Balada Kilang Swasta
Junaidi Albab Setiawan ;
Advokat; Pengamat Hukum Migas
|
KOMPAS, 24 Juni 2016
Bagi negara yang masih
mengandalkan bahan bakar migas sebagai sumber energi utama, seperti
Indonesia, keberadaan kilang sangat penting. Jalan terbaik untuk mendapatkan
bahan bakar migas dengan harga yang ekonomis adalah dengan mengolah sendiri
minyak mentah yang dihasilkan dari sumur minyak dalam negeri ataupun dari
impor, dengan menggunakan kilang minyak milik sendiri.
Kilang minyak (oil refinery) adalah fasilitas
industri yang mengolah minyak mentah menjadi produk petroleum yang bisa
langsung digunakan, ataupun produk-produk lain yang menjadi bahan baku bagi
industri petrokimia. Kilang minyak menghasilkan produk-produk, antara lain,
minyak nafta, bensin (gasoline), solar (Automotive Diesel Oil), minyak tanah
(kerosene), dan elpiji. Kilang minyak merupakan fasilitas industri yang
sangat kompleks dengan berbagai jenis peralatan dan fasilitas pendukung.
Semakin tinggi kualifikasi produk yang dihasilkan, semakin rumit proses
pengadaannya, semisal aviation kerosene (avtur) dan aviation gasoline yang
menjadi bahan bakar pesawat jet yang diproduksi dengan standar ketat.
Kegiatan kilang meliputi penyulingan (destilasi), pengubahan struktur
(konversi), pengolahan (treatment),
serta formulasi dan pencampuran (blending).
Kilang minyak merupakan salah satu bagian hilir (down stream) paling penting pada industri migas (Leffler WL,
1984).
Hingga saat ini,
Indonesia masih sangat bergantung kepada bahan bakar migas. Untuk tahun ini
saja, konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri sudah di atas 1,5 juta barrel
per hari (bph), sementara produksinya di bawah 800.000 bph. Untuk menutupi
kebutuhan itu, negara menghabiskan 150 juta dollar AS atau Rp 1,95 triliun
per hari untuk impor BBM. Berdasarkan analisis proyeksi Kementerian ESDM,
kebutuhan BBM (tidak termasuk biofuel) diproyeksikan justru akan terus
meningkat rata-rata 3,18 persen per tahun selama periode 2006-2030. Konsumsi
bensin dan solar tumbuh rata-rata 5,68 persen dan 2,18 persen per tahun,
sedangkan konsumsi minyak tanah turun rata-rata 2,97 persen per tahun.
Dari sisi pengguna,
sektor transportasi tumbuh rata-rata 5 persen per tahun dan sektor pertanian,
konstruksi, dan pertambangan) tumbuh rata-rata 5,31 persen per tahun.
Peningkatan itu juga dipengaruhi pertambahan penduduk dan perkembangan
industri. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pemerintah melakukan percepatan
pembangunan kilang di dalam negeri, dengan skenario pembangunan kilang baru
dan pengembangan yang sudah ada.
Indonesia dengan luas
wilayah 1.990.250 kilometer persegi dan jumlah penduduk 254,9 juta jiwa, saat
ini telah menjadi importir neto karena ketergantungan yang sangat tinggi
terhadap bahan bakar migas. Indonesia hanya memiliki tujuh kilang, yakni
Kilang Pangkalan Brandan dengan kapasitas 5.000 bph, yang ditutup sejak awal
2007; Kilang Dumai dan Sei Pakning (127.000 bph dan 50.000 bph), Kilang Plaju
(145.000 bph), Kilang Cilacap (548.000 bph), Kilang Balikpapan (266.000 bph),
Kilang Balongan (125.000 bph), Kilang Pusdiklat Migas Cepu Jawa Tengah
(45.000 bph), dan Kilang Sorong Papua Barat (10.000 bph). Jumlah ini tentu
belum cukup. Masih diperlukan banyak kilang dan tentu tak seluruhnya dapat
dipenuhi oleh negara. Diperlukan partisipasi swasta.
Posisi pemerintah
Sekalipun agak
terlambat, baru pada pemerintahan Joko Widodo disadari betapa pentingnya
membangun kilang. Terlihat berbagai upaya serius ke arah pemenuhan kebutuhan
migas yang efisien dilakukan, di antaranya menerbitkan Perpres Nomor 146 Tahun
2015 tentang Pembangunan Kilang, yang menempatkan PT Pertamina (Persero)
sebagai penanggung jawab kegiatan dan pengawasan pembangunan.
Berdasarkan ketentuan
itu pula, pembangunan kilang kini terbuka untuk swasta dengan pola kerja sama
yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya swasta dengan
memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak. Saat ini, pemerintah
juga tengah menggodok peraturan tentang usaha "kilang mini" dengan
kapasitas maksimal 20.000 bph.
Pemerintah juga giat
mengajak perusahaan luar untuk berinvestasi membangun kilang di Indonesia.
Seperti untuk Kilang Tuban Jawa Timur, pemerintah/Pertamina berhasil
menggandeng Rosneft, perusahaan minyak Rusia penghasil minyak mentah terbesar
di dunia, yang berkomitmen berinvestasi hingga 13 miliar dollar AS.
Harapannya, selain kilang terbangun, juga terjamin pasokan bahan baku minyak
mentah bagi kilang.
Pilihan Indonesia
untuk membuka diri dan menggiatkan pembangunan kilang adalah pilihan yang
wajar. Pilihan itu diambil di tengah situasi ekonomi sulit dengan pertumbuhan
ekonomi di kuartal I- 2016 tercatat 4,92 persen atau tidak sampai 5 persen.
Hal itu salah satunya diakibatkan oleh penurunan harga minyak dunia sehingga
dalam APBN Perubahan 2016 pemerintah merevisi target Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) dari SDA Migas dari Rp 78,6 triliun menjadi Rp 28,4 triliun,
padahal migas merupakan andalan untuk mendongkrak produk domestik bruto
(PDB). Selain itu, faktor pelambatan ekonomi yang terjadi di Tiongkok dalam
tiga tahun terakhir juga berpengaruh bagi Indonesia, sebagaimana terlihat di
antaranya dari ambruknya pertambangan batubara akibat sepinya permintaan dan
rendahnya harga serta rontoknya industri pelayaran nasional.
Meski demikian,
pembangunan kilang harus memperhatikan segi peraturan dasar dan segi
kontinuitas pasokan. Dari segi peraturan dasar, kita menentukan bahwa migas
adalah komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak, begitu pun
pengolahannya termasuk dalam kategori cabang produksi penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka harus dikuasai oleh negara.
Sekalipun pembangunan kilang kini terbuka untuk swasta dan syarat impor
menurut Peraturan Menteri Perdagangan No 3/M-DAG/PER/1-2015 juga dipermudah,
pemerintah harus berpegang pada prinsip utama bahwa penguasaan dan penggunaan
bahan bakar migas harus tetap dalam kendali negara, bukan diserahkan kepada
mekanisme pasar. Salah satu penerapan "pengendalian negara"
tersebut juga harus tecermin dari mekanisme kontrol hasil produksi dan
kepemilikan saham yang menempatkan negara/BUMN memegang saham mayoritas.
Segi lainnya, bisnis
kilang sangat bergantung pasokan bahan baku berupa minyak mentah. Oleh karena
itu, penting bagi Indonesia untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara
penghasil migas, seperti Iran, yang memiliki cadangan minyak melimpah dan
baru saja bebas dari embargo ekonomi oleh Barat, untuk memasok minyak mentah
sekaligus berinvestasi membangun kilang di Indonesia. Cara itu akan menjamin
keberlangsungan pasokan minyak mentah dalam jangka panjang, selain tentu akan
mendapatkan harga murah karena tanpa perlu melalui trader dari Singapura yang
selama ini menjadi benalu dalam pengadaan migas.
Pengalaman kilang swasta
Sungguh tidak mudah
bagi swasta membangun kilang di Indonesia. Selain biaya investasi yang
tinggi, juga karena kompleksitas regulasi dan hambatan dari mafia migas yang
selama ini menikmati skema pengadaan migas negara dari impor. Selain itu,
untuk menjamin keberlangsungan produksi jangka panjang, pembangunan kilang juga
akan menghadapi problem utama berupa ketidakpastian pasokan bahan baku.
Sebagai contoh kilang
PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban yang saat ini diseret
ke ranah hukum korupsi. Jika dilihat dari gambaran kompleksitas di atas,
inisiatif TPPI membangun kompleks petrokimia terpadu yang terdiri dari Kilang
Olefin dan Kilang Aromatic pada 1995 merupakan inisiatif berani di tengah
kebijakan pengelolaan migas dan kuasa pertambangan migas yang dimonopoli
Pertamina. Negara seharusnya berkepentingan terhadap langkah swasta itu dan
menunjukkan keberpihakannya.
Kilang TPPI memerlukan
bahan baku berupa kondensat asal dalam negeri. Kondensat adalah produk
sampingan yang dihasilkan dari ladang-ladang gas di dalam negeri. Saat itu
proyek dibangun dengan biaya 800 juta dollar AS (377 juta dollar AS modal
sendiri, 248 juta dollar AS dari JGC, dan 175 juta dollar AS dari
Stone&Webster). Sekalipun kilang dibangun dengan utang, tidak ada dana
negara di situ dan kilang dapat berdiri dan berproduksi.
Situasi menjadi
berbalik ketika terjadi krisis ekonomi 1998 dan melahirkan UU migas baru,
yakni UU No 22/2001 yang mencabut kuasa pertambangan dari Pertamina dan
diserahkan kepada BP Migas, kemudian mayoritas saham TPPI juga diambil alih
negara. Untuk selanjutnya TPPI seperti "pelanduk" dalam perang
dingin antara Pertamina dan BP Migas. Bahan baku berupa kondensat hanya bisa
didapat TPPI dari BP Migas sebagai penguasa hulu, sementara untuk menjual
hasil olahannya berupa bahan bakar migas, TPPI hanya bisa melalui BPH
Migas/Pertamina sebagai penguasa hilir, pemegang mandat public service obligation (PSO) dari negara.
Sekalipun kepemilikan
TPPI saat itu mayoritas di tangan negara (Tuban Petro/Depkeu 59,5 persen,
Pertamina 15 persen)-bahkan pemerintah dan Pertamina menempatkan orangnya di
kepengurusan TPPI, ditambah upaya pemerintah mempertemukan "segi
tiga" pengusaha, penguasa hulu dan penguasa hilir dalam rapat di Istana
Wapres, 21 Mei 2008, dengan tujuan menyelamatkan TPPI agar negara dapat
manfaat dari kilang yang berkapasitas besar dan strategis bagi negara
tersebut-tetapi berbagai upaya penyelamatan itu tetap gagal karena perbedaan
perspektif dan berdampak pada ketiadaan pasokan bahan baku dan sulitnya
pemasaran.
Kasus TPPI memberi
pelajaran bagi swasta bahwa membangun kilang di Indonesia tanpa perlindungan
nyata dari negara akan sia-sia, karena membangun kilang adalah investasi
jangka panjang yang memproduksi komoditas yang langsung di bawah kendali
negara. Selain menghadapi risiko ekonomi, juga menghadapi risiko politik dan
perubahan regulasi. Oleh karena itu, sekalipun saat ini negara menawarkan
kemudahan, bahkan insentif kepada pengusaha kilang swasta, sebaliknya
pengusaha swasta tetap waspada. Yang diperlukan oleh swasta adalah komitmen
nyata negara berupa jaminan mendapatkan pasokan bahan baku atau diizinkan
impor sendiri dengan pengawasan negara, serta pemasaran yang terjamin. Jika
tidak, kilang swasta hanya akan menjadi bangunan megah tanpa makna, sekalipun
sebenarnya negara sangat membutuhkannya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar