Ini Soal Kedaulatan Bung!
M Subhan SD ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 25 Juni 2016
Suhu perairan Natuna
di Kepulauan Riau terasa panas. Lautnya sedang berombak besar walaupun belum
musim angin barat. Gara-garanya adalah ditangkapnya kapal Han Tan Cou-19038
milik nelayan Tiongkok oleh kapal perang KRI Imam Bonjol-383 karena mencuri
ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Jumat (17/6). KRI Imam Bonjol tak
peduli ketika diintimidasi kapal penjaga pantai Tiongkok yang meminta kapal
penangkap ikan itu dilepaskan. Hubungan Beijing-Jakarta pun menegang.
Kepulauan Natuna
terletak agak menjorok keluar dari bentangan gugusan Nusantara. Berada di
Laut Tiongkok Selatan, Natuna diapit jazirah Vietnam dan Malaysia. Namun,
Natuna adalah batas utara wilayah kedaulatan RI. Berbeda dengan kawasan
Kepulauan Spratly dan Paracel yang letaknya lebih jauh ke utara lagi, yang
sejak lama menjadi titik api (flash point). Kawasan kaya sumber daya alam itu
dipersengketakan enam negara: Tiongkok, Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia,
dan Brunei. Mungkinkah Indonesia ditarik-tarik ke titik sengketa baru?
Sekarang ini,
sebetulnya hubungan Tiongkok-Indonesia sedang mesra. Presiden Joko Widodo
lebih senang menjalin kerja sama ekonomi dengan negara Tirai Bambu itu.
Contohnya, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dipegang Tiongkok, mengalahkan
investor Jepang yang selama ini punya hubungan panjang dengan Indonesia.
Kemajuan ekonomi Tiongkok memang berkibar setelah reformasi pada era Deng
Xiao Ping akhir dekade 1970-an. Walaupun hubungan dengan Tiongkok memasuki
masa-masa mesra, Indonesia tentu saja tidak bisa didikte, apalagi
ditaklukkan.
Presiden Jokowi malah
terbang ke Natuna pasca insiden penangkapan kapal itu. Sebagai kepala negara,
Jokowi merepresentasikan kehadiran negara. Sebagai presiden, menunjukkan
reaksi cepat Jokowi dalam menakhodai negeri ini, misalnya langsung menggelar
rapat dengan para menteri dan Panglima TNI di KRI Imam Bonjol. Sebagai
Panglima Tertinggi TNI, kehadiran Jokowi menunjukkan tak gentar menghadapi
ancaman senjata apa pun, termasuk menguatkan semangat dan percaya diri
tentara.
Tiongkok sebetulnya
terlalu usang menggunakan dasar traditional
fishing ground. Jika dibenarkan, garis tersebut telah mencaplok semua
wilayah perairan negara-negara lain di tepi Laut Tiongkok Selatan yang diakui
UNCLOS 1982. Tidak heran, semua negara itu marah kepada Tiongkok. Lagi pula,
Indonesia yang dikenal sebagai bangsa bahari juga tidak mengklaim, misalnya
pantai utara Australia atau perairan Madagaskar di Afrika sebagai jalur
pencarian ikan dan kerang nelayan Indonesia. Bukankah imperium Sriwijaya dan
Majapahit adalah penguasa-penguasa bahari?
Pada dekade 1960-an
ketika Indonesia memainkan peran strategis di panggung dunia, Presiden
Soekarno pernah bertanya tentang sistem pertahanan pada pemimpin Tiongkok Mao
Tse Tung dan Presiden Vietnam Ho Chi Minh. Menurut Mao, Tiongkok unggul dan
mampu bertahan meskipun jatuh-bangun karena sistem pertahanan bersifat
nasional. Tiongkok memahami segala kondisi, baik fisik maupun mental.
Jawaban Ho mirip Mao.
Meskipun negara kecil, kata Ho, Vietnam bisa bertahan dari serangan
imperialis karena sistem pertahanan yang mengandalkan pengetahuan dan
pengalaman dari perjuangan bangsa Vietnam. Istilahnya the best school for defence is the school of life.
Indonesia juga bangsa
tangguh. Karena itu, Bung Karno menekankan pertahanan nasional kita harus
benar-benar memahami geopolitik, yakni bersandar pada karakteristik bangsa
dan Tanah Air sendiri. Rudolf Kjellen (1864-1922), pencipta konsep geopolitik,
mengatakan, negara berakar kuat dalam sejarah dan realitasnya, tumbuh secara
organis, seperti halnya manusia. Dan, kita punya Wawasan Nusantara.
Faktor bahari memang
sangat strategis. Ketika era kejayaan bahari bangsa-bangsa Eropa pada abad
XV, lautan menjadi kunci penaklukan dunia. Sir Walter Raleigh (1551-1618)
mengatakan, mereka yang menguasai lautan akan menguasai jalur perdagangan,
lalu akan menguasai kekayaan dunia, dan akhirnya menguasai dunia itu sendiri.
Doktrin ini pula yang dipegang Inggris dengan membangun armada lautnya.
Dalam bahasa Alfred
Thayer Mahan (1860-1914), guru besar sejarah maritim dan strategi di Naval War College, Amerika Serikat,
sejarah kekuasaan dunia ditandai kemampuan menguasai laut (control of the sea). Kontrol terhadap
lautan merupakan kunci untuk bisa menjadi adikuasa. Saat ini walaupun
kekuatan udara (air power) makin
canggih, kekuatan laut (sea power)
tetap menjadi andalan utama.
Apalagi dua pertiga
wilayah Indonesia berupa lautan. Sayangnya, inilah yang mesti disadari bahwa
kita tidak cukup serius menjaga wilayah-wilayah yang menjadi batas kedaulatan
negara. Di daratan saja, kita acap abai sehingga banyak daerah tak terurus.
Bagi warga di perbatasan, ”rumput tetangga lebih hijau ketimbang rumput di
halaman sendiri”. Perubahan paradigma yang memandang perbatasan bukan lagi
sebagai halaman belakang, menjadi ujian untuk kelenturan ketahanan nasional (national resilience) kita. Seperti
kasus Natuna, jangankan sedepa, sejengkal pun kita tidak boleh mundur. Ini
soal kedaulatan negara Bung! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar