Rabu, 29 Juni 2016

Dua Jalan bagi Ahok

Dua Jalan bagi Ahok

Refly Harun ;   Akademisi dan Praktisi Hukum Tatanegara;
Mengajar di Program Pascasarjana UGM
                                                     DETIKNEWS, 20 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seperti yang diikrarkan, Teman Ahok, organisasi informal yang mengumpulkan dukungan bagi Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, atau yang akrab dipanggil Ahok, sudah mengumpulkan lebih dari satu juta tanda tangan warga DKI. Tanda tangan dengan melampirkan fotokopi KTP tersebut dimaksudkan sebagai syarat dukungan bagi Ahok untuk maju sebagai calon perseorangan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017.

Selebrasi lebih satu juta dukungan warga tersebut sudah dilakukan. Ahok sendiri juga hadir dalam keceriaan tersebut. Namun, di sisi lain, dua partai sudah jelas mendekat, Partai Nasdem dan Parta Hati Nurani Rakyat (Hanura). Satu kapal lebih besar, Partai Golkar, juga hampir pasti merapat.

Dengan dukungan trio Nasdem, Hanura, Golkar, cukup bagi Ahok untuk mendapatkan jatah satu nominasi dari persyaratan 20 persen kursi atau 25 persen suara dari pemilu anggota DPRD terakhir, yaitu Pemilu 2014. Jalan melalui partai politik adalah jalan kepastian. Sementara jalan melalui jalur perseorangan menjadi jalan terjal. Onak dan duri pasti banyak. Bukan tidak mungkin langkah terjegal, bahkan terjagal.

Di sinilah dilema muncul: apakah Ahok akan mencari jalan berkepastian melalui dukungan parpol. Ataukah tetap istiqomah dengan dukungan warga secara perseorangan. Di atas kertas, dengan satu juta fotokopi KTP lebih, harusnya Ahok lolos di tahap pencalonan karena cuma dibutuhkan 500 ribuan dukungan untuk calon perseorangan. Namun, sekali lagi, jalur perseorangan masih belum berkepastian. Ahok bisa terjegal, Basuki bisa terjagal.

Verifikasi Faktual

Sebabnya, revisi undang-undang pilkada terbaru (Perubahan Kedua UU Nomor 1 Tahun 2015) memperkenalkan instrumen verifikasi faktual. Dukungan terhadap Ahok yang berjumlah satu juta fotokopi KTP akan diverifikasi secara keseluruhan bila semuanya didaftarkan.

Bila sebelumnya verifikasi cukup dengan sistem sampel, sekarang tidak lagi. Jika dalam proses verifikasi faktual tidak ditemukan warga yang memberi dukungan, sang calon harus menghadirkan orang dimaksud di PPS (panitia pemungutan suara). Bila tidak dihadirkan, suara dari yang bersangkutan dianggap gugur.

Verifikasi faktual memunculkan dua pertanyaan sekaligus. Pertama, soal kemampuan penyelenggara pemilu untuk melakukan verifikasi faktual. Kedua, soal transparansi proses. Mengenai soal pertama, bisa dibayangkan betapa repotnya KPU DKI untuk melakukan verifikasi semua dukungan tersebut. Mereka harus mengecek satu demi satu pendukung. Bila yang disertakan satu juta fotokopi KTP, satu juta alamat mereka harus cari.

Bila penyelenggara 'malas' bisa saja mereka menyatakan tidak menemukan pendukung yang dicari. Lantas, sang calon yang harus menghadirkan warga tersebut di PPS. Bila KPU DKI 'bermalas-malasan' makin sulit bagi calon untuk menghadirkan pendukung. Sudah bukan rahasia lagi, banyak penduduk DKI yang antara KTP dan domisili aktualnya berbeda. Tidak mudah menghadirkan mereka dalam rimba beton Jakarta.

Mengenai soal yang kedua, verifikasi faktual tidak diumumkan. Hasilnya langsung dibawa ke PPS. Calon yang bersangkutan tidak memiliki kesempatan untuk komplain atau mengganti bila pendukung tidak diketemukan. Calon hanya menunggu palu keputusan: apakah memenuhi atau tidak untuk maju sebagai calon perseorangan. Hal ini berbeda dengan sistem sampel sebelumnya di mana calon bisa mengganti bila sampel pendukung yang disertakan tidak ditemukan.

Melanggar Prinsip Pemilu

Dalam konteks seperti ini, pembentuk undang-undang, yang notabene adalah partai politik, benar-benar telah bertindak tidak adil bagi calon perseorangan. Mereka mengabaikan prinsip berpemilu yang seharusnya dijunjung tinggi. Prinsip tersebut, yang tidak lain hak konstitusional, memberikan kesempatan selebar-lebarnya bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Salah satu caranya dengan menjadi kandidat baik melalui partai poltik maupun jalur perseorangan. Dua jalur tersebut harus dibuka selebar-lebarnya bagi warga negara yang berkehendak ikut dalam kontestasi pilkada. Hak untuk menjadi calon (the right to be a candidate) adalah hak konstitusional. Putusan MK tahun 2004 sudah mengabarkan hal tersebut.

Bila bagi kandidat pintu harus dibuka lebar, sebaliknya aturan harus dibuat ketat. Terlebih terkait dengan penegakan aturan-aturan pemilu (electoral law enforcement). Aturan pemilu harus mampu menjamin kompetisi yang jujur dan adil di antara calon. Pemenang pilkada tidak saja mereka yang merenggut suara terbanyak, melainkan bagaimana suara itu diperoleh, apakah secara genuine atau melalui cara-cara curang.

Mereka yang curang, misalnya melakukan praktik money politics kepada pemilih (vote buying) atau suap kepada penyelenggara, tidak boleh memiliki standing untuk terus berkompetisi, apalagi ditahbiskan sebagai pemenang. Pemilu konstitusional, yaitu luber dan jurdil (langsung umum bebas rahasia jujur dan adil) harus hadir.

Sayangnya, prinsip berpemilu tersebut sering tidak mau dipahami pembentuk undang-undang. Yang mereka pikirkan bagaimana menjegal pesaing politik sejak awal. Bahkan, bila perlu, sejak suatu undang-undang pemilu dirumuskan.

Verifikasi faktual adalah contoh nyata dari hal tersebut. Aturan ini sudah pasti membuat banyak calon perseorangan yang 'ngeper' untuk maju. Aturan verifikasi faktual minus transparansi telah menyebabkan nominasi antara calon dari parpol dan perseorangan jadi tidak berimbang. Ancaman untuk tidak lolos bagi calon perseorangan makin membesar.

Pada titik ini, persoalan tidak sekadar ada pada seorang Ahok, yang harus memilih apakah maju dari parpol atau calon perseorangan, melainkan lebih pada calon-calon perseorangan lainnya yang tidak punya daya tawar kuat. Ketentuan ini karenanya berpotensi melanggar prinsip konstitusional tentang pemilu yang jujur dan adil, dengan penekanan kata "adil".

Ketentuan ini juga menyebabkan pilkada makin mahal dan tidak efisien. Harusnya tenaga penyelenggara tidak perlu dikuras untuk melakukan verifikasi faktual, mendatangi setiap alamat pendukung calon perseorangan. Terpilih atau tidaknya seseorang dalam pemilu bukan dari banyaknya dukungan, melainkan dari banyaknya suara yang didapat.

Memilih Jalan

Kendati menggenggam dua jenis dukungan, Ahok tetap harus memilih salah satunya. Regulasi KPU tidak memungkinkan memanfaatkan dua jalur sekaligus antara jalur perseorangan dan jalur partai. Andaikan Ahok memilih jalur perseorangan, kesulitan sudah bisa dibayangkan. Skenario terpahit yang harus dihadapi, dukungan dinilai tidak memenuhi syarat setelah dilakukan verifikasi faktual.

Namun, bila Ahok maju sebagai calon parpol, selain bakal melukai mereka yang telah 'berdarah-darah' mengumpulkan dukungan, tidak ada jaminan parpol tidak mencabut dukungan di saat-saat akhir pengajuan calon. Sementara pintu calon perseorangan sudah tertutup.

Ahok jelas dalam dilema. Maju melalui jalur perseorangan bukan tujuan, tetapi hanyalah alat atau sarana, kendati bagi sebagian orang merupakan ideologi. Jalur perseorangan jelas bukan untuk menggantikan peran parpol. Namun, bila parpol belum bisa dipegang seratus persen, terus maju dalam jalur perseorangan, apa pun risikonya, adalah pilihan yang mungkin lebih baik untuk saat ini. Selamat menimbang, Pak Ahok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar