Kelautan untuk Pacu Ekonomi
Rokhmin Dahuri ;
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang
Kemaritiman
|
KORAN SINDO, 28 Juni
2016
Dalam pengantar Rapat
Terbatas tentang Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Rabu(15/6), Presiden
Jokowi menegaskan, program pembangunan kelautan harus dipercepat agar
Indonesia dapat memanfaatkan potensi kelautan yang sangat besar.
Presiden juga
mewanti-wantibahwakebijakan dan program pembangunan kelautan jangan hanya
bagus di atas kertas (sekedar wacana), tetapi harus betul-betul membuahkan
dampakpositifbagi peningkatan kesejahteraan nelayan dan kesejahteraan rakyat
kita.
Penegasan Presiden itu
sangat tepat karena sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang
tiga-perempat wilayahnya berupa laut, Indonesia memiliki potensi ekonomi
kelautan yang sangat besar, sekitar USD1,2 triliun per tahun (tujuh kali APBN
2016) dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang alias 33%
total angkatan kerja (Dahuri, 2014).
Sesungguhnya, sejak
awal masa kampanye capres-wapres awal 2014, Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf
Kalla sangat meyakini tentang potensi ekonomi kelautan yang luar biasa
besarnya ini. Sebab itu, kemaritiman dijadikan program pembangunan prioritas
Kabinet Kerja yang dipimpinnya bersama dengan program pembangunan infrastruktur,
kedaulatan pangan danenergi, industrimanufaktur, pariwisata dan ekonomi
kreatif, sertakesehatandanpendidikan.
Lebih dari itu,
Presiden Jokowi dan Wapres JK juga bertekad untuk menjadikan Indonesia
sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Yakni, Indonesia yang maju, sejahtera, dan
berdaulat berbasis ekonomi kelautan dan hankam serta budaya maritim. Dengan
potensi ekonomi yang luar besarnya, ekonomi kelautan mestinya bisa menjadi
penyelamat perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional akibat pelemahan sektor-sektor
ekonomi daratan tersebut.
Dari perspektif ekonomi
dan kesejahteraan, sektor perhubungan laut, pariwisata bahari, ESDM, dan
industri dan jasa maritim pada umumnya sudah pada jalur yang tepat (on the track). Revitalisasi sejumlah
pelabuhan laut dan kapal-kapal muatan barang maupun penumpang berjalan sesuai
target.
Dwelling-time
Pelabuhan Tanjung Priok dan beberapa pelabuhan laut utama sudah lebih pendek
(cepat). Kapal penumpang dan kapal barang untuk melayani trayek baru maupun
menambah frekuensi pelayanan trayek lama (existing)
sudah berjalan cukup baik. Secara keseluruhan program pembangunan Tol Laut
dan konektivitas maritim menunjukkan kinerja yang menggembirakan.
Selain memperbaiki
aksesibilitas, prasarana dan sarana, sistem perizinan dan pelayanan (seperti visa on arrival), dan promosi serta
pemasaran sejumlah objek (destinasi) wisata yang sudah ada; Kementerian
Pariwisata juga secara elegan mengembangkan berbagai objek (destinasi)
pariwisata bahari yang baru.
Tak mau ketinggalan,
Kementerian ESDM sejak pertengahan 2015 bekerja sama dengan Pusat Kajian
Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL)-IPB dan semua kementerian terkait
telah menyiapkan infrastruktur dan suplai energi bagi Kluster Industri dan
Ekonomi Maritim di sejumlah kawasan pesisir seperti Aceh Jaya, Pulau Enggano,
Mandalika, Larantuka, dan Pulau Morotai.
Kementerian ESDM
sangat aktif mengembangkan energi baru dan terbarukan dari laut seperti
pasang-surut, gelombang, Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), dan biofuel
berbasis algae laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama TNIAL,
Polri, kejaksaan, danBakamla sudah di jalur yang tepat di dalam memberantas
illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing oleh nelayan asing, dan
penegakan kedaulatan.
Sayang, kebijakan
ekonominya yang merupakan tugas dan fungsi utama KKP justru menghambat atau
mematikan iklim investasi dan bisnis kelautan-perikanan. Akibat kebijakan
yang terlalu restriktif dan mendadak (sudden
death), tanpa sosialisasi dan alternatif solusi seperti itu, banyak
pabrik pengolahan hasil perikanan di hampir semua kawasan industri perikanan,
mulai dari Tual, Ambon, Bitung, Benoa, Muara Baru, Jakarta sampai ke Belawan
megap-megap atau gulung tikar karena kekurangan bahan baku ikan.
Ratusan ribu nelayan,
pembudi daya, pengolah, dan pedagang ikan menganggur. Nilai ekspor perikanan
turun drastis, dari USD4,7 miliar pada 2014 menjadi sekitar USD2 miliar pada
2015. Demikian juga halnya pendapatan negara bukan pajak (PNBP) perikanan,
pada 2004 mencapai Rp350 miliar, pada 2014 sebesar Rp250 miliar, dan tahun
lalu terkumpul hanya sekitar Rp70 miliar.
Sementara itu,
perikanan budi daya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi
kelautan, dan sumber daya kelautan non-konvensional yang potensi produksi dan
ekonominya puluhan sampai ratusan kali lipat dari perikanan tangkap kurang
mendapat perhatian.
Yang juga
memprihatinkan, sudah hampir dua tahun Kabinet Kerjarupanya Kemenko Maritim
belum mempunyai Peta Jalan Pembangunan Kemaritiman Indonesia. Tak heran bila
sampai sekarang Kemenko Maritim tampak “gagap” di dalam menjalankan fungsi
dan tugas pokoknya.
Yang meliputi: (1)
koordinasi dan sinkronisasi; (2) akselerasi pembangunan; (3) kebijakan
terobosan (breakthrough policies);
(4) menyamakan “playing field“ (iklim investasi, kemudahan berbisnis, suku
bunga bank, infrastruktur, dan variabel lainnya) dengan negara-negara maritim
tetangga atau kompetitor; dan (5) memberi arahan (direction) jangka panjang dan berkelanjutan bagi bangsa Indonesia
menuju PMD.
Program Jangka Pendek
Sebab itu, dalam
jangka pendek-menengah (mulai sekarang sampai 2020), pemerintah harus
merevitalisasi dan mengembangkan sektor-sektor ekonomi kelautan yang dapat
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (di atas 7% per tahun),
menyerap banyak tenaga kerja, menyejahterakan rakyat, pasarnya tersedia, dan
memerlukan modal dan teknologi yang relatif kecil dan mudah.
Sektor-sektor ekonomi
kelautan yang dimaksud adalah: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi
daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri farmasi dan
kosmetik dari laut, (5) pariwisata bahari, (6) industri galangan kapal, dan
(7) industri mesin dan peralatan perikanan.
Di sektor perikanan
tangkap, kita mesti mengembangkan armada kapal ikan modern dengan ukuran
kapal di atas 50 GT dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan
sebanyak 5.000 unit kapal sampai 2019. Ini untuk memanfaatkan sumber daya
ikan di wilayah perairan di atas 12 mil, laut dalam, laut lepas, dan ZEEI
yang selama ini menjadi ajang pencurian (illegal
fishing) oleh nelayan asing atau masih underfishing seperti Laut Natuna, ZEEILaut China Selatan, Laut
Sulawesi,
Teluk Tomini, Laut
Banda, Laut Arafura, serta ZEEI Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Setiap
100 kapal ikan dikawal oleh kapal TNI-AL atau Coastguard. Dengan cara seperti
ini diyakini IUU fishing oleh nelayan asing akan dapat diatasi secara tuntas.
Dan, pada saat yang sama kita mendapatkan jutaan ton ikan untuk menghidupkan
kembali industri pengolahan hasil perikanan yang mati suri selama dua tahun
terakhir ini.
Kita bangun Pelabuhan
Perikanan Samudera yang dilengkapi dengan kawasan industri perikanan dan
maritim terpadu sebagai tempat pendaratan ikan armada kapal ikan modern
tersebut, industri pengolahan, dan jaringan pemasaran.
Nelayan tradisional
yang selama ini beroperasi di wilayahwilayah laut dangkal, di bawah 12 mil
mesti ditingkatkan kapasitas dan produktivitas penangkapan ikannya dengan
menyediakan teknologi penangkapan ikan (kapal ikan dan alat tangkap) yang
lebih efisien, produktif, dan ramah lingkungan sesuai dengan potensi produksi
lestari (MSY=maximum sustainable yield)
sumber daya ikan di setiap wilayah perairan.
Di sektor perikanan
budi daya, kita tingkatkan produksi berbagai jenis ikan melalui
intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi usaha perikanan budi daya
ramah lingkungan di perairan laut, payau, dan tawar. Jenis-jenis ikan budi
daya laut yang relatif mudah dibudidayakan sangat dibutuhkan untuk pasar
domestik maupun ekspor, dan keuntungan (profit)-nya lumayan besar antara lain
berbagai jenis kerapu, kakap, bawal bintang, bandeng, gobia, abalone,
kerang hijau,
gonggong, teripang, dan lobster. Untuk di perairan payau antara lain meliputi
udang windu, udang vanamme , kerapu lumpur, bandeng, nila salin, dan berbagai
jenis kepiting termasuk kepiting soka. Di perairan tawar, kita bisa budi
dayakan ikan nila, patin (dori), lele, emas, gurame, belida, baung, bawal air
tawar, udang galah, dan lobster air tawar (cerax spp).
Program Jangka Panjang
Dalam upaya mewujudkan
Indonesia sebagai PMD, seluruh sektor ekonomi kelautan (seperti Kelautan dan
Perikanan, ESDM, Pariwisata Bahari, Perhubungan Laut, dan Industri dan Jasa
Maritim) dituntut untuk mampu mendayagunakan ruang, SDA, dan jasa-jasa
lingkungan (environmental services)
kelautan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru, kesejahteraan, penciptaan
lapangan kerja, dan daya saing bangsa secara ramah lingkungan, inklusif, dan
berkelanjutan.
Kawasan-kawasan
industri atau KEK baru harus diprioritaskan dikembangkan di luar Jawa,
khususnya di kawasankawasan pesisir di sepanjang alur laut kepulauan
Indonesia (ALKI) dan pulau-pulau terluar. Hal ini sangat strategis supaya
Indonesia mampu menikmati keuntungan sebagai pemasok barang dalam sistem
rantai global, bukan sebagai pembeli (konsumen) seperti yang terjadi selama
ini.
Pasalnya, sekitar 45%
total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai sekitar USD1.500
triliun per tahun dikapalkan melalui ALKI. Secara simultan, diplomasi serta
kekuatan hankam maritim juga harus diperkuat dan dikembangkan guna
memperkokoh kedaulatan wilayah NKRI.
Selain itu, diplomasi
dan kekuatan hankam maritim Indonesia juga harus secara signifikan mampu
berkontribusi dalam mewujudkan stabilitas, keamanan, dan perdamaian di
wilayah laut dunia, khususnya di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Untuk itu, pembangunan
infrastruktur, tol laut, dan konektivitas kemaritiman yang ada harus
direvitalisasi, dan bangun yang baru sesuai kebutuhan. SDM kelautan yang
profesional, berkualitas, dan punya dedikasi tinggi mesti kita tingkatkan
jumlahnya.
Kita juga mesti
memperkuat dan lebih mengembangkan research and development (R&D) agar
kita mampu membangun kelautan secara mandiri, menjadi produsen bukan konsumen
teknologi. Akhirnya, “playing field“ pembangunan dan bisnis kelautan harus
sama atau lebih baik ketimbang yang ada di negara-negara tetangga atau
kompetitor.
Dengan peta jalan
pembangunan kelautan seperti ini, niscaya kita akan mampu memacu pertumbuhan
ekonomi yang tinggi (> 7% per tahun), inklusif, banyak menyerap tenaga
kerja, dan menyejahterakan rakyat secara berkelanjutan. Lebih dari itu,
Indonesia bisa menjadi Poros Maritim Dunia dalam waktu tidak terlalu lama,
2030 insha Allah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar