Ketika Fantasi Berjaya: Brexit
Firman Noor ;
Peneliti LIPI; Dosen Ilmu
Politik FISIP UI;
Saat Ini Bermukim di London,
United Kingdom
|
KORAN SINDO, 27 Juni
2016
Hasil referendum
menunjukkan keinginan mayoritas masyarakat Inggris untuk keluar dari Uni
Eropa (EU). Inilah hasil akhir setelah berminggu-minggu dua belah pihak, baik
yang ingin tetap (remain) maupun
meninggalkan (leave) EU,
menyampaikan argumennya dalam kampanye yang kerap bersifat emosional.
Kemenangan tipis
(51,9% versus 48,1%) dalam salah satu momen paling bersejarah di Inggris,
tampak memperlihatkan bahwa tema-tema kampanye pihak leave cukup dapat
diterima oleh masyarakat Inggris, terutama mereka yang berkarakter kelas
menengah ke bawah. Sementara kampanye pihak remain tidak cukup meyakinkan
meski ditopang oleh pendapat ahli dan politisi berkaliber nasional maupun
internasional. Pihak remain dinilai cukup kedodoran dalam menanggapi argumen
dan opsi-opsi praktis dan populis dari kubu leave.
Beberapa Fantasi
Dengan beberapa slogan
seperti ”control ”, ”preserving
democracy”, atau bahkan menyamakan hari kemenangan pilihan untuk leave setara dengan ”independence day”, pihak leave memberikan sebuah harapan baru
dan alternatif kemungkinan yang tampak lebih cerah dan baik ketimbang terus
menerus menjadi ”budak Brussel”, demikian kerap mereka menyebut nasib Inggris
manakala tetap bergabung dalam EU.
Dalam hari-hari
kampanye slogan yang menyelubungi fantasi itu cukup berhasil menghipnosis
massa dan menarik pengikut. Dengan retorika yang kerap terasa membakar
patriotisme, EU mampu dicitrakan sebagai institusi korup yang berisikan
politisi asing yang tidak peduli dengan nasib rakyat Inggris kebanyakan. Para
juru kampanye leave tidak segan membenturkan EU dengan demokrasi.
Bahwa EU adalah
institusi asing elitis yang sesungguhnya membuat aturan bagi seluruh rakyat
Inggris. Figur-figur artikulatif dari pihak leave, sebut saja Boris Johnson,
Gisela Stuart, hingga sosok kontroversial Nigel Farage, mampu menyudutkan EU
sebagai biang dari berbagai persoalan yang ada di masyarakat Inggris. Hingga
semakin terkesankan bahwa wacana leave terlihat bukan pepesan kosong.
Selain masalah
kemandirian, beberapa fantasi lain yang disampaikan pihak leave di antaranya
yang terpenting adalah pemanfaatan dana sebesar 340 juta pounds per minggu
yang diberikan pemerintah ke EU sebagai konsekuensi keanggotaan. Para
propaganda leave terus berupaya meyakinkan bahwa dana sebesar itu milik
rakyat dan dapat diambil alih untuk dimanfaatkan secara langsung oleh rakyat
Inggris, termasuk untuk memperbaiki kualitas layanan National Health Service
(NHS) dan sarana pendidikan.
Ide ini cukup mengena
bagi kebanyakan masyarakat, yang langsung membayangkan demikian ”ruginya”
menjadi bagian EU. Pihak leave juga cukup berhasil menyebarluaskan ide bahwa
terobosan kerja sama ekonomi dengan berbagai pihak dibelahan dunia lain,
termasuk China, Brasil, dan negara-negara potensial lain, dapat lebih terbuka
dengan keluar dari pasar tunggal EU.
EU difantasikan
sebagai penyebab dari terputusnya hubungan ekonomi yang produktif Inggris
dengan berbagai negara potensial itu. Tidak itu saja, pasar tunggal EU, yang
beranggotakan 28 negara, difantasikan sebagai sudah tidak menantang dan
menguntungkan lagi. Karena itu, kini saatnya membuka diri kepada dunia dan
meraih lebih banyak benefit darinya. Pihak leave akhirnya menyinggung pula
persoalan bahwa EU telah gagal total dalam membuat Inggris lebih aman.
Difantasikan bahwa
negara-negara EU, termasuk Prancis dan Belgia, adalah sarang dari
kelompok-kelompok teroris yang akan mengancam Inggris. Juga persoalan imigran
yang semakin membanjiri Inggris, yang dirasa makin membebankan negara.
Fantasi bahwa imigran adalah pembawa masalah baru bagi Inggris, termasuk
masalah sosial dan keamanan cukup diterima oleh para pendukungnya.
Fantasi yang Problematik
Fantasi? Ya, karena
pada dasarnya pihak leave tidak
pernah mendasarkan tema dan ide yang ditawarkan itu pada data-data yang
konkret. Beberapa bahkan berdasarkan data yang kurang akurat atau
disembunyikan. Memang sesungguhnya dua belah pihak, baik remain atau leave,
tidak benar-benar memiliki data konkret tentang apa yang akan terjadi
berikutnya.
Kebanyakan yang
disampaikan selama kampanye adalah asumsi-asumsi yang kerap berlebihan, namun
juga bersifat menakut-nakuti (scaremongering).
Namun, setidaknya untuk pihak remain, dengan dukungan banyak ahli dalam
bidang ekonomi, termasuk badan-badan internasional seperti IMF dan Bank
Dunia, lebih punya sedikit kepastian bahwa ekonomi Inggris akan mengalami
kemunduran jika meninggalkan EU.
Kemunduran ekonomi ini
tentu saja akan berdampak pada kemampuan pemerintah menjaga kualitas layanan
publik, termasuk NHS. Hal ini mudah saja dipahami karena dengan tidak
bergabungnya lagi dalam pasar tunggal, berbagai macam hak dan fasilitas
dicabut. Akibat itu, barangbarang akan menjadi jauh lebih mahal dan pemutusan
hubungan kerja dengan perusahaanperusahaan yang berbasis di negara-negara EU
akan meningkat.
Selain itu, efek
lanjutnya adalah nilai tukar dolar kepada pounds akan segera menguat.
Kenyataannya kemenangan leave langsung memicu lemahnya untuk pertama kali
hampir tiga dekade terakhir. Berbagai hal ini saja akan dapat memicu resesi
ekonomi yang serius bagi Inggris. Selain itu, beberapa kemudahan seperti
akses mobilitas untuk tinggal di salah satu negara EU, hingga kemudahan
mencari pekerjaan, juga akan hilang.
Urusan administrasi
terkait imigrasi akan menjadi lebih berbelit. Liburan akan menjadi semakin
mahal. Harga-harga barang jatuhnya menjadi harga barang impor. Proyek-proyek
penelitian berskala besar di dunia pendidikan dan riset yang didanai EU juga
akan dievaluasi lagi. Bukan tidak mungkin, beberapa penelitian penting
berskala masa depan akan tidak lagi melibatkan para akademisi dan peneliti
Inggris.
Beberapa kemudahan
itulah sebenarnya harga dari keanggotaan yang berjumlah hingga ratusan miliar
per minggu itu. Apakah Inggris juga akan lebih aman di luar EU? Hal yang
pasti akses intelijen dan informasi seputar pengendalian keamanan yang selama
ini disebarluaskan di antara anggota EU akan tidak lagi dimiliki oleh
Inggris.
Dan, mengingat bahwa
kasus-kasus teroris banyak melibatkan warga negara sendiri (dalam negeri),
potensi ancaman keamanan tidak dapat dianggap berkurang dengan keluarnya dari
EU. Namun, seolah meremehkan berbagaihalyangbersifat kemunduran tersebut,
mayoritas masyarakat Inggris memang bersedia mempertaruhkan nasibnya kepada
fantasi, sebagaimana yang ditawarkan oleh kubu leave.
Meski demikian,
referendum yang membelah masyarakat dan pemerintah ini juga memberikan
pelajaran bahwa hampir separuh masyarakat Inggris sesungguhnya tidak percaya
pada fantasi yang digembar-gemborkan pihak leave. Hal mana terlihat dari
perbedaan jumlah pro dan kontra yang hanya sekitar 1,3 juta dari 46,5 juta
warga yang berhak memilih. Namun, kedua, memang EU selama ini diterima
setengah hati oleh mayoritas masyarakat Inggris.
Hubungan benci, tapi
rindu ini berujung pada kesimpulan bahwa EU dirasakan kurang bermanfaat lagi
bagi Inggris dan pemerintah gagal membuktikan bahwa keterlibatan Inggris di
dalam EU tidak sekadar menjadi partisipan yang berperan pinggiran tanpa daya.
Selamat merayakan ”Hari Kemerdekaan” bagi (setengah) rakyat Inggris. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar