Jalan Pintas ke Pertumbuhan 7 Persen
Helmi Arman ;
Chief Economist, Citibank
Indonesia
|
KOMPAS, 29 Juni 2016
Kebijakan ekonomi
idealnya fokus pada menjaga kesinambungan pembangunan, bukan mengejar
target-target pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla memulai masa baktinya dengan target pertumbuhan ekonomi 7
persen pada 2017, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional. Pembangunan infrastruktur besar-besaran dijadikan tulang
punggung yang menopang target tersebut.
Satu setengah tahun
setelah Kabinet Kerja dibentuk, mulai terlihat peningkatan momentum
pembangunan infrastruktur. Namun, Badan Pusat Statistik mencatat perekonomian
hanya tumbuh 4,9 persen pada kuartal pertama 2016, seiring dengan masih
lemahnya daya beli dan pertumbuhan investasi swasta. Ini bahkan lebih rendah
daripada asumsi 5,3 persen yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2016.
Pertumbuhan yang wajar
Melesetnya kinerja
ekonomi ini menimbulkan rasa kecewa di berbagai level pemerintahan. Para
penentu kebijakan lantas dituntut berpikir lebih keras lagi dan memberikan
ide-ide "gebrakan" untuk mendongkrak perekonomian.
Reaksi seperti ini
cukup beralasan. Setiap tahun, jumlah orang Indonesia yang masuk angkatan
kerja bisa mencapai 2-3 juta orang. Lemahnya pertumbuhan ekonomi memengaruhi
penciptaan lapangan kerja di sektor formal (usaha-usaha berizin yang memiliki
pekerja tetap). Dan, akhirnya berpotensi menyundul tingkat pengangguran.
Meski demikian, ada
baiknya juga kita memahami kondisi perekonomian dunia yang sedang lemah,
serta risikonya bila kebijakan dalam negeri dipaksakan mengejar target-target
jangka pendek. Ada beberapa hal yang perlu diingat untuk menjangkau
ekspektasi kita terhadap kinerja ekonomi Indonesia.
Pertama, Indonesia
masih menghadapi penyusutan ekspor komoditas mentah. Dari Januari-April 2016,
ekspor komoditas, seperti batubara, minyak sawit, dan karet menyusut sebesar
15-30 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk keseluruhan tahun ini,
jumlah devisa yang hilang dari komoditas tersebut bisa mencapai 7 miliar
dollar AS, atau setara dengan Rp 95 triliun. Ini merupakan kehilangan
pendapatan yang menjalar bagaikan virus kepada sektor-sektor penopangnya,
seperti industri penyedia alat berat, jasa angkutan, dan perbankan.
Kedua, walaupun
alokasi APBN untuk subsidi energi sudah dialihkan ke infrastruktur sejak
2014, belanja pemerintah belum menunjukkan kenaikan yang berarti. Ini akibat
merosotnya penerimaan sumber daya alam serta pajak perdagangan. Bahkan, tahun
lalu, belanja pemerintah (di luar beban bunga utang) tidak mengalami kenaikan
sama sekali dibandingkan 2014. Baru tahun ini mulai ada peningkatan, yakni
per Mei sekitar Rp 67 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Itu pun dibiayai
dari tambahan utang, sehingga perlu hati-hati agar tidak menembus batasan
defisit APBN.
Ketiga, banyak sektor
yang masih kelebihan kapasitas produksi. Jangan lupa bahwa Indonesia menerima
puncak arus penanaman modal asing pada 2011-2013. Pada periode tersebut
dibangun pabrik-pabrik baru yang menaikkan kapasitas berbagai industri, mulai
dari makanan dan minuman, besi, hingga otomotif, dan mesin-mesin.
Kemudian, memasuki
2014, ekspor turun, rupiah melemah, dan pertumbuhan penjualan di berbagai sektor
mulai merosot. Omzet perusahaan-perusahaan Tbk (terbuka) melemah dari
sebelumnya tumbuh rata-rata 10-15 persen per tahun, sekarang menjadi 0-5
persen. Akibatnya, apabila dulu kapasitas 30 persen bisa terpakai penuh dalam
2-3 tahun, sekarang bisa butuh dua kali lebih lama.
Ada baiknya kita
bertanya kembali, pertumbuhan ekonomi macam apa yang ideal bagi Indonesia?
Dengan melemahnya perekonomian Tiongkok, era puncak kejayaan ekspor komoditas
mentah bagi Indonesia sepertinya sudah lewat. Pertumbuhan ekonomi domestik
tidak bisa lagi mengandalkan konsumsi rumah tangga, tetapi harus bertumpu
pada ekspor manufaktur atau jasa. Inilah alasan pentingnya pembangunan
infrastruktur.
Namun, jangan lupa
bahwa investasi infrastruktur beranjak dari level yang relatif rendah, yakni
sekitar Rp 200 triliun pada 2015. Ini sangat kecil dibandingkan konsumsi
rumah tangga yang hampir mencapai Rp 6.500 triliun atau 55 persen dari
besarnya perekonomian nasional. Jadi, bila investasi infrastruktur naik 50
persen pun, dampak langsungnya masih lebih kecil dibandingkan bila konsumsi
naik hanya 5 persen. Jadi, bila memang saat ini kita sedang fokus membangun
infrastruktur, pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,9 persen sebenarnya masih
sangat wajar.
Kebijakan-kebijakan
instan yang diarahkan mendongkrak pertumbuhan ekonomi jangka pendek, seperti
intervensi-intervensi pada industri tertentu, harus dipikirkan betul
dampaknya. Penurunan suku bunga dan pelonggaran moneter pun belum tentu bisa
diandalkan sebagai obat mujarab. Pertumbuhan kredit tidak akan melejit bila
memang kebutuhannya masih belum pulih betul dan industri-industri tertentu
masih mengalami kontraksi. Bila yang didorong menerima kredit adalah
sektor-sektor nonproduktif atau spekulatif, kita harus waspada terhadap
bahaya bubble dan kredit macet di
kemudian hari.
Sabar dan konsisten
Secara konseptual,
faktor-faktor utama yang bisa menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
adalah pengetahuan dan daya saing. Karena itu, fokus kebijakan harus tetap
pada masalah-masalah struktural, seperti pembangunan infrastruktur dan sumber
daya manusia, serta pembenahan regulasi yang menghambat persaingan usaha.
Banyak inisiatif selama 1,5 tahun ini yang sudah tepat sasaran; tetapi memang
harus sabar karena manfaatnya baru akan terasa tiga, lima, atau bahkan 10
tahun kemudian.
Terkait risiko
turunnya pertumbuhan lapangan kerja dalam jangka pendek, di sinilah
diperlukan tambahan bantalan sosial, selain juga ide-ide "gebrakan"
bila memang ada. Kalau pertumbuhan lapangan kerja di sektor formal tidak
cukup menampung tenaga kerja, pertumbuhan sektor informal harus difasilitasi
dan bahkan dibantu dalam meningkatkan produktivitasnya, misalnya dengan
menggalakkan penggunaan teknologi informasi. (Sektor informal di sini
berkonotasi positif, merujuk pada sektor transportasi perkotaan dan
perdagangan eceran).
Di tengah kondisi
perekonomian dunia yang tidak menentu, sepertinya tak ada jalan pintas menuju
kemakmuran. Yang ada hanya jalan panjang yang harus dilalui agar pembangunan
bisa berkelanjutan, tidak sebentar-sebentar krisis. Kita sudah berada di
jalur yang benar, hanya harus sabar dan konsisten. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar