Sabtu, 25 Juni 2016

Balada Kilang Swasta

Balada Kilang Swasta

Junaidi Albab Setiawan ;   Advokat; Pengamat Hukum Migas
                                                         KOMPAS, 24 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bagi negara yang masih mengandalkan bahan bakar migas sebagai sumber energi utama, seperti Indonesia, keberadaan kilang sangat penting. Jalan terbaik untuk mendapatkan bahan bakar migas dengan harga yang ekonomis adalah dengan mengolah sendiri minyak mentah yang dihasilkan dari sumur minyak dalam negeri ataupun dari impor, dengan menggunakan kilang minyak milik sendiri.

Kilang minyak (oil refinery) adalah fasilitas industri yang mengolah minyak mentah menjadi produk petroleum yang bisa langsung digunakan, ataupun produk-produk lain yang menjadi bahan baku bagi industri petrokimia. Kilang minyak menghasilkan produk-produk, antara lain, minyak nafta, bensin (gasoline), solar (Automotive Diesel Oil), minyak tanah (kerosene), dan elpiji. Kilang minyak merupakan fasilitas industri yang sangat kompleks dengan berbagai jenis peralatan dan fasilitas pendukung. Semakin tinggi kualifikasi produk yang dihasilkan, semakin rumit proses pengadaannya, semisal aviation kerosene (avtur) dan aviation gasoline yang menjadi bahan bakar pesawat jet yang diproduksi dengan standar ketat. Kegiatan kilang meliputi penyulingan (destilasi), pengubahan struktur (konversi), pengolahan (treatment), serta formulasi dan pencampuran (blending). Kilang minyak merupakan salah satu bagian hilir (down stream) paling penting pada industri migas (Leffler WL, 1984).

Hingga saat ini, Indonesia masih sangat bergantung kepada bahan bakar migas. Untuk tahun ini saja, konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri sudah di atas 1,5 juta barrel per hari (bph), sementara produksinya di bawah 800.000 bph. Untuk menutupi kebutuhan itu, negara menghabiskan 150 juta dollar AS atau Rp 1,95 triliun per hari untuk impor BBM. Berdasarkan analisis proyeksi Kementerian ESDM, kebutuhan BBM (tidak termasuk biofuel) diproyeksikan justru akan terus meningkat rata-rata 3,18 persen per tahun selama periode 2006-2030. Konsumsi bensin dan solar tumbuh rata-rata 5,68 persen dan 2,18 persen per tahun, sedangkan konsumsi minyak tanah turun rata-rata 2,97 persen per tahun.

Dari sisi pengguna, sektor transportasi tumbuh rata-rata 5 persen per tahun dan sektor pertanian, konstruksi, dan pertambangan) tumbuh rata-rata 5,31 persen per tahun. Peningkatan itu juga dipengaruhi pertambahan penduduk dan perkembangan industri. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pemerintah melakukan percepatan pembangunan kilang di dalam negeri, dengan skenario pembangunan kilang baru dan pengembangan yang sudah ada.

Indonesia dengan luas wilayah 1.990.250 kilometer persegi dan jumlah penduduk 254,9 juta jiwa, saat ini telah menjadi importir neto karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bahan bakar migas. Indonesia hanya memiliki tujuh kilang, yakni Kilang Pangkalan Brandan dengan kapasitas 5.000 bph, yang ditutup sejak awal 2007; Kilang Dumai dan Sei Pakning (127.000 bph dan 50.000 bph), Kilang Plaju (145.000 bph), Kilang Cilacap (548.000 bph), Kilang Balikpapan (266.000 bph), Kilang Balongan (125.000 bph), Kilang Pusdiklat Migas Cepu Jawa Tengah (45.000 bph), dan Kilang Sorong Papua Barat (10.000 bph). Jumlah ini tentu belum cukup. Masih diperlukan banyak kilang dan tentu tak seluruhnya dapat dipenuhi oleh negara. Diperlukan partisipasi swasta.

Posisi pemerintah

Sekalipun agak terlambat, baru pada pemerintahan Joko Widodo disadari betapa pentingnya membangun kilang. Terlihat berbagai upaya serius ke arah pemenuhan kebutuhan migas yang efisien dilakukan, di antaranya menerbitkan Perpres Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pembangunan Kilang, yang menempatkan PT Pertamina (Persero) sebagai penanggung jawab kegiatan dan pengawasan pembangunan.

Berdasarkan ketentuan itu pula, pembangunan kilang kini terbuka untuk swasta dengan pola kerja sama yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya swasta dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak. Saat ini, pemerintah juga tengah menggodok peraturan tentang usaha "kilang mini" dengan kapasitas maksimal 20.000 bph.

Pemerintah juga giat mengajak perusahaan luar untuk berinvestasi membangun kilang di Indonesia. Seperti untuk Kilang Tuban Jawa Timur, pemerintah/Pertamina berhasil menggandeng Rosneft, perusahaan minyak Rusia penghasil minyak mentah terbesar di dunia, yang berkomitmen berinvestasi hingga 13 miliar dollar AS. Harapannya, selain kilang terbangun, juga terjamin pasokan bahan baku minyak mentah bagi kilang.

Pilihan Indonesia untuk membuka diri dan menggiatkan pembangunan kilang adalah pilihan yang wajar. Pilihan itu diambil di tengah situasi ekonomi sulit dengan pertumbuhan ekonomi di kuartal I- 2016 tercatat 4,92 persen atau tidak sampai 5 persen. Hal itu salah satunya diakibatkan oleh penurunan harga minyak dunia sehingga dalam APBN Perubahan 2016 pemerintah merevisi target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari SDA Migas dari Rp 78,6 triliun menjadi Rp 28,4 triliun, padahal migas merupakan andalan untuk mendongkrak produk domestik bruto (PDB). Selain itu, faktor pelambatan ekonomi yang terjadi di Tiongkok dalam tiga tahun terakhir juga berpengaruh bagi Indonesia, sebagaimana terlihat di antaranya dari ambruknya pertambangan batubara akibat sepinya permintaan dan rendahnya harga serta rontoknya industri pelayaran nasional.

Meski demikian, pembangunan kilang harus memperhatikan segi peraturan dasar dan segi kontinuitas pasokan. Dari segi peraturan dasar, kita menentukan bahwa migas adalah komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak, begitu pun pengolahannya termasuk dalam kategori cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka harus dikuasai oleh negara. Sekalipun pembangunan kilang kini terbuka untuk swasta dan syarat impor menurut Peraturan Menteri Perdagangan No 3/M-DAG/PER/1-2015 juga dipermudah, pemerintah harus berpegang pada prinsip utama bahwa penguasaan dan penggunaan bahan bakar migas harus tetap dalam kendali negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar. Salah satu penerapan "pengendalian negara" tersebut juga harus tecermin dari mekanisme kontrol hasil produksi dan kepemilikan saham yang menempatkan negara/BUMN memegang saham mayoritas.

Segi lainnya, bisnis kilang sangat bergantung pasokan bahan baku berupa minyak mentah. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara penghasil migas, seperti Iran, yang memiliki cadangan minyak melimpah dan baru saja bebas dari embargo ekonomi oleh Barat, untuk memasok minyak mentah sekaligus berinvestasi membangun kilang di Indonesia. Cara itu akan menjamin keberlangsungan pasokan minyak mentah dalam jangka panjang, selain tentu akan mendapatkan harga murah karena tanpa perlu melalui trader dari Singapura yang selama ini menjadi benalu dalam pengadaan migas.

Pengalaman kilang swasta

Sungguh tidak mudah bagi swasta membangun kilang di Indonesia. Selain biaya investasi yang tinggi, juga karena kompleksitas regulasi dan hambatan dari mafia migas yang selama ini menikmati skema pengadaan migas negara dari impor. Selain itu, untuk menjamin keberlangsungan produksi jangka panjang, pembangunan kilang juga akan menghadapi problem utama berupa ketidakpastian pasokan bahan baku.

Sebagai contoh kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban yang saat ini diseret ke ranah hukum korupsi. Jika dilihat dari gambaran kompleksitas di atas, inisiatif TPPI membangun kompleks petrokimia terpadu yang terdiri dari Kilang Olefin dan Kilang Aromatic pada 1995 merupakan inisiatif berani di tengah kebijakan pengelolaan migas dan kuasa pertambangan migas yang dimonopoli Pertamina. Negara seharusnya berkepentingan terhadap langkah swasta itu dan menunjukkan keberpihakannya.

Kilang TPPI memerlukan bahan baku berupa kondensat asal dalam negeri. Kondensat adalah produk sampingan yang dihasilkan dari ladang-ladang gas di dalam negeri. Saat itu proyek dibangun dengan biaya 800 juta dollar AS (377 juta dollar AS modal sendiri, 248 juta dollar AS dari JGC, dan 175 juta dollar AS dari Stone&Webster). Sekalipun kilang dibangun dengan utang, tidak ada dana negara di situ dan kilang dapat berdiri dan berproduksi.

Situasi menjadi berbalik ketika terjadi krisis ekonomi 1998 dan melahirkan UU migas baru, yakni UU No 22/2001 yang mencabut kuasa pertambangan dari Pertamina dan diserahkan kepada BP Migas, kemudian mayoritas saham TPPI juga diambil alih negara. Untuk selanjutnya TPPI seperti "pelanduk" dalam perang dingin antara Pertamina dan BP Migas. Bahan baku berupa kondensat hanya bisa didapat TPPI dari BP Migas sebagai penguasa hulu, sementara untuk menjual hasil olahannya berupa bahan bakar migas, TPPI hanya bisa melalui BPH Migas/Pertamina sebagai penguasa hilir, pemegang mandat public service obligation (PSO) dari negara.

Sekalipun kepemilikan TPPI saat itu mayoritas di tangan negara (Tuban Petro/Depkeu 59,5 persen, Pertamina 15 persen)-bahkan pemerintah dan Pertamina menempatkan orangnya di kepengurusan TPPI, ditambah upaya pemerintah mempertemukan "segi tiga" pengusaha, penguasa hulu dan penguasa hilir dalam rapat di Istana Wapres, 21 Mei 2008, dengan tujuan menyelamatkan TPPI agar negara dapat manfaat dari kilang yang berkapasitas besar dan strategis bagi negara tersebut-tetapi berbagai upaya penyelamatan itu tetap gagal karena perbedaan perspektif dan berdampak pada ketiadaan pasokan bahan baku dan sulitnya pemasaran.

Kasus TPPI memberi pelajaran bagi swasta bahwa membangun kilang di Indonesia tanpa perlindungan nyata dari negara akan sia-sia, karena membangun kilang adalah investasi jangka panjang yang memproduksi komoditas yang langsung di bawah kendali negara. Selain menghadapi risiko ekonomi, juga menghadapi risiko politik dan perubahan regulasi. Oleh karena itu, sekalipun saat ini negara menawarkan kemudahan, bahkan insentif kepada pengusaha kilang swasta, sebaliknya pengusaha swasta tetap waspada. Yang diperlukan oleh swasta adalah komitmen nyata negara berupa jaminan mendapatkan pasokan bahan baku atau diizinkan impor sendiri dengan pengawasan negara, serta pemasaran yang terjamin. Jika tidak, kilang swasta hanya akan menjadi bangunan megah tanpa makna, sekalipun sebenarnya negara sangat membutuhkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar