Kekuasaan Kehakiman
M Ali Zaidan ;
Dosen Ilmu Hukum UPN
"Veteran" Jakarta
|
KOMPAS, 25 Juni 2016
"Power tends to corrupt, absolute power corrupts
absolutely"
Ungkapan Lord Acton di
atas menjadi relevan ketika terjadi berbagai macam bentuk mafia peradilan dan
penyalahgunaan kekuasaan. Memang antara kekuasaan dengan penyalahgunaannya
merupakan dua sisi yang tidak saling menegasikan. Karena itu, pembatasan
terhadapnya merupakan suatu keniscayaan.
Timbulnya gagasan
Trias Politika dilatarbelakangi terjadinya kekuasaan terpusat. Ketika itu
raja sebagai episentrum, memiliki kekuasaan di semua sisi kehidupan politik:
sebagai pembuat, pelaksana hukum, dan pengadil sekaligus.
Kesadaran memberikan
pembatasan timbul setelah terjadinya
tirani kekuasaan, kekuasaan tidak dapat dibiarkan tanpa pembatasan. Semenjak
itu, ajaran pemisahan kekuasaan diterapkan di pelbagai negara dengan berbagai
variasinya, tetapi dengan tujuan agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan.
Kekuasaan yudisial di
Indonesia sebelum reformasi menunjukkan ciri yang ambivalen: secara
administratif merupakan bagian kekuasaan eksekutif dan secara yudisial berada
di bawah Mahkamah Agung (MA) pada sisi lain. Praktis, kedudukan seperti itu
menimbulkan pelbagai tudingan, bahkan cibiran.
Dengan penyatuatapan
kekuasaan kehakiman di bawah MA diharapkan berbagai bentuk intervensi maupun
tirani kekuasaan dapat diakhiri. Meskipun harus dipahami bahwa pemberian
kekuasaan yang penuh pada satu lembaga memiliki risiko terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan di lembaga itu, dan oleh karena itu pengawasan
menjadi kebutuhan tak terelakkan. Pembentukan Komisi Yudisial (KY) merupakan
gagasan agar kekuasaan yudisial tetap dalam batas-batas yang ditetapkan dalam
koridor konstitusi.
Meskipun harus dicatat
pula bahwa optimisme masyarakat pasca perubahan konstitusi tidak berlangsung
lama. Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 telah mencabut kewenangan KY
mengawasi hakim. Pada sisi lain, berbagai rekomendasi yang disampaikan
lembaga itu mayoritas belum direspons oleh MA. Ke depan, diduga gelombang
serangan yang dialamatkan ke KY akan terus terjadi. Di sisi lain
penyalahgunaan kekuasaan yudisial berpotensi akan terus terjadi.
Salah satu penguatan
terhadap KY adalah adanya kewenangan untuk mengeksekusi sendiri keputusan-keputusannya.
Artinya, dalam hal institusi negara itu menemukan adanya pelanggaran kode
etik/perilaku hakim, lembaga itu pula yang diberi kewenangan menjatuhkan
sanksi kepada pelanggarnya, tentu setelah memberikan kesempatan seluas-
luasnya bagi terlapor untuk melakukan pembelaan diri.
Dalam ranah pengawasan maupun rekrutmen
hakim dalam semua tingkatan-termasuk juga promosi dan mutasi-harus dilakukan
secara transparan, khususnya oleh institusi eksternal yang memiliki otoritas
menjalankan kekuasaan itu. Apabila tidak demikian, tingkat subyektivitasnya
begitu tinggi, kelanjutannya patut diduga bahwa berbagai diskriminasi maupun
kesewenang-wenangan berpotensi terjadi.
UUD 1945 dengan tegas
telah menyatakan kewenangan KY untuk melakukan tugas-tugas itu semua. Akan
tetapi, patut disayangkan, kesepakatan ketatanegaraan yang telah diambil
secara bulat justru menjadi bumerang ketika kewenangan itu dijalankan. Telah
berkali-kali kalangan internal hakim mengajukan pengujian terhadap UU KY,
padahal semenjak awal MA memberikan dukungan sepenuhnya agar dibentuk suatu
lembaga eksternal untuk mengawasi kinerja mereka.
Ide demokratisasi di
bidang peradilan ketika itu tengah mencapai puncak keemasannya. Akan tetapi,
romantisisme pun segera berlalu. Kenyataan diamputasinya kewenangan KY untuk
melakukan pengawasan, juga peristiwa dua orang pemimpinnya dikriminalisasi,
merupakan bukti bahwa upaya untuk mewujudkan independence of judiciary terus mengalami tantangan yang hebat.
Di situlah penguatan kewenangan KY sebagaimana digagas dalam RUU Jabatan
Hakim merupakan upaya untuk mengembalikan muruah lembaga itu ke dalam koridor
konstitusional yang telah ditentukan sebelumnya.
Persoalan pembatasan
Kekuasaan peradilan
hanya tunduk pada kekuasaan Tuhan YME. Meski demikian, tidak ada kekuasaan
apa pun dalam negara yang dapat mengintervensinya.
Peradilan hanya
ditujukan guna mewujudkan keadilan dan kebenaran. Pembatasannya adalah hakim
tidak boleh menyimpangi kewenangannya dengan berlindung di balik kekuasaan
absolut guna memberikan keadilan. Pembatasan-pembatasan itu salah satunya
ditetapkan oleh hukum itu sendiri.
Oliver Wendell Holmes,
tokoh realisme Amerika Serikat, menyatakan bahwa hukum pada hakikatnya
merupakan ramalan-ramalan tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan
dalam kenyataannya. Hal itu berarti bahwa putusan hakim harus tunduk pada
rambu-rambu yang ditentukan oleh undang-undang, di samping adanya
keyakinannya hakim sendiri untuk memberikan putusan yang adil. Hukum pada
hakikatnya merupakan norma abstrak yang, di tangan hakim, akan mendapat
bentuk yang konkret.
Ide pembatasan
kekuasaan hakim, baik menyangkut masa jabatan maupun kualitas putusan, harus
diletakkan dalam bingkai untuk sebesar-besarnya memberikan keadilan. Dalam sebuah negara
demokratis, tidak ada satu kekuasaan pun yang tidak ditentukan batas-batasnya
kekuasaannya, termasuk juga masa pengakhirannya.
Gagasan pembatasan
kewenangan hendaklah dibaca dalam konteks checks and balances system yang
tengah dibangun di tengah gelombang
korupsi dan kolusi yang tengah melanda lembaga peradilan saat ini guna
terwujudnya peradilan yang berwibawa. Kewibawaan lembaga peradilan hanya
dapat dicapai jika prasyarat dilakukan pembatasan kekuasaan, termasuk
pengawasan yang efektif disertai mekanisme reward dan punishment bagi
siapa pun tanpa diskriminasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar