Pilihan Progresif Presiden Jokowi
Marwan Mas ;
Guru Besar Ilmu
Hukum-Universitas Bosowa, Makassar
|
KORAN SINDO, 24 Juni
2016
Komisaris Jenderal
(Komjen) Polisi Tito Karnavian dengan mulus dapat melewati uji kepatutan dan
kelayakan oleh Komisi III DPR RI. Tito yang saat ini menjabat kepala Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan dilantik menjadi kepala
Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), menggantikan Jenderal Polisi
Badrodin Haiti yang akan memasuki masa pensiun.
Pilihan Presiden
merupakan pilihan progresif, yang saya kira sangat terkait pada dua aspek
yang menyertainya. Pertama, Tito adalah perwira tinggi termuda berpangkat
komjen polisi yang diyakini Presiden akan mampu merangkul perwira tinggi
senior untuk melaksanakan amanah rakyat Indonesia.
Tito punya prestasi
yang membanggakan di kepolisian sehingga akan diterima dengan baik oleh
perwira tinggi senior lainnya. Kedua, dalam tubuh Polri setelah melampaui
tahap kedua reformasi sampai tahun 2014 dengan sasaran ”membangun kerja sama
yang erat (partnership building)
dengan berbagai komponen masyarakat”, selalu mengedepankan kualitas
profesionalisme sekaligus kompetensi dalam menduduki jabatan.
Apalagi, Presiden
Jokowi meminta agar Tito melakukan reformasi Polri secara komprehensif dan
meningkatkan kualitas pemberantasan narkotika, terorisme, dan korupsi. Dua
fokus yang diamanatkan itu tentu sudah dipikirkan matang oleh presiden.
Tito adalah jenderal
polisi yang ”intelektual”, sekaligus perwira tinggi yang sudah matang dalam
tugas- tugas di lapangan. Perpaduan intelektual dan kemampuan menguasai tugas
Polri saat berhadapan dengan masyarakat, setidaknya akan mengantarkan
reformasi Polri kepada sasarannya.
Tentu saja dengan
melanjutkan reformasi yang dilakukan kapolri sebelumnya. Pemberantasan
terhadap tiga kejahatan luar biasa itu, bukan barang baru bagi Tito.
Reformasi Total
Perpaduan yang nyaris
lengkap itu, tentu harus tetap diawasi. Sebab tidak ada manusia yang tidak
punya kelemahan dan kesalahan. Maka itu, mereformasi Polri secara total harus
dimulai dari internal barulah melangkah keluar.
Memperbaiki institusi
penegak hukum berbaju cokelat itu bukan persoalan gampang di tengah tuntutan
besar masyarakat, sebab kepentingan untuk menciptakan rasa aman bagi
masyarakat dan penegakan hukum yang profesional tidak semudah membalikkan
telapak tangan.
Reformasi Polri tahap
kedua harus menjadi acuan untuk melangkah ke arah pelaksanaan tugas yang
penuh dengan tantangan baru. Saat reformasi tahap pertama 2005-2010, Polri
telah membangun trust building, yaitu membangun kepercayaan publik terhadap
Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan fungsinya sebagai aparat negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Saat ini Polri
melangkah pada reformasi tahap ketiga 2016-2025, yaitu sebagai strive for
exellence. Di sini polisi akan berupaya atau setidaknya membangun ”pelayanan
publik yang unggul dan terbaik” sekaligus dipercaya publik.
Ini merupakan
pekerjaan rumah bagi Kapolri baru tentang bagaimana membangun pelayanan
terbaik bagi masyarakat. Layak diakui, hasil reformasi tahap kedua belum
sepenuhnya dirasakan masyarakat. Salah satu penyebabnya karena personel Polri
kurang mampu menggalang keterlibatan luas stakeholder masyarakat.
Sebetulnya amat
sederhana harapan masyarakat terhadap polisi. Mereka berharap agar polisi
menjadi sosok yang merakyat dan dapat dipercaya dalam mengemban tugas dan
kewenangannya. Kehadirannya tidak menimbulkan kegelisahan lantaran mampu
memberikan pelayanan terbaik.
Tidak ada tindakan
yang menonjolkan kekerasan tanpa dilandasi hukum, penegakan hukum selalu
terukur, dan tidak menyakiti hati rakyat. Kapolri baru juga harus memperbaiki
citra Polri dari tudingan ”setoran terhadap atasan” berkaitan dengan penempatan
personil Polri pada jabatan tertentu.
Peran penting bagi
kapolri baru adalah mendesain ”polisi sipil” yang merakyat dengan
mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan, apalagi
kepentingan kekuasaan.
Polisi sipil modern
harus dekat dengan rakyat sebagai bagian dari upaya memotivasi mereka
membantu tugas-tugas Polri. Caranya, memberikan ruang, kesempatan, dan
tantangan untuk mewujudkan rasa aman sebagai bagian dari membangun civil
society.
Kekuasaan Menegakkan Hukum
Sinergi Polri dan
masyarakat yang sampai kini masih dipandang berada di atas awangawang, bukan
tidak mungkin reformasi Polri berjalan tertatihtatih.
Betapa tidak,
keterlibatan aktif anggota Polri saat penggusuran warga miskin di Jakarta
yang dilakukan pemerintah daerah dan saat itu Komjen Tito sebagai kapolda DKI
Jakarta, membuat mereka yang tergusur dari tempat tinggalnya merasa dizalimi.
Jikapun polisi hadir
mengamankan kebijakan pemerintah daerah sebagai bagian dari penegakan hukum,
tidak berarti mengabaikan hak-hak rakyat untuk hidup sejahtera dan bertempat
tinggal di bumi Indonesia, yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Membangun hubungan
yang baik antara masyarakat dengan Polri, tidak bisa hanya berdasar pada
tataran normatif. Apalagi masyarakat begitu merindukan sosok polisi yang bisa
dibanggakan karena jujur, bersih, profesional, dan berwibawa.
Apabila ada kasus yang
meresahkan masyarakat berhasil dibongkar polisi, dipastikan akan mendapat
sambutan dan respek luar biasa. Kita tidak ingin pelaksanaan kekuasaan besar
yang dipunyai Polri membuat hubungannya dengan masyarakat menjadi renggang.
Harus selalu diyakini,
bahwa Polri dan masyarakat adalah dua entitas yang tidak mungkin dipisahkan.
Keduanya saling membutuhkan, polisi hadir karena dibutuhkan oleh masyarakat.
Sebaliknya,
tugas-tugas polisi tidak akan mungkin berhasil dengan baik tanpa partisipasi
masyarakat. Maka itu, warga masyarakat selalu berharap agar kekuasaan besar
polisi dalam menegakkan hukum senantiasa didasarkan pada aturan hukum yang
menyertainya.
Kekuasaan yang besar
sangat berpotensi diselewengkan dalam melakukan penegakan hukum. Ini salah
satu aspek yang perlu menjadi perhatian serius kapolri baru ke depan. Apalagi
kalau tindakan itu semata-mata dibalut dengan kepentingan penertiban dan
penegakan hukum, tetapi ujung-ujungnya membuat masyarakat gerah lantaran
tidak proporsional.
Untuk lebih
mendekatkan polisi dengan masyarakat, kiranya reformasi Polri tidak boleh
mengabaikan kebutuhan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan. Persoalan itu
selalu menjadi jualan setiap pergantian Kapolri, tetapi realitasnya belum
berjalan maksimal karena warga masyarakat masih sering melihat anggota Polri
sebagai sosok yang menyusahkan.
Antara lain, warga
masyarakat selalu merasa dicari-cari kesalahannya dengan mengabaikan
pendekatan persuasif. Saatnya menggelorakan bahwa Polri adalah sahabat dan
mitra bagi masyarakat.
Bukan sosok yang
selalu dihindari dan dicurigai, sehingga menjadi saksi pun dalam suatu kasus
hukum dihindari. Jika ini mampu diemban Tito, saya yakin sosok anggota Polri
ke depan akan memiliki tampilan baru yang lebih progresif. Polri yang
profesional, berintegritas, tegas, dan bersahabat dengan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar