Minggu, 26 Juni 2016

Prospek dan Tantangan Parpol Baru

Prospek dan Tantangan Parpol Baru

M Alfan Alfian ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
                                                   KORAN SINDO, 15 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) telah membuka pendaftaran dan verifikasi untuk partai politik baru sejak 25 Mei 2016 dan akan berakhir pada 29 Juli 2016.

Sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan terkait, badan hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi parpol ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan verifikasi sebelum dinyatakan sah sebagai peserta Pemilu 2019. Menurut Menkumham Yasonna H Laoly, verifikasi parpol untuk Pemilu 2019 harus dilakukan paling lambat dua setengah tahun sebelum pelaksanaan pemilu.

Hal itu sesuai dengan amanat Pasal 51 ayat 1a Undang-Undang Nomor 2/ 2011 tentang Partai Politik yang terakhir diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-lX/2011. Di sisi lain, ketentuan yang ada menyebutkan syarat yang harus dipenuhi setiap parpol baru adalah memiliki akta notaris, punya domisili kantor, dan melengkapi pengurus di setiap tingkatan daerah (DPW, DPD, DPC).

Bahwa setiap parpol harus memiliki kepengurusan seratus persen di tingkat provinsi, tujuh puluh lima persen tingkat kabupaten/ kota, dan lima puluh persen di tingkat kecamatan. Syarat terakhir itu barangkali yang paling berat untuk dipenuhi oleh parpol baru. Kendatipun berat, ia tak menyurutkan niat kelompok-kelompok masyarakat yang hendak mendirikan parpol, guna menyemarakkan Pemilu 2019.

Beberapa nama parpol baru telah lahir, antara lain Partai Perindo, Partai Rakyat, Partai Pribumi, Partai Idaman, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Indonesia Kerja, dan Partai Beringin Karya. Menurut Menkumham, jumlah yang akan diverifikasi mencapai lima belas parpol. Jumlah tersebut tentu cukup banyak.

Apabila semua lolos dan dapat ikut pemilu, ditambah dengan parpol yang sudah ada, maka dapat dicatat bahwa sistem kepartaian di Indonesia tidak semakin sederhana, melainkan cukup ekstrem. Namun, tentu saja pemerintah tidak dapat melakukan rekayasa penyederhanaan sistem kepartaian sebagaimana dilakukan oleh Orde Baru ketika mengondisikan fusi parpol 1973.

Sekarang ini, seleksinya bersifat alamiah-demokratis. Sistem bisa memperkecil jumlah parpol, tetapi bukan dalam konteks pemaksaan, melainkan seleksi melalui kompetisi elektoral. Misalnya, dengan meningkatkan ketentuan persentase ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Pengalaman sejarah

Sejarah parpol di Indonesia dapat ditarik jauh ke belakang. Tercatat, Indische Partij (IP) merupakan organisasi pertama kali di Hindia Belanda yang terang-terangan menyebut dirinya parpol. Pada dekade 1920-an, muncul Partai Komunis Indonesia sebagai kelanjutan dari ISDV. Juga ada Partai Nasional Indonesia.

Tetapi, proto-parpol atau organisasi yang sejatinya juga bergerak ke aktivitas politik pada masa pergerakan nasional itu, tak hanya yang menamakan dirinya parpol. Sarekat Islam (SI) merupakan gerakan politik yang memperoleh respons luas dari masyarakat. Kendati pemerintah kolonial Belanda membuat lembaga perwakilan (volksraad), para anggotanya ditunjuk.

Mereka yang ikut sebagai anggota Volksraad lazim disebut kelompok aktivis kooperatif, untuk membedakan dengan yang nonkooperatif. Tak ada pemilu. Tetapi tirisan penting dari semua organisasi pergerakan ialah kesamaan cita-cita, yakni merebut kemerdekaan.

Ketika Indonesia merdeka dan Wapres Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat 3 November 1945 yang intinya ialah mengundang masyarakat untuk mendirikan parpol, sambutan yang ada mencerminkan kelanjutan saja dari sejarah perjuangan politik masa kolonial. Lanskap dan peta politik (ideologis) yang ada, tak lepas dari pengalaman sebelumnya. Tapi pada perkembangannya, sejarah mereka juga tak lepas dari ”perpecahan”.

Pada 1947 Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) memisah dari Masyumi. Tiga tahun sebelum Pemilu pertama kali pascakemerdekaan (1955), Nahdlatul Ulama (NU) berdiri sebagai parpol sendiri dan tak lagi menjadi bagiannya Masyumi. Namun, sejarah kepartaian kita juga tak lepas dari proses seleksi yang disebabkan faktor pemerintah.

Sebelum ada fusi parpol 1973 semasa Orde Baru yang meringkas jumlah parpol menjadi dua (PPP dan PDI), mengingat Golkar tak disebut sebagai parpol dalam perundangundangan yang ada, pada masa Demokrasi Terpimpin parpol yang eksis tinggal sepuluh saja. Pada 1960, Masyumi dan PSI karena menolak meneken aturan yang dibikin rezim yang ada, otomatis dinyatakan bubar.

Faktor pemerintah ialah yang paling utama dalam memunculkan kekuatan politik baru pascatransisi politik 1965. Sekber Golkar, suatu himpunan organisasi antikomunis yang dimobilisasi angkatan darat yang diresmikan pada 1964 pun dimunculkan sebagai ”parpol baru” oleh Soeharto. Pada Pemilu 1971, Sekber Golkar diikutkan sebagai kontestan, dan menang. Pada 1977, dua parpol baru, PPP dan PDI hasil fusi parpol-parpol 1973, pertama kali berlaga dalam kancah elektoral.

Hingga pemilu terakhir Orde Baru, dua parpol itu selalu dalam posisi yang tetap, PPP di urutan kedua, PDI di urutan ketiga. Pemenangnya selalu Golkar. Pada masa transisi parpol-parpol era Orde Baru diuji sejarah. Semuanya ”terpecah” dan punya kisah prestasi elektoral masing-masing. Golkar merupakan parpol fenomenal.

Rezim Orde Baru jatuh, tetapi ia di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung selamat, bahkan menjadi pemenang pemilu pada 2004. PPP tetap eksis. PDI pada hakikatnya telah bertransformasi menjadi PDIP, dengan kekuatan tokoh Megawati Soekarnoputri ialah yang paling moncer pada Pemilu 1999.

Mereka masih eksis hingga kini. Merujukpada pengalamanPemilu 2014, di ranah politik Islam, PPP bersaing dalam ”captive market” yang cukup ketat terutama melawan PKB, PAN, dan PKS. Di ranah partai terbuka (catch-all) persaingannya makin tajam dengan adanya Partai Demokrat, Gerindra, Hanura, dan Nasional Demokrat (NasDem).

Tokoh dan Gagasan

Merujuk pengalaman Partai NasDem sebagai parpol baru pada Pemilu 2014, dapat dicatat bahwa strategi dan langkah politiknya cukup efektif sehingga lolos ke parlemen. Hal serupa pernah ditunjukkan Partai Demokrat pada Pemilu 2004, Gerindra dan Hanura pada Pemilu 2009. Pada Pemilu 2019, lantas, bagaimana prospek parpol-parpol baru?

Merujuk pada pengalaman ada dua hal yang penting untuk dicatat, apakah parpol-parpol baru itu ada tokoh populis yang menjadi simbol alternatif? Selanjutnya, adakah gagasan-gagasan baru yang memikat ditawarkan? Apakah Hary Tanoesoedibjo (Partai Perindo), RhomaIrama( PartaiIdaman), Grace Natalie (PSI), dan yang lain akan mampu menjadi seperti Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat pada 2004 atau Prabowo Subianto pada 2009?

Seberapa besar rumus tokoh menarik gerbong partainya? Terkait yang kedua memang tampaknya menjadi kurang begitu penting ketika karakter masyarakat pemilu Indonesia masih cukup pragmatis, kalau bukan transaksional. Tetapi, tampaknya tak boleh diabaikan juga, karena bisa jadi peluang. Kekuatan gagasan sesungguhnya melekat pada apa kekhususan yang ditawarkan oleh tokoh-tokoh parpol.

Parpol-parpol baru mungkin bisa jauh kalah langkah ketimbang yang sudah mapan. Tetapi manakala yang mapan stagnan dalam hal gagasan, tentu kondisi demikian memberi peluang bagi yang baru, yang punya alternatif gagasan. Tetapi, tetap saja hal yang tak mungkin diabaikan juga ialah kecepatan membentuk jaringan dan sosialisasi melalui pemanfaatan media massa, baik yang konvensional maupun sosial media.

Tokoh dan gagasan tidak akan bermanfaat kalau tak segera berubah menjadi jaringan dan gerakan. Kesimpulan tulisan ini sederhana saja. Parpol baru tentu penuh tantangan. Tetapi, peluang mereka untuk memperoleh kursi di parlemen dan berkiprah di pemerintahan pasca Pemilu 2019, cukup terbuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar