Urgensi Revisi UU Minerba
Martiono Hadianto ;
Pengamat Tambang dan Ketua
Asosiasi Tambang Indonesia
|
KOMPAS, 27 Juni 2016
Sejak diterbitkan pada
tahun 2009 dan diberlakukan secara efektif pada 2014, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terus menuai pro dan
kontra.
Sebagian berpendapat,
meski dibangun atas dasar peningkatan nilai tambah hasil tambang dalam
negeri, ada banyak hal yang masih harus dibenahi lantaran aturan dan
kebijakan yang disusun di dalamnya dinilai masih tumpang tindih, dan ini
berimbas pada rendahnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor
mineral dan batubara (minerba) pada 2015.
Demi menjaga agar
angka PNBP 2016 dapat kembali stabil, DPR melakukan terobosan dengan
menetapkan undang-undang tersebut untuk masuk dalam daftar prioritas Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016, beserta dengan 39 rancangan
undang-undang lainnya.
Namun, jika ditilik
lebih jauh, pengajuan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 ini tidaklah
mengejutkan, terlebih setelah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014
sebagai produk turunan yang notabene perubahan ketiga dari penetapan
pelaksanaan undang-undang tersebut.
Sebelumnya, pemerintah
sudah lebih dulu menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, yang
kemudian mengalami revisi lanjutan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2012 sehingga bisa dikatakan tinjauan yang berakhir pada revisi ini
dilakukan setiap dua tahun sekali.
Dan tepat dua tahun
setelah revisi ketiga diterbitkan, kini undang-undangnya sendirilah yang
masuk ke dalam daftar prioritas Prolegnas. Terbitnya aturan-aturan lanjutan
yang sering kali dinilai tidak memiliki koherensi yang nyata dengan rangkaian
awal Undang-Undang Minerba ini sendiri membuat banyak pihak berpendapat bahwa
keberadaan undang-undang tersebut cenderung dipaksakan.
Dalam tulisan ini,
penulis tidak berusaha menempatkan diri sebagai ahli dalam bidang hukum dan
tata perundang-undangan negara, tetapi sebatas kapasitas penulis sebagai
pengamat tambang. Ada beberapa baris tertentu, yang nantinya menjadi
ketetapan untuk dijalankan aparatur negara, dalam undang-undang dan peraturan
pemerintah ini yang perlu ditinjau lebih lanjut.
Misalnya, penggunaan
kata "dan" dan "atau" pada dua produk hukum negara ini.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 103 Ayat (1) menetapkan bahwa
pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus
(IUPK) operasi produksi wajib melakukan pengolahan "dan" pemurnian
hasil penambangan di dalam negeri, sementara peraturan pemerintah yang
merupakan petunjuk pelaksanaan dari undang-undang tersebut menyebutkan bahwa
peningkatan nilai tambah dapat dilakukan melalui pengolahan "atau"
pemurnian.
Perubahan ketetapan
melalui peraturan pemerintah secara berkala lumrahnya mengundang pertanyaan
di benak pelaku industri akan interpretasi undang-undang seperti apa yang
dinilai paling ideal oleh pemerintah. Bukan apa-apa, implikasi yang dibawa
sebagai dampak dari kewajiban yang digarisbawahi oleh kata "dan"
dan "atau" ini dapat menimbulkan perbedaan nilai investasi hingga
jutaan dollar AS yang harus ditanamkan pelaku industri.
Momentum tak tepat
Jika meninjau lebih
jauh dari ketetapan yang dijelaskan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 5
tentang Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dipahami bersama bahwa
"kejelasan rumusan" merupakan salah satu asas penting dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan. Semua tentunya sepakat dengan
tujuan utama yang ingin digapai, yaitu peningkatan dan optimalisasi nilai tambah
mineral. Namun, yang menjadi pertanyaan boleh tidaknya jika kemudian pelaku
tambang menginterpretasi bahwa jika batuan tambang yang digali kemudian
diolah menjadi setidaknya 80-95 persen dari nilai batuan, kegiatan ini sudah
dianggap memenuhi syarat peningkatan dan optimalisasi nilai tambah mineral.
Perlu adanya
keselarasan dan kesepakatan bulat suara dari pihak legislatif dan pemerintah
dalam upaya memberikan kejelasan dasar hukum dalam menjalankan bisnis di
Indonesia. Mengutip pernyataan yang disampaikan Menteri Koordinator
Perekonomian Darmin Nasution beberapa waktu lalu, Undang-Undang Minerba ini
meski tujuan umumnya sangat bijaksana, momentum pelaksanaannya tidak tepat
karena dijalankan justru ketika ekonomi dunia sedang melambat. Jadi,
alih-alih meningkatkan serapan tenaga kerja dan meningkatkan penerimaan
negara sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, penerapannya justru
menimbulkan pelambatan signifikan sektor tambang, penutupan sejumlah tambang
yang berarti hilangnya kesempatan kerja dan menurunnya penerimaan negara.
Pada rentang
2000-2014, sektor tambang pernah menjadi primadona penggerak ekonomi
Indonesia. Fakta ini memberikan ruang bagi kita untuk bertanya, mana yang
lebih dibutuhkan negara, revisi atau justru mempertimbangkan kembali penggunaan
undang-undang yang lama? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar