Interkoneksitas Ilmu Pengetahuan
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 17 Juni
2016
Yang namanya
universitas itu merupakan sarana dan upaya sistematis untuk mendekati dan
memahami universum bagi komunitas intelektual kampus. Orang yang tamat jenjang tertinggi setelah
studi di universitas, diharapkan mengenal realitas hidup yang universal dan
diharapkan mampu menyumbangkan pemikiran untuk memecahkan problem sosial yang
muncul. Makanya titelnya PhD, Philosphy of Doctor. Ini tidak mesti berarti
doktor filsafat, namun diharapkan mampu melihat dan berpikir filosofis
universal terhadap realitas hidup dan kehidupan.
Untuk memasuki pintu
universum itu maka dibukalah berbagai pintu fakultas, lalu dalam fakultas
dirinci lagi menjadi program studi atau departemen. Masalahnya, fakultas itu
sering kali berubah peran, dari pintu gerbang menjadi kamar tertutup yang
memenjarakan mahasiswanya sehingga terkurung tidak mampu melihat dan
mengapresiasi ilmu yang berkembang di fakultas lain.
Padahal ilmu itu
bekerja saling berhubungan dan memerlukan yang lain, sebagaimana realitas
hidup yang kompleks dan saling terkait. Ini juga tecermin dalam realitas
semesta yang elemenelemennya saling terhubung. Ketertutupan fakultas dan
program studi itu semakin rapat ketika muncul revolusi industri yang memesan
pada universitas untuk menyediakan dan memasok tenaga kerja dengan skill yang
spesifik guna memenuhi tuntutan kerja di pabrik. Maka muncul istilah link and
macth.
Belajar ilmu itu mesti
yang memiliki keterkaitan langsung dengan peluang pekerjaan yang disediakan
oleh dunia industri. Yang namanya sarjana, lalu berperan bagaikan sekrup bagi
mesin industri yang sekarang perannya mulai digantikan robot. Salahkah konsep
di atas? Tentu saja tidak salah.
Dalam masyarakat
industri memang sangat dirasakan adanya kebutuhan tenaga kerja yang memiliki
keahlian spesifik. Turunan dari konsep ini maka tataran di bawahnya muncul
SMK, sekolah menengah kejuruan. Tidak mengherankan makanya di Barat beredar
candaan, jika ingin jadi orang kaya jangan mengambil program doktor. Doktor
itu tidak cocok untuk bekerja mengejar kekayaan. Cukup MBA untuk memasuki
sebuah usaha yang menjanjikan secara ekonomi.
Doktor itu pada
awalnya memang dimaksudkan sebagai komunitas ilmuwan yang mencintai riset,
memberikan kritik dan pencerahan pada komunitas praktisi dan politisi.
Makanya titelnya PhD. Mereka mengembangkan tradisi berpikir filosofis agar
mendapatkan wisdom dan memberikan rambu-rambu atau tanda zaman pada
masyarakat.
Doktor itu diharapkan
mampu membaca dan mengembangkan interkoneksitas keilmuan yang tumbuh dalam
berbagai fakultas. Interkoneksitas ilmu itu analog dengan jejaring sosial,
jejaring alam, bahwa variabel yang satu memengaruhi dan dipengaruhi oleh yang
lain. Hal ini juga mirip dengan kerja otak. Tak ada yang linier tapi susunan
saraf otak itu sangat lembut dan jumlahnya miliaran saling berkaitan.
Yang juga menarik,
interkoneksitas ilmu, saraf otak dan realitas sosial sangat mirip dengan
metode Alquran. Berbeda dari logika buku ilmiah yang linier, ayat-ayat
Alquran itu bagaikan lingkaran. Ayat yang satu menjelaskan yang lain. Makanya
mempelajari Alquran memerlukan metode tersendiri. Kadang terkesan diulang-ulang, padahal konteksnya berbeda. Ini yang membuat Alquran tak pernah habis
dipelajari.
Memasuki era informasi
ini, semakin terasa kita dituntut untuk bisa menghubungkan ilmu yang satu
dengan yang lain. Kalau tidak maka akan kebingungan dibanjiri informasi yang
kadang sampah dan tidak logis. Dengan mengetahui prinsip-prinsip dasar
disiplin ilmu, kita akan terkondisikan berpikir interdisipliner sehingga bisa
memahami universum relatif utuh.
Bukan terkurung oleh
sekat fakultas. Semua ilmu itu mestinya bisa dipahami oleh orang lain atau
lintas fakultas terutama menyangkut kontribusinya terhadap masalah
kemanusiaan dan kenegaraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar