Intoleran
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior
TEMPO
|
TEMPO.CO, 18 Juni
2016
Kata intoleran marak belakangan ini, justru
pada saat kita membutuhkan toleransi pada bulan suci Ramadan. Ada warung yang
dipaksa tutup oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di Kota
Serang, Banten. Bahkan disertai dengan menyita dagangannya.
Pada saat bersamaan, ada pernyataan Presiden
Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang menyebutkan terdapat
ribuan peraturan daerah (perda) yang akan dicabut karena bertentangan dengan
kebijakan nasional. Memang, tidak semua perda itu berkaitan dengan
intoleransi, dengan masalah investasi, yang jauh dari nuansa toleransi
ataupun ranah agama. Tapi penutupan warung selama Ramadan di Kota Serang termasuk
yang dibuatkan perda.
Di kota lain, sebut misalnya Makassar, juga
ada perda tentang hal yang sama seperti di Serang. Tapi tidak ada kasus
Satpol PP melakukan sweeping karena, menurut Wali Kota Makassar, tak ada
masalah dengan penutupan warung itu pada siang hari. Masyarakat Makassar
terbiasa "berhura-hura" makan di warung pada malam hari. Sedangkan
di Bogor, contoh lain, tak ada perda seperti itu. Di sana, warung boleh buka
24 jam meski pada Ramadan. Meski begitu, Bogor punya kesan sebagai "kota
intoleran" lantaran kasus Gereja Yasmin, yang sampai kini bermasalah
karena tak bisa dijadikan tempat kebaktian.
Meski tergolong sedikit, perda intoleran
berkaitan dengan perbedaan keyakinan, apakah nuansa intoleransi itu perlu
dikukuhkan dalam sebuah perda ataupun sekelas surat edaran kepala daerah
setempat? Apakah sebelum peraturan itu dikeluarkan ada dialog di antara
komponen masyarakat yang mewakili lintas agama? Pertanyaan selanjutnya,
apakah setiap komponen masyarakat, terutama jika didasari kelompok agama atau
keyakinan, sudah terwakili? Seharusnya demikian karena ternyata kita punya
sebuah forum yang selama ini kurang terdengar perannya dalam mengatasi
masalah-masalah intoleransi yang berhubungan dengan perbedaan agama. Forum
itu bernama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang ada di setiap provinsi
dan kabupaten atau kota.
Pekan lalu, di Denpasar, Bali, FKUB
se-Indonesia menyelenggarakan Konferensi Nasional ke-2. Dari perhelatan itu
terungkap bahwa, di banyak provinsi, FKUB tidak dimanfaatkan oleh kepala
daerah. Berbagai kasus, dari pendirian rumah ibadah sampai peraturan daerah
yang menyerempet masalah keagamaan, jarang melibatkan FKUB. Padahal FKUB
lahir dari Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 8
dan Nomor 9 Tahun 2006. Tugasnya, antara lain, melakukan dialog dengan pemuka
agama dan tokoh masyarakat, menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi
masyarakat, menyalurkan aspirasi itu dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan
kebijakan kepada gubernur, bupati, dan wali kota. Orang sering menyebut
Peraturan Bersama ini hanya untuk keperluan pendirian rumah ibadah, dan itu
pun dianggap sebagai hambatan oleh kelompok minoritas. Padahal tugas FKUB
tidak sekecil itu. Masalah apa pun yang berhubungan dengan umat lintas agama
bisa dibawa ke forum ini.
Sayangnya, FKUB kurang bergema di beberapa
daerah. Padahal, jika dilihat dari kebijakan dua kementerian itu, justru FKUB
"lebih tinggi" dibanding ormas keagamaan. Sadar atas
"keompongan" itu, salah satu hasil konferensi FKUB di Denpasar adalah
akan "unjuk taring" dengan cara membentuk asosiasi, sehingga forum
ini bisa saling berkoordinasi lewat pengurus asosiasi tingkat nasional yang
segera dibentuk. Sebuah upaya yang patut didukung untuk meminimalkan
kasus-kasus intoleran di negeri yang warganya majemuk ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar