi
satu pendukung. Bila yang disertakan satu juta fotokopi KTP, satu juta alamat
mereka harus cari.
Bila penyelenggara
'malas' bisa saja mereka menyatakan tidak menemukan pendukung yang dicari.
Lantas, sang calon yang harus menghadirkan warga tersebut di PPS. Bila KPU
DKI 'bermalas-malasan' makin sulit bagi calon untuk menghadirkan pendukung.
Sudah bukan rahasia lagi, banyak penduduk DKI yang antara KTP dan domisili
aktualnya berbeda. Tidak mudah menghadirkan mereka dalam rimba beton Jakarta.
Mengenai soal yang
kedua, verifikasi faktual tidak diumumkan. Hasilnya langsung dibawa ke PPS.
Calon yang bersangkutan tidak memiliki kesempatan untuk komplain atau
mengganti bila pendukung tidak diketemukan. Calon hanya menunggu palu
keputusan: apakah memenuhi atau tidak untuk maju sebagai calon perseorangan.
Hal ini berbeda dengan sistem sampel sebelumnya di mana calon bisa mengganti
bila sampel pendukung yang disertakan tidak ditemukan.
Melanggar Prinsip Pemilu
Dalam konteks seperti
ini, pembentuk undang-undang, yang notabene adalah partai politik,
benar-benar telah bertindak tidak adil bagi calon perseorangan. Mereka mengabaikan
prinsip berpemilu yang seharusnya dijunjung tinggi. Prinsip tersebut, yang
tidak lain hak konstitusional, memberikan kesempatan selebar-lebarnya bagi
warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Salah satu caranya
dengan menjadi kandidat baik melalui partai poltik maupun jalur perseorangan.
Dua jalur tersebut harus dibuka selebar-lebarnya bagi warga negara yang
berkehendak ikut dalam kontestasi pilkada. Hak untuk menjadi calon (the right to be a candidate) adalah
hak konstitusional. Putusan MK tahun 2004 sudah mengabarkan hal tersebut.
Bila bagi kandidat
pintu harus dibuka lebar, sebaliknya aturan harus dibuat ketat. Terlebih
terkait dengan penegakan aturan-aturan pemilu (electoral law enforcement). Aturan pemilu harus mampu menjamin
kompetisi yang jujur dan adil di antara calon. Pemenang pilkada tidak saja
mereka yang merenggut suara terbanyak, melainkan bagaimana suara itu
diperoleh, apakah secara genuine
atau melalui cara-cara curang.
Mereka yang curang,
misalnya melakukan praktik money
politics kepada pemilih (vote
buying) atau suap kepada penyelenggara, tidak boleh memiliki standing
untuk terus berkompetisi, apalagi ditahbiskan sebagai pemenang. Pemilu
konstitusional, yaitu luber dan jurdil (langsung umum bebas rahasia jujur dan
adil) harus hadir.
Sayangnya, prinsip
berpemilu tersebut sering tidak mau dipahami pembentuk undang-undang. Yang
mereka pikirkan bagaimana menjegal pesaing politik sejak awal. Bahkan, bila
perlu, sejak suatu undang-undang pemilu dirumuskan.
Verifikasi faktual
adalah contoh nyata dari hal tersebut. Aturan ini sudah pasti membuat banyak
calon perseorangan yang 'ngeper' untuk maju. Aturan verifikasi faktual minus
transparansi telah menyebabkan nominasi antara calon dari parpol dan
perseorangan jadi tidak berimbang. Ancaman untuk tidak lolos bagi calon
perseorangan makin membesar.
Pada titik ini,
persoalan tidak sekadar ada pada seorang Ahok, yang harus memilih apakah maju
dari parpol atau calon perseorangan, melainkan lebih pada calon-calon
perseorangan lainnya yang tidak punya daya tawar kuat. Ketentuan ini
karenanya berpotensi melanggar prinsip konstitusional tentang pemilu yang
jujur dan adil, dengan penekanan kata "adil".
Ketentuan ini juga
menyebabkan pilkada makin mahal dan tidak efisien. Harusnya tenaga
penyelenggara tidak perlu dikuras untuk melakukan verifikasi faktual,
mendatangi setiap alamat pendukung calon perseorangan. Terpilih atau tidaknya
seseorang dalam pemilu bukan dari banyaknya dukungan, melainkan dari banyaknya
suara yang didapat.
Memilih Jalan
Kendati menggenggam
dua jenis dukungan, Ahok tetap harus memilih salah satunya. Regulasi KPU
tidak memungkinkan memanfaatkan dua jalur sekaligus antara jalur perseorangan
dan jalur partai. Andaikan Ahok memilih jalur perseorangan, kesulitan sudah
bisa dibayangkan. Skenario terpahit yang harus dihadapi, dukungan dinilai
tidak memenuhi syarat setelah dilakukan verifikasi faktual.
Namun, bila Ahok maju
sebagai calon parpol, selain bakal melukai mereka yang telah 'berdarah-darah'
mengumpulkan dukungan, tidak ada jaminan parpol tidak mencabut dukungan di
saat-saat akhir pengajuan calon. Sementara pintu calon perseorangan sudah
tertutup.
Ahok jelas dalam
dilema. Maju melalui jalur perseorangan bukan tujuan, tetapi hanyalah alat
atau sarana, kendati bagi sebagian orang merupakan ideologi. Jalur
perseorangan jelas bukan untuk menggantikan peran parpol. Namun, bila parpol
belum bisa dipegang seratus persen, terus maju dalam jalur perseorangan, apa
pun risikonya, adalah pilihan yang mungkin lebih baik untuk saat ini. Selamat menimbang, Pak Ahok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar