Pemalsuan Vaksin Balita: Terlalu!
Chairul A Nidom ;
Guru Besar dan Peneliti Vaksin
AIRC – Universitas Airlangga
|
JAWA POS, 26 Juni
2016
Sepertinya Ramadan
kali ini penuh berkah, terbongkarnya kasus pemalsuan vaksin balita.
Sepertinya menjadi puncak tindakan tidak bermoral yang melengkapi berita
pemalsuan komoditas lain. Apalagi, pemalsuan vaksin balita diduga sudah
berlangsung lebih 10 tahun. Suatu prestasi yang luar biasa.
Vaksin dan Peredaran
Vaksin dan vaksinasi
bertujuan untuk mencegah suatu penyakit melalui respons antibodi yang
ditimbulkan tubuh seseorang. Sudah menjadi tujuan bersama, program vaksinasi
menjadi andalan utama untuk pengendalian suatu penyakit di suatu negara.
Kuman yang
dikendalikan terutama virus mengingat tidak ada obat untuk penyakit yang
diakibatkan virus. Tetapi akhir-akhir ini vaksin juga untuk nonvirus,
terutama yang sulit dsembuhkan dengan obat-obatan seperti bakteri TB, toksin,
dan sebagainya.
Komponen vaksin
terdiri atas minimal tiga macam bahan, yaitu kuman/seed vaksin itu sendiri,
pelarut, dan terakhir adjuvant, yaitu suatu senyawa untuk meningkatkan
antibodi tubuh. Ketiganya dicampur menjadi satu dalam suatu formulasi vaksin.
Efektivitas suatu vaksin bergantung pada jenis kuman, teknologi konstruksinya,
serta adjuvant.
Proses penyiapan suatu
vaksin, perlu waktu lama, tidak kurang dari enam tahun, sampai siap
dipasarkan. Waktu ini diperlukan untuk konstruksi kuman/seed, formulasi bakal
vaksin, pengujian pada formulasi, salah satu yang penting adalah uji
toksisitas, uji pre-klinis, sampai uji klinis pada manusia.
Semua proses tersebut
diatur dan dikendalikan oleh WHO. Setiap jenis vaksin mempunyai TRS (technical report series) yang harus
jadi pedoman bagi produsen vaksin, mulai hulu (riset vaksin), sampai siap
menjadi vaksin manusia. Secara regular WHO mengkaji TRS-TRS tersebut, tatkala
dipandang perlu untuk perbaikan proses.
Regulasi yang dibuat
oleh suatu negara, harus mengikuti regulasi yang dibuat oleh WHO yang
bersifat ”tertutup”. Tujuannya semata-mata untuk melindungi keselamatan jiwa
manusia dan lingkungan. Jalur ”tertutup”, mulai produsen/importir, Pedagang
Besar Farmasi (PBF), apotek, sampai tempat dan vaksinatornya, sudah tercatat
semuanya.
Artinya, masyarakat sudah bisa tahu siapa
yang boleh dan tidak boleh. Sehingga tidak bisa sembarangan orang tua membeli
langsung ke apotek dan melakukan vaksinasi sendiri pada balitanya.
Sebuah vaksin, mulai
dari proses produksi, peredarannya, dan aplikasi dilakukan oleh ”pihak-pihak
yang terpelajar” dan melek aturan yang berlaku.
Berbeda dengan dengan
obat-obatan, seseorang bisa melakukan sendiri, bahkan konon obat yang harus
dengan resep bisa diperoleh secara bebas. Tapi tidak dengan vaksin. Semua
ini, mengingat prinsip vaksinasi adalah memasukkan ”kuman yang terukur” ke
dalam tubuh manusia, dengan tujuan akan timbul respons imun yang siap
menangkal suatu penyakit.
Akibat Vaksin Palsu
Vaksin palsu tersebut,
konon berisi antibiotik gentamisin dan cairan infus. Vaksin ini tentu tidak
akan menimbulkan respons imun apapun seperti yang diharapkan. Kalau informasi
ini sahih, tentunya kekhawatiran masih ada, yaitu bahayanya pada fungsi
ginjal balita, apalagi dosis yang diberikan tidak terukur.
Adanya antibiotik ini,
sangat menarik, bisa jadi disengaja diberikan, untuk mencegah tumbuhnya kuman
pembusuk pada pelarut vaksin palsu, untuk mencegah vaksin tidak cepat
rusak/kotor. Juga efek lain, seperti neurotoksisitas dan trombositopenia,
yaitu jumlah trombosit yang menurun.
Kalau vaksin suntik,
maka jarum suntik bisa masalah pada balita, jika pemalsuan termasuk alat
suntiknya. Pada kelompok tertentu suntikan bisa menimbulkan efek yang tidak
ringan, yaitu terjadi proses perdarahan pada lokasi suntikan, akibat robeknya
pembuluh darah oleh jarum suntik. Vaksin balita yang asli akan ditambahkan
bahan untuk mencegah perdarahan, ke dalam formulasi vaksin.
Penyuntikan ini juga
dapat menimbulkan stres pada balita, sehingga kondisi tubuhnya menurun,
akibatnya kuman penyakit bisa menginfeksi tubuh balita tersebut. Pada hewan
coba untuk uji vaksin ini, pengamatan stres sangat penting untuk meloloskan
atau sebaliknya, tidak meloloskan, suatu vaksin.
Para peneliti vaksin
dunia, saat ini sedang sibuk untuk menghasilkan vaksinasi pada balita tanpa
penyuntikan. Ada yang mencoba menggunakan ”vaksin koyo” (vaksin tempel) atau
ukuran jarum sangat kecil, dan sebagainya. Semoga rancangan riset segera
terwujud.
Kita tidak perlu
khawatir terhadap vaksin dan vaksinasi, karena program pencegahan suatu
penyakit jauh lebih baik dibanding dengan program pengobatan. Memang ada
sebagian kecil masyarakat yang menolak program vaksin dan vaksinasi, karena
aspek kehalalannya, dan diharapkan jumlahnya semakin kecil, karena produsen
vaksin dalam negeri sudah memenuhi aspek kehalalan tersebut.
Yang penting, kontrol
terhadap proses produksi dan peredaran suatu vaksin dilakukan secara kontinu.
Jaringan inteligen diminta intensif dalam monitor di lapangan, mengingat yang
dipertaruhkan generasi mendatang dari Bangsa Indonesia.
Awas Aspek Bioterorisme!
Bioterorisme adalah
suatu tindakan yang disengaja dengan menggunakan bahan biologis, virus,
bakteri, atau toksin sebagai senjata. Tujuannya mendapat keuntungan dari
aspek ekonomi, politik, sosial, budaya. Tentunya yang ingin diperoleh adalah
hegemoni satu pihak terhadap pihak lain.
Aspek bioterorisme
yang dikaitkan dengan kasus vaksin palsu ini, bisa dikatakan berlebihan.
Tetapi sangat penting sebagai ”peringatan dini” ditengah ketatnya persaingan
antar pihak yang dimungkinkan menghalalkan segala cara.
Sepertinya produksi
dan peredaran vaksin palsu sudah sangat rapi.
Buktinya setelah
sepuluh tahun baru terbongkar. Apalagi jika sampai ditemukan juga di luar
Jabodetabek. Kita bisa bayangkan bila cairan dalam vaksin palsu diisi dengan
kuman patogen yang sulit dideteksi dengan alat-alat uji konvensional, karena
efek yang ditimbulkan ”diperlambat” Hal ini yang harus diwaspadai, untuk
mengungkap isi vaksin palsu terhadap kuman yang sudah dikenal maupun belum
terdeteksi.
Indonesia sebagai
biodiversity diseases country setiap saat bisa diperoleh berbagai jenis
kuman, baik dari manusia maupun hewan. Celakanya, Indonesia belum punya
regulasi tentang Keamanan dan Keselamatan Laboratorium dan Lingkungan
(Biosafety & Biosecurity act). Oleh karena itu, sebaiknya semua pihak
membongkar kasus ini secara tuntas dari hulu sampai ke hilir. Para balita
yang sudah divaksin dengan vaksin palsu ini, sebaiknya dimonitor intensif.
Kejahatan vaksin palsu
ini bukan persoalan hukum semata, tetapi berkait dengan aspek moral, bisa melebihi
kejahatan seksual pada anak-anak, juga melebihi kejahatan narkoba. Sebab,
vaksin palsu ini bersifat masal dan akibatnya tidak terperkirakan. Tapi, jika
para pemalsu vaksin palsu balita dan para pengedarnya, ternyata semata-mata
bertujuan untuk alasan materi, TERLALU! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar