Adu Kuat Jokowi-DPR
Refly Harun ;
Praktisi Hukum Tata Negara;
Pengajar di Program Pascasarjana
UGM
|
MEDIA INDONESIA,
20 Juni 2016
APA yang diharapkan
DPR dengan melarang Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini
Soemarno ke DPR? Pertanyaan ini pantas diajukan karena sejak Desember 2015
hingga hari ini, tak sekali pun Menteri BUMN bisa menginjakkan kakinya ke
DPR. Padahal, sebagai pembantu Presiden Jokowi, Rini harusnya melakukan
banyak rapat-kerja dengan DPR, terutama dengan Komisi VI yang menjadi mitra
kerjanya.
Terakhir, beberapa
hari lalu, karena larangan masih berlaku, pembahasan anggaran Kementerian
BUMN untuk tahun anggaran 2017 terpaksa diwakili oleh Menteri Keuangan
Bambang Brodjonegoro. Padahal, pembahasan seharusnya dilakukan oleh menteri
yang bersangkutan karena sudah masuk ke pembahasan dengan komisi.
Ikhwal larangan
terhadap Rini tersebut tertuang dalam surat yang ditandatangani Ketua DPR
sementara Fadli Zon setelah paripurna DPR menerima rekomendasi Panitia Khusus
(Pansus) Pelindo II agar Presiden Jokowi memberhentikan Menteri BUMN. Bahasa
yang dipakai saat itu, "...pansus
sangat merekomendasikan kepada Presiden RI untuk menggunakan hak
prerogatifnya memberhentikan Rini Soemarno sebagai Meneg BUMN." Alasannya, Pansus Pelindo II menemukan
fakta bahwa Menteri BUMN dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap tindakan
yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Paripurna DPR Desember
lalu sesungguhnya tidak pernah memutuskan pelarangan rapat kerja terhadap
Menteri BUMN. Hal tersebut 'disusupkan' Pansus Pelindo II yang diketuai
politikus PDIP, Rieke Dyah Pitaloka, setelah paripurna melalui tangan Ketua
DPR sementara Fadli Zon. Saat itu Ketua DPR Setya Novanto sedang disidang
Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dalam kasus yang dikenal dengan 'papa minta
saham'.
Tujuannya jelas, untuk
menekan Presiden Jokowi agar memberhentikan Rini Soemarno.
Tak bisa dimungkiri,
yang paling getol memelopori pembentukan Pansus Pelindo II ialah PDIP. Partai
ini pula yang paling getol mendorong agar Menteri BUMN diberhentikan. Bahkan,
sebelum Pansus Pelindo II dibentuk dan bekerja, suara untuk memberhentikan
Rini sudah terdengar nyaring. Menjelang reshuffle jilid pertama, terdengar
kencang istilah 'Trio Macan', yang terdiri atas Luhut Binsar Pandjaitan, Andi
Widjajanto, dan Rini Soemarno.
Sudah menjadi rahasia
umum, ketiga orang ini paling tidak disukai PDIP.
Salah satu analisis
yang bisa dikemukakan, ketiganya memiliki hubungan renggang dengan Ketua Umum
PDIP Megawati Soekarnoputri. Ketiganya juga dinilai menghalangi akses PDIP ke
Presiden Jokowi, terutama Luhut dan Andi yang memang menjadi pejabat di ring
Istana. Luhut sebagai Kepala Staf Presiden, jabatan yang tampaknya memang
diadakan untuk Luhut, dan Andi menjabat sebagai Sekretaris Kabinet.
Dalam reshuffle gelombang pertama, Andi
tersingkir dan Luhut tergeser menjadi Menteri Politik Hukum dan Keamanan. Andi
hilang sama sekali, salah satunya karena rekaman yang
disebarkan--lagi-lagi--politisi PDIP, bahwa ada bawahan Presiden Jokowi yang
diduga telah menghina sang presiden. Orang tersebut ditengarai Andi
Widjajanto. Adapun Luhut tergeser ke jabatan yang lebih tinggi sesungguhnya,
tetapi tidak di ring Istana lagi.
Rini Soemarno, satu
dari 'Trio Macan', masih bertahan di posisinya sebagai menteri BUMN. Berbeda
dengan Luhut dan Andi, Rini bukan dianggap menghalangi akses ke Presiden
Jokowi, karena memang tidak berada di ring Istana, melainkan karena hubungan
yang memburuk dengan Megawati. Padahal, sebelumnya, Rini sangat dekat dengan
Megawati. Salah satu spekulasi menyatakan bahwa buruknya hubungan tersebut
karena dipicu dicoretnya Budi Gunawan (BG) sebagai salah seorang calon
menteri Jokowi. Sebagai Ketua Tim Transisi, Rini dianggap bertanggung jawab
sehingga BG dicoret.
Jadi, sejak awal, keberadaan
Menteri Rini memang tidak direstui kalangan PDIP, lebih spesifik lagi Teuku
Umar. Berbagai upaya dilakukan untuk menurunkan Rini, mulai dari isu Trio
Macan hingga Pansus Pelindo II, tetapi upaya itu belum membuahkan hasil. Pelarangan
Menteri Rini ke DPR dapat dinilai sebagai upaya 'menekan' Presiden Jokowi. Walaupun
bahasa yang digunakan terkesan 'halus', menggunakan hak prerogatif, yang
dimaui PDIP jelas bahwa Presiden harus memberhentikan Rini. Bila tidak,
selamanya Rini tidak boleh datang ke DPR.
Mau apa?
Sudah hampir enam
bulan berselang, Rini ternyata tetap berada di posisinya sebagai Menteri
BUMN. Presiden Jokowi tidak memberhentikannya. Bahkan sebaliknya terlihat,
semakin ditekan, Presiden Jokowi justru semakin tidak mau mengikuti kemauan pihak-pihak
yang menekan. Gaya Solo sang presiden, kendati terlihat lembut, ternyata
sangat keras dan kukuh dengan apa yang diputuskan.
Watak Jokowi yang
'lembut tapi keras' itu sesungguhnya sudah terlihat ketika tahun lalu tidak
melantik BG sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Serangan
bergelombang datang dari semua jurusan untuk menyudutkan Presiden, bahwa
melantik BG ialah sebuah keharusan. Tidak hanya PDIP yang menyerang, tetapi
juga hampir semua partai yang ada di DPR, terutama partai pendukung yang saat
itu tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Partai-partai yang berada
dalam Koalisi Merah Putih (KMP) justru bersikap lunak, termasuk Gerindra.
Tidak itu saja,
putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang kontroversial, yang
memenangkan BG, juga turut menekan. Demikian pula opini-opini yang sengaja
dibangun para ahli, pengamat purnawirawan polisi, dan beberapa anggota DPR
dari Komisi III, semuanya menyudutkan Jokowi. Semuanya menyatakan bahwa
melantik BG adalah wajib. Presiden bisa dimakzulkan bila tidak melantik BG.
Nyatanya, Presiden
tetap tidak melantik dan akhirnya memilih mengajukan Jenderal Badrodin Haiti
sebagai Kapolri.
Bila tahun lalu saja,
ketika hampir semua kekuatan politik dan nonpolitik mendukung pelantikan BG
dan Jokowi tidak melakukannya, apalagi saat ini ketika hampir semua kekuatan
politik berada di belakang Presiden Jokowi. Sekarang KMP sudah bubar. Partai-partai
yang dulu berada dalam perahu KMP sudah mendukung Jokowi. Dukungan PPP sudah
bulat, tidak lagi separuh. PAN juga mendukung setelah tampuk kekuasaan berada
di tangan Ketua MPR, Zulkifli Hasan. Terakhir, Partai Golkar ikut dalam
barisan setelah Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munuslub) di Bali beberapa
waktu lalu berlangsung sukses dan mendudukkan Setya Novanto sebagai Ketua
Umum Golkar.
Apa yang akan
dilakukan DPR, atau tepatnya PDIP, bila Jokowi tetap tidak memberhentikan
Rini Soemarno sebagai menteri BUMN? Apakah PDIP akan menggalang hak
menyatakan pendapat (HMP) untuk memberhentikan Jokowi, yang notabene presiden
yang mereka dukung sendiri dalam Pilpres 2014? Penggalangan HMP menjadi logis
dan konstitusional bila DPR menganggap bahwa Jokowi telah mengabaikan
rekomendasi DPR. Kendati dalam konteks ini, saya pernah menyatakan bahwa rekomendasi
DPR tersebut cacat hukum. Soalnya, hingga saat ini, Pansus Pelindo II belum
menyelesaikan tugasnya. Belum ada keputusan apakah DPR menerima atau menolak
hasil akhir pansus.
Ketika pertanyaan
tersebut saya lontarkan kepada Ketua Pansus Pelindo II Rieke Dyah Pitaloka
dalam debat di Metro TV, 16 Juni lalu, dia tidak mampu menjawab. Malah Rieke
menyatakan agar saya jangan 'mengompori'. Padahal, pertanyaan ini sangat
logis karena tidak mungkin pelarangan tersebut menjadi permanen. Padahal,
Rini pembantu presiden. Seorang menteri datang ke DPR bukan atas kehendak
pribadinya, melainkan atas kuasa Presiden. Menolak seorang menteri sama
artinya menolak Presiden. Tidak heran bila Saldi Isra menilai DPR kebablasan
dalam soal pelarangan tersebut (Media
Indonesia, 17/6/2016).
Secara teoretis, dalam
konteks dukungan terhadap Presiden Jokowi menguat, PDIP tidak mungkin
melangkah lebih jauh. Sesungguhnya memang PDIP tidak mungkin melangkah lebih
jauh dari sejak awal.
Menggalang pemakzulan
terhadap Jokowi sama saja tindakan kamikaze, politik bunuh diri. Jadi,
memberhentikan Rini adalah tujuan akhir dari pembentukan Pansus Pelindo II
versi PDIP.
Kalangan DPR lainnya
mungkin memiliki kepentingan berbeda terhadap Pansus Pelindo II, misalnya
memburu rente dari upaya pembatalan kontrak yang sudah dibuat oleh RJ Lino,
direktur utama sebelumnya. Atau juga kepincut dengan dana segar di bank
sebesar Rp18 triliun. Itu semua menjadikan Pelindo II ibarat gadis cantik
yang banyak ditaksir pemuda.
Terlebih, bila
dikaitkan dengan kepentingan politik pada Pemilu 2019, yakni partai-partai
membutuhkan sumber-sumber dana untuk membiaya kegiatan kampanye yang tidak
murah.
Politik berubah
Bagaimanapun
pelarangan seorang menteri untuk rapat kerja dengan DPR tidak boleh menjadi
modus untuk menekan presiden agar memberhentikan menteri yang bersangkutan. Negara
kita menganut sistem pemerintahan presidensial.
Mengangkat dan
memberhentikan menteri adalah kewenangan sepenuhnya presiden. Meskipun
menteri jabatan tinggi, dia hanyalah seorang pembantu. Dari sisi hukum,
memberhentikan menteri lebih mudah ketimbang memberhentikan PNS pangkat
terendah sekalipun.
Memberhentikan menteri
tidak perlu memakai prosedur.
Harus ada jalan keluar
dari kemelut pelarangan ini. Dengan konstelasi politik hari ini, Presiden
Jokowi tinggal memberikan sinyal bahwa dia tidak akan memberhentikan Menteri
Rini bila memang tidak ingin memberhentikan. Kalangan DPR pasti lebih mudah
digerakkan dengan konstelasi politik hari ini. Partai-partai yang berada di
genggaman Jokowi sudah mayoritas di DPR. Kalau dulu PDIP mampu menggalang
KIH, hari ini sepertinya akan sulit mengharapkan koalisi tersebut. Terlebih
KIH sendiri tidak mayoritas di DPR.
Sebagai partai
pemenang Pemilu 2014 dan pendukung utama Presiden Jokowi, PDIP menunjukkan
anomali politik yang luar biasa. Kepentingan-kepentingan dan
hubungan-hubungan personal di institusionalisasi menjadi kepentingan partai. Celakanya,
hal tersebut justru menyebabkan gesekan dengan presiden yang didukung
sendiri.
Dalam gesekan
tersebut, terlihat justru posisi Presiden Jokowi yang menguat dari waktu ke
waktu. Bila tahun 2015, Teuku Umar yang terlihat memimpin KIH dan itu pun
tidak mayoritas di DPR, tahun 2016 Istana sendiri yang memimpin koalisi
besar. Hampir tidak ada lagi partai yang sekarang garang dengan Presiden
Jokowi seperti di awal-awal masa pemerintahannya.
Gerindra yang paling
garang pun kini lebih bersikap rasional meski tetap menjaga jarak. Sementara
PKS masih malu-malu untuk mendekat dan terlihat gamang bersikap, tetapi jelas
tidak keras lagi dalam beroposisi.
Selebihnya
partai-partai yang sudah dirangkul Jokowi, termasuk Golkar yang sekarang
terlihat 'lebih PDIP ketimbang PDIP'.
Dalam konstelasi
politik yang sudah berubah tersebut, kini Presiden Jokowi terlihat lebih
percaya diri. Salah satu buktinya, nominasi Komjen Tito Karnavian sebagai
Kapolri. Jokowi tidak mengajukan BG, yang jelas-jelas dimaui Teuku Umar. Dukungan
terhadap pencalonan Tito dari segala penjuru seperti yang terlihat saat ini,
termasuk dari partai-partai yang dulu sangat gencar menyerang Jokowi seperti
Gerindra, harus dilihat sebagai dukungan terhadap Presiden Jokowi.
Politik sudah berubah
dan terus akan berubah. PDIP masih terlihat gagap dan gamang di tengah arus
perubahan tersebut. Pusat kekuasaan bukan di Teukur Umar (lagi), tetapi
sepenuhnya di Istana. Memang harusnya begitu. Dalam konteks ketatanegaraan,
tidak boleh pusat kekuasaan berada di tempat-tempat informal. Harus berada di
tempat yang formal, di Istana, sehingga lebih jelas bila harus menyikapi
kekuasaan.
Presiden yang dipilih
oleh rakyat Indonesia tidak boleh berada di bawah bayang-bayang ketua umum
sebuah partai politik kendati itu partai pendukung utama. Ketika seseorang
sudah menjadi presiden, ia menjadi presiden bagi seluruh rakyat, bukan
presiden partai tertentu saja. Fatsun politik seperti itu harus dimiliki oleh
siapa pun di Republik ini, tak terkecuali oleh mereka yang merasa paling
berjasa mengantarkan Jokowi ke altar Istana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar