Terminal 3 Ultimate Soetta
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
|
KORAN SINDO, 16 Juni
2016
Dalam beberapa hari ke
depan, kalau tak ada halangan (doakan saja), kebandarudaraan (bandara)
Indonesia akan memasuki babak baru. Ini seiring dengan beroperasinya Terminal 3 Ultimate, Bandara
Soekarno-Hatta (Soetta) di Tangerang, Banten. Bandaraini dikelola PT Angkasa
Pura II (APII). Tidak main-main, disiapkan siang-malam, bertahun-tahun, dan
dioperasikan (shadow operation)
justru di saat menyambut libur mudik, Hari Raya Idul Fitri. Ini belum operasi
penuh, baru untuk keberangkatan dan kedatangan beberapa kota sampai bulan
September yang akan datang karena tentu kita harus amat teliti dan safe.
Melibatkan banyak
pihak, dari Kemenhub, Imigrasi, Bea Cukai, Karantina, Air-Traffic Control,
airlines, otoritas bandara, keamanan, pengelola bandara (Angkasa Pura), para
vendor dan katering hingga pengelola parkir, people mover, dan seterusnya.
Ini benar-benar rumit. Apalagi kita ingin menampilkan cita rasa karya
putra-putri terbaik dalam bentuk galeri Indonesia.
Jangan lupa, bandara
itu adalah pintu gerbang Nusantara. Menyangkut harga diri dan persepsi dunia
terhadap kepribadian dan kejayaan bangsa. Semoga saja hal ini bisa mengurangi
kepadatan arus mudik di terminal Cengkareng dan menambah kenyamanan Anda. Ya,
memang baru di terminal. Belum sampai traffic menuju bandara karena jalur
kereta baru akan jadi tahun depan.
Pengoperasian terminal
baru ini pun dilakukan kalau lolos uji dari regulator, khususnya pada sisi
udara. Saya senang karena Menteri Perhubungan (Menhub) memeriksa dengan
teliti dan kita tahu, dalam soal safety, Menhub Ignasius Jonan bukanlah orang
yang bisa diajak kompromi. Untuk itu kita ucapkan terima kasih.
Spesial
Saya sesungguhnya
sudah menyaksikan Terminal 3 Ultimate sejak terminal ini masih dalam proses
pembangunan. Saya menuangkan catatan itu dalam buku saya yang berjudul Agility: Bukan Singa yang Mengembik
(2015). Kini terminal yang proses pembangunannya menerapkan konsep design
& build tersebut sudah siap dioperasikan.
Kalau saya menyebut
Terminal 3 Ultimate (bukan T3 yang lama) akan menjadi babak baru bagi
industri bandara di Indonesia, itu karena beberapa hal. Pertama, dari
sisiluasbangunan. UntukTerminal 3 Ultimate luasnya mencapai 422.804 meter
persegi. Initerminal terluas jika dibandingkan dengan terminal-terminal yang
ada di seluruh bandara di Indonesia. Bahkan jika dibandingkan dengan
terminal-terminal yang ada di ASEAN sekalipun.
Sebagai contoh dibandingkan
dengan Bandara Changi, Singapura. Saat ini bandara itu memiliki tiga
terminal. Salah satu terminal yang paling luas adalah Terminal 3. Anda tahu
berapa luasnya? Hanya 380.000 meter persegi. Kedua, dari sisi kapasitas.
Terminal 3 Ultimate ini bakal mampu menampung 25 juta penumpang per tahun.
Lagi, bandingkan dengan Terminal 3 Bandara Changi yang “hanya” mampu
menampung 22 juta penumpang per tahun.
Ketiga, terminal ini
juga akan dilengkapi dengan garbarata ganda. Garbarata ini khusus untuk
melayani pesawat superjumbo seperti Airbus A380. Mudahmudahan kelak bandara
kita bisa didarati pesawat-pesawat yang berukuran besar tersebut. Keempat,
konsep art and culture. Bandara ini kelak dilengkapi beberapa ornamen dari
berbagai daerah di Indonesia. Ini akan membuat terminal bisa menjadi tempat
santai bagi para pengunjung dan sekaligus pameran yang bisa dinikmati para
penumpang.
Kelima, teknologi, ini
yang membuat terminal ini menjadi terkesan sangat modern dan ramah
lingkungan. Misalnya, penerangannya memakai lampu LED dan banyak mengandalkan
cahaya dari luar. Lalu, jalan-jalan seputar terminal banyak memakai lampu
dari sel surya.
Jangan lupa juga,
CCTVnya bisa langsung mendeteksi wajah-wajah yang masuk dalam daftar DPO.
Begitu juga dengan penanganan bagasi yang mengadopsi teknologi baggage
handling system (BHS) seperti di Bandara Kualanamu, Medan. Jadi, setiap
bagasi yang masuk dipasangi barcode sesuai dengan tujuan penumpang. Ini untuk
memperkecil kemungkinan bagasi yang tertukar atau salah alamat.
Film The Terminal
“All human life can be
found in an airport,” begitu tulis David Walliams, penulis, komedian, dan
presenter ternama Inggris (Anda mungkin sering melihat wajahnya di acara
reality show Britain’s Got Talent). Selain itu di terminal juga ada paradoks.
Kita akan sering menemukan tangis dan sekaligus tawa di sana. Bandara itu
adalah tempat untuk meet and greet.
Ada tangis dari
seorang gadis yang bakal ditinggal kekasihnya bepergian ke luar negeri untuk
waktu lama. Berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Ada tawa (juga tangis
haru) dari seorang ibu yang menjemput kedatangan anaknya setelah
bertahun-tahun terpisah oleh jarak ribuan kilometer.
Bicara soal ini,
tiba-tiba saya teringat dengan film The Terminal (2004) yang dibintangi aktor
favorit saya Tom Hanks dan artis jelita Catherine Zeta- Jones. Saya cuplikkan
sedikit inti ceritanya. Film ini berkisah tentang Viktor Navorsky (Tom
Hanks), warga negara Krakozhia (negara fiktif di Eropa Timur) yang lugu dan
polos. Ia berkunjung ke Amerika Serikat (AS) untuk menepati janjinya kepada
sang ayah.
Ayah Viktor, seorang
musisi jazz, meminta Viktor untuk mendapatkan tanda tangan dari musisi
favoritnya yang asal AS. Maka pergilah Viktor ke Negeri Paman Sam itu. Viktor
mendarat di Bandara Internasional JFK, New York, AS, dengan menenteng koper
dan kaleng di tangan sehingga memicu kecurigaan petugas bandara. Apalagi
Viktor sengaja merahasiakan isi kalengnya.
Celakanya lagi, pihak
imigrasi menolak kehadirannya. Paspor Viktor dianggap tidak berlaku karena
terjadi kudeta di negaranya. Pemerintah lama tumbang, diganti pemerintahan
baru yang belum diakui pihak AS. Akibatnya paspor Viktor dianggap tidak
berlaku. Ia tidak bisa masuk ke AS.
Maka jadilah Viktor
terdampar di bandara. Bagaimana ia bertahan hidup? Itulah yang menjadi inti
cerita film ini. Jenaka, tetapi juga kaya dengan satire tentang manusia.
Perilaku para petugas bandara dan orang-orang yang ada di sana terhadap
Viktor barangkali menjadi cerminan dari perilaku kita pula.
Saya tak ingin
berpanjang lebar soal bagaimana Viktor menjalani hidup di terminal itu.
Maklum, kudeta di negaranya baru selesai sembilan bulan kemudian. Eksistensi
negara itu diakui kembali oleh Pemerintah AS. Paspor Viktor pun akhirnya
berlaku kembali dan ia masuk ke AS untuk mendapatkan tanda tangan dari musisi
favorit ayahnya. BKO,
Bukan Koordinasi
Kisah tentang Viktor
tadi mungkin tak terjadi di negara kita. Meski begitu kisah tadi memberikan
gambaran tentang betapa kompleksnya mengelola bandara dan
terminal-terminalnya. Ini juga terjadi di negeri ini. Anda harap maklumlah,
dulu yang kuat itu bukan sistemnya, tapi mantan-mantan pejabatnya yang
masing-masing punya bisnis dan operator di lapangan.
Ada yang bisnis kargo,
parkir, gudang, angkutan, restoran sampai vendor-vendor dan jasajasa preman
lainnya. Pokoknya rumitlah. Jadi sudah pasti kehadiran Terminal 3 Ultimate
ini sebuah program perubahan besar. Bukan sekadar fisik. Ini soal
transformasi sistem, manusia, dan mental bangsa. Mental berbangsa dan
berwirausaha. Juga mental kita dalam penyelamatan aset dan pendapatan negara
yang legal.
Jadi kita perlu
menerapkan tata kelola yang baru. Apalagi mayoritas petugas dari berbagai
instansi yang ada di bandara berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Anda tahu,
belum semua memiliki mindset melayani. Padahal, hampir semua urusan di
bandara adalah soal safety dan pelayanan.
Dan pelayanan bukanlah
melulu soal teknologi, ini soal mental manusia dan sistem. Maka ini PR berat
kita semua. Saya percaya kita mampu kalau kita berani melakukan perubahan. Anda
tahu, wajah bandara adalah wajah negeri ini.
Meski bandaranya megah
dan rapi, kalau pelayanan para petugasnya, koordinasi, dan support-nya jelek,
itu menggambarkan ada yang salah urus di negeri ini. Kita tentu tak mau orang
luar mengecap kita sebagai negeri yang tidak becus mengelola, bukan? ●
|
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
BalasHapusHarga Kaos Dakwah
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Punya Pasangan Sempurna Nggak Indah Kelihatannya