Prospek dan Tantangan Parpol Baru
M Alfan Alfian ;
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Nasional, Jakarta
|
KORAN SINDO, 15 Juni
2016
Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melalui Direktorat Jenderal Administrasi
Hukum Umum (AHU) telah membuka pendaftaran dan verifikasi untuk partai
politik baru sejak 25 Mei 2016 dan akan berakhir pada 29 Juli 2016.
Sebagaimana ditetapkan
dalam peraturan perundangundangan terkait, badan hukum merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi parpol ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU)
melakukan verifikasi sebelum dinyatakan sah sebagai peserta Pemilu 2019.
Menurut Menkumham Yasonna H Laoly, verifikasi parpol untuk Pemilu 2019 harus
dilakukan paling lambat dua setengah tahun sebelum pelaksanaan pemilu.
Hal itu sesuai dengan
amanat Pasal 51 ayat 1a Undang-Undang Nomor 2/ 2011 tentang Partai Politik
yang terakhir diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-lX/2011.
Di sisi lain, ketentuan yang ada menyebutkan syarat yang harus dipenuhi
setiap parpol baru adalah memiliki akta notaris, punya domisili kantor, dan
melengkapi pengurus di setiap tingkatan daerah (DPW, DPD, DPC).
Bahwa setiap parpol
harus memiliki kepengurusan seratus persen di tingkat provinsi, tujuh puluh
lima persen tingkat kabupaten/ kota, dan lima puluh persen di tingkat
kecamatan. Syarat terakhir itu barangkali yang paling berat untuk dipenuhi
oleh parpol baru. Kendatipun berat, ia tak menyurutkan niat kelompok-kelompok
masyarakat yang hendak mendirikan parpol, guna menyemarakkan Pemilu 2019.
Beberapa nama parpol
baru telah lahir, antara lain Partai Perindo, Partai Rakyat, Partai Pribumi,
Partai Idaman, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Indonesia Kerja, dan
Partai Beringin Karya. Menurut Menkumham, jumlah yang akan diverifikasi
mencapai lima belas parpol. Jumlah tersebut tentu cukup banyak.
Apabila semua lolos
dan dapat ikut pemilu, ditambah dengan parpol yang sudah ada, maka dapat
dicatat bahwa sistem kepartaian di Indonesia tidak semakin sederhana,
melainkan cukup ekstrem. Namun, tentu saja pemerintah tidak dapat melakukan
rekayasa penyederhanaan sistem kepartaian sebagaimana dilakukan oleh Orde
Baru ketika mengondisikan fusi parpol 1973.
Sekarang ini,
seleksinya bersifat alamiah-demokratis. Sistem bisa memperkecil jumlah
parpol, tetapi bukan dalam konteks pemaksaan, melainkan seleksi melalui
kompetisi elektoral. Misalnya, dengan meningkatkan ketentuan persentase
ambang batas parlemen (parliamentary
threshold).
Pengalaman sejarah
Sejarah parpol di
Indonesia dapat ditarik jauh ke belakang. Tercatat, Indische Partij (IP)
merupakan organisasi pertama kali di Hindia Belanda yang terang-terangan
menyebut dirinya parpol. Pada dekade 1920-an, muncul Partai Komunis Indonesia
sebagai kelanjutan dari ISDV. Juga ada Partai Nasional Indonesia.
Tetapi, proto-parpol
atau organisasi yang sejatinya juga bergerak ke aktivitas politik pada masa
pergerakan nasional itu, tak hanya yang menamakan dirinya parpol. Sarekat
Islam (SI) merupakan gerakan politik yang memperoleh respons luas dari
masyarakat. Kendati pemerintah kolonial Belanda membuat lembaga perwakilan
(volksraad), para anggotanya ditunjuk.
Mereka yang ikut
sebagai anggota Volksraad lazim disebut kelompok aktivis kooperatif, untuk
membedakan dengan yang nonkooperatif. Tak ada pemilu. Tetapi tirisan penting
dari semua organisasi pergerakan ialah kesamaan cita-cita, yakni merebut
kemerdekaan.
Ketika Indonesia
merdeka dan Wapres Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat 3 November 1945 yang
intinya ialah mengundang masyarakat untuk mendirikan parpol, sambutan yang
ada mencerminkan kelanjutan saja dari sejarah perjuangan politik masa
kolonial. Lanskap dan peta politik (ideologis) yang ada, tak lepas dari
pengalaman sebelumnya. Tapi pada perkembangannya, sejarah mereka juga tak
lepas dari ”perpecahan”.
Pada 1947 Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII) memisah dari Masyumi. Tiga tahun sebelum
Pemilu pertama kali pascakemerdekaan (1955), Nahdlatul Ulama (NU) berdiri
sebagai parpol sendiri dan tak lagi menjadi bagiannya Masyumi. Namun, sejarah
kepartaian kita juga tak lepas dari proses seleksi yang disebabkan faktor
pemerintah.
Sebelum ada fusi
parpol 1973 semasa Orde Baru yang meringkas jumlah parpol menjadi dua (PPP
dan PDI), mengingat Golkar tak disebut sebagai parpol dalam perundangundangan
yang ada, pada masa Demokrasi Terpimpin parpol yang eksis tinggal sepuluh
saja. Pada 1960, Masyumi dan PSI karena menolak meneken aturan yang dibikin
rezim yang ada, otomatis dinyatakan bubar.
Faktor pemerintah
ialah yang paling utama dalam memunculkan kekuatan politik baru pascatransisi
politik 1965. Sekber Golkar, suatu himpunan organisasi antikomunis yang
dimobilisasi angkatan darat yang diresmikan pada 1964 pun dimunculkan sebagai
”parpol baru” oleh Soeharto. Pada Pemilu 1971, Sekber Golkar diikutkan
sebagai kontestan, dan menang. Pada 1977, dua parpol baru, PPP dan PDI hasil
fusi parpol-parpol 1973, pertama kali berlaga dalam kancah elektoral.
Hingga pemilu terakhir
Orde Baru, dua parpol itu selalu dalam posisi yang tetap, PPP di urutan
kedua, PDI di urutan ketiga. Pemenangnya selalu Golkar. Pada masa transisi
parpol-parpol era Orde Baru diuji sejarah. Semuanya ”terpecah” dan punya
kisah prestasi elektoral masing-masing. Golkar merupakan parpol fenomenal.
Rezim Orde Baru jatuh,
tetapi ia di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung selamat, bahkan menjadi
pemenang pemilu pada 2004. PPP tetap eksis. PDI pada hakikatnya telah
bertransformasi menjadi PDIP, dengan kekuatan tokoh Megawati Soekarnoputri
ialah yang paling moncer pada Pemilu 1999.
Mereka masih eksis
hingga kini. Merujukpada pengalamanPemilu 2014, di ranah politik Islam, PPP
bersaing dalam ”captive market” yang cukup ketat terutama melawan PKB, PAN,
dan PKS. Di ranah partai terbuka (catch-all)
persaingannya makin tajam dengan adanya Partai Demokrat, Gerindra, Hanura,
dan Nasional Demokrat (NasDem).
Tokoh dan Gagasan
Merujuk pengalaman
Partai NasDem sebagai parpol baru pada Pemilu 2014, dapat dicatat bahwa
strategi dan langkah politiknya cukup efektif sehingga lolos ke parlemen. Hal
serupa pernah ditunjukkan Partai Demokrat pada Pemilu 2004, Gerindra dan
Hanura pada Pemilu 2009. Pada Pemilu 2019, lantas, bagaimana prospek
parpol-parpol baru?
Merujuk pada
pengalaman ada dua hal yang penting untuk dicatat, apakah parpol-parpol baru
itu ada tokoh populis yang menjadi simbol alternatif? Selanjutnya, adakah
gagasan-gagasan baru yang memikat ditawarkan? Apakah Hary Tanoesoedibjo
(Partai Perindo), RhomaIrama( PartaiIdaman), Grace Natalie (PSI), dan yang
lain akan mampu menjadi seperti Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat
pada 2004 atau Prabowo Subianto pada 2009?
Seberapa besar rumus
tokoh menarik gerbong partainya? Terkait yang kedua memang tampaknya menjadi
kurang begitu penting ketika karakter masyarakat pemilu Indonesia masih cukup
pragmatis, kalau bukan transaksional. Tetapi, tampaknya tak boleh diabaikan
juga, karena bisa jadi peluang. Kekuatan gagasan sesungguhnya melekat pada
apa kekhususan yang ditawarkan oleh tokoh-tokoh parpol.
Parpol-parpol baru
mungkin bisa jauh kalah langkah ketimbang yang sudah mapan. Tetapi manakala
yang mapan stagnan dalam hal gagasan, tentu kondisi demikian memberi peluang
bagi yang baru, yang punya alternatif gagasan. Tetapi, tetap saja hal yang
tak mungkin diabaikan juga ialah kecepatan membentuk jaringan dan sosialisasi
melalui pemanfaatan media massa, baik yang konvensional maupun sosial media.
Tokoh dan gagasan
tidak akan bermanfaat kalau tak segera berubah menjadi jaringan dan gerakan.
Kesimpulan tulisan ini sederhana saja. Parpol baru tentu penuh tantangan.
Tetapi, peluang mereka untuk memperoleh kursi di parlemen dan berkiprah di
pemerintahan pasca Pemilu 2019, cukup terbuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar