Attar
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi
Majalah TEMPO
|
TEMPO.CO, 20 Juni
2016
Attar hidup di sebuah zaman yang tipis harapan
dan tewas pada usia 76 tahun dalam pembantaian. Di Nishapur, di Provinsi
Khorasan, Persia, tempat ia lahir sekitar 1145, ia sebenarnya tak kekurangan
suatu apa. Sebelum menulis puisi dengan memakai nama Attar dan berkunjung ke
pelbagai penjuru menjumpai sufi-sufi ternama, ia hidup cukup sebagai ahli
obat-obatan. Banyak penderita sakit yang datang. Dari mereka Attar mendapat
nafkah-dari mereka pula ia mengenal cerita-cerita muram manusia dan rapuhnya
kepercayaan kepada hidup.
Ia pun menulis Mosibatnmeh atau Kitab
Kesengsaraan-sebuah puisi epik yang menggugat Tuhan.
Tak jelas kapan karya itu selesai; buku itu
jarang disebut dalam biografi Attar yang samar-samar. Dunia hanya mengenalnya
sebagai penulis Mantiq-ut-Tair atau Persidangan Burung-burung, sebuah alegori
perjalanan spiritual manusia dengan tokoh pelbagai burung yang mencari
Simurgh, sesembahan mereka. Karya Attar konon berjumlah lebih dari 100 judul,
tapi di masa hidupnya ia tak luas dikenal. Ia dikatakan dipancung pasukan
Mongol yang membantai penduduk Nishapur. Orang hanya ingat yang dikatakan
Rumi: "Attar telah melintasi tujuh kota Cinta, sementara kita masih di
satu tikungan jalan."
Beda antara Attar dan Rumi (lahir 1207) memang
pengalaman hidup separuh abad. Tapi ada beda yang lebih radikal di antara
karya kedua penyair Persia itu, jika kita baca Kitab Kesengsaraan. Puisi Rumi
adalah litani tentang sentuhan Kasih Tuhan yang membahagiakan. Sebaliknya
karya Attar yang satu itu, dalam kata-kata Navid Kermani, "karya paling
muram dalam sastra dunia".
Kermani, penulis muslim Jerman yang terkemuka
dewasa ini, membuat telaah yang mendalam tentang Kitab Kesengsaraan dalam Der
Schrecken Gottes (versi Inggris: The Terror of God). Lewat lima bab yang
menjalin khazanah Yahudi, Kristen, dan pemikiran Eropa modern, Kermani
menampilkan Attar sebagai suara yang mendesah, sengit tapi tak berdaya, dalam
"pertengkaran dengan Tuhan".
"Pertengkaran" itu dimulai dengan
perjalanan seorang "pengembara pikiran". Sang pengembara penuh
amarah. Baginya tak ada yang bisa dipercaya. Ia tak mampu lagi membedakan
mana yang baik dan yang keji. Di sekitar, yang tampak hanya dusta dan tipuan.
Penguasa menindas dan sejumlah penyair menjual bakat mereka di istana. Hukum
agama hanya menuduh. Tak ada keyakinan apa pun yang bisa dipegang.
Ia pun mencari. Mengikuti tradisi sufi, ia
dibimbing seorang pir, seorang guru. Tapi akhirnya ia tahu: guru yang
sebenarnya adalah penderitaannya.
Dalam perjalanan itu-diceritakan kembali oleh
Kermani dengan memukau-ia lihat 100.000 jalan menuju ke segala arah dan
100.000 lautan darah. Ia lihat dunia-dunia yang sesat dan kosmos yang
membengkak. Ia lintasi 100.000 surga dan neraka, ia mengetuk, tapi tak ada
pintu yang terbuka.
Akhirnya ia hilang ingatan. Ia bicara kepada rasa sakit,
dan rasa sakit jadi
keyakinan dan kekufurannya. Ia pun membisu, menyerah,
habis tenaga.
Ia berjumpa dengan Malaikat Jibril . Ia
bertanya tahukah sang malaikat obat apa yang baik bagi rasa sakitnya. Jibril
tak tahu; ia sendiri dalam keadaan yang lebih buruk. Ada teror, heybat, yang
dihadapinya-teror dari sesuatu yang bahkan Jibril tak berani sebut namanya.
Demikian juga reaksi para malaikat lain,
termasuk para penyangga Takhta Tuhan. Mereka semua sengsara. "Berdiriku
begitu guyah," jawab salah satu dari mereka, "hingga bila selembar
serat tubuhku bergerak, aku akan jatuh ke dalam jurang yang dalam."
Kenapa demikian? Kenapa tak ada jawab? Dalam
Kitab Kesengsaraan Tuhan adalah kesewenang-wenangan yang memperlakukan
ciptaan-Nya sebagai obyek yang tak berarti. Sang pengembara pun menyimpulkan,
dalam sebaris kalimat Attar, bahwa sejak mula manusia memang "bak bola
permainan".
Tentu, dalam kisah-kisah penjelajahan yang
seperti siklus putus asa itu, sang guru selalu mengingatkan: dalam kesengsaraan
manusia, Tuhan punya alasan tersembunyi yang baik. Tapi Kermani menunjukkan,
puisi Attar kurang mengedepankan itu. Ia justru memberi tekanan pada gambaran
"kekalutan pikiran sang pengembara dan pemandangan mengerikan yang
ditemuinya...". Jawaban sang guru tak memadai. Yang lebih nyaring adalah
"pertanyaan yang selalu datang dari sang musafir".
Sampai hari ini, pelbagai risalah filsafat dan
agama-Islam, Kristen, Yahudi-bergulat dengan pertanyaan itu: mengapa Yang
Mahakuasa tak melepaskan manusia dari sengsara? Dan jika itu hukuman atas
dosa, kenapa Ia tak mencegahnya? Benarkah Ia pengasih, benarkah Ia adil?
Ada yang menjawab, Tuhan tak bisa dinilai
dengan rasa keadilan dan belas kasih manusia. Tapi ada yang menambahkan: jika
benar demikian, penilaian itu justru harus ditegaskan di dunia. Kitab
Kesengsaraan menyesakkan karena kita tahu, ada yang seharusnya bukan
kesengsaraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar