Arah Baru Hubungan Indonesia-Singapura
Tantowi Yahya ;
Wakil Ketua Badan Kerja Sama
Antar-Parlemen (BKASP); Anggota Komisi
1 DPR RI
|
KORAN SINDO, 23 Juni
2016
Benci, tapi rindu.
Mungkin terma tersebut bisa menggambarkan dinamika hubungan Indonesia dengan
salah satu negara tetangga terdekat, Singapura.
Paling tidak dalam
sepuluh tahun terakhir muncul sejumlah riak (dinamika) diplomasi yang
mewarnai hubungan dua negara. Di antaranya ”serangan” asap akibat kebakaran
hutan di Indonesia yang kerap berulang dan melumpuhkan perekonomian
Singapura.
Lalu, penolakan
proposal Kesepakatan Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement)
atau yang biasa disebut DCA oleh Indonesia yang dianggap kurang memberikan
manfaat yang setara.
Isu lain tentang
stereotip Singapura di kalangan masyarakat Indonesia, di mana Negeri Singa
tersebut kerap dianggap sebagai bungker koruptor Indonesia.
Belum lagi isu
reklamasi pantai Singapura yang dianggap merusak keseimbangan ekosistem di
kepulauan Natuna dan sekitarnya. Dan, yang terakhir dan selalu menjadi
ganjalan tentang sejarah Usman- Harun yang dilihat berbeda oleh rakyat di dua
negara.
Semua isu di atas
selalu muncul dan menjadi topik hangat dalam tiap diskusi tentang Indonesia-Singapura.
Seperti yang penulis alami bulan lalu saat memberikan insight mengenai
hubungan Indonesia-Singapura kepada civil servant Singapura di Kedutaan
Singapura di Jakarta.
Dalam kesempatan
tersebut, peserta juga menyinggung tentang DCA dan Usman- Harun. Itu artinya
bahwa perlu ada upaya yang serius dari pemimpin dua negara untuk lebih
meningkatkan lagi dialog dan kerja sama sehingga peluang kesalahpahaman di
masa depan bisa diminimalisasi.
Menariknya, di luar
jalur diplomasi formal, bagi rakyat Singapura dan Indonesia, hubungan baik
dua jiran sangatlah penting, seiring ada fakta bahwa ketergantungan
masyarakat di dua negara, khususnya kelas menengahnya.
Kota Singapura bagi
kelas menengah Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia ibarat destinasi
rutin yang entah kenapa sulit tergantikan— misalnya dengan Kuala Lumpur atau
Bangkok.
Meskipun predikat
sebagai surga belanja kini tak lagi melekat bagi Singapura—dan maraknya
mal-mal di Jakarta yang melebihi Singapura, tetap saja minat warga Indonesia
untuk melancong ke Negeri Singa tersebut tetap tinggi.
Tercatat selama 2015
tak kurang dari 2,7 juta kelas menengah Indonesia menghabiskan akhir pekannya
di Singapura.
Menutup Luka Lama
Sebaliknya bagi warga
Singapura, Indonesia merupakan destinasi terdekat yang atraktif dan
menawarkan sesuatu yang berbeda dengan kota Singapura yang sempit.
Keindahan Bali yang
sudah mendunia tetap menjadi tujuan utama pelancong Singapura, selain Batam, Jakarta,
dan kota lain. Pada 2015 BKPM mencatat Singapura sebagai investor terbesar
Indonesia dengan nilai investasi sebesar USD5,9 miliar, melewati Malaysia
(USD3,1 miliar), Jepang (USD2,9 miliar), Belanda (USD1,3 miliar), dan Korea
Selatan (USD1,2 miliar).
Untuk meningkatkan
kerja sama dan menjaga stabilitas di masa depan, dua negara harus melakukan
transformasi khususnya dalam pemaknaan sejarah.
Terutama pada isu
Usman- Harun yang sensitif di telinga warga Singapura maupun Indonesia. Tak
jarang setiap ketegangan hubungan dua negara, isu Usman-Harun kerap diungkit
kembali.
Usman-Harun merupakan
prajurit TNI AL Indonesia yang dituduh melakukan pengeboman di Orchard Road,
1965, bertepatan Politik Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Setelah insiden tersebut,
di masa-masa awal pemerintahannya, Presiden Soeharto secara terbuka meminta
kepada PM Lee Kuan Yew untuk memberikan keringanan hukuman kepada dua
prajurit tersebut.
Namun, ternyata
permintaan Indonesia ditolak dan Usman- Harun dieksekusi pada 17 Oktober
1968. Merespons langkah Singapura yang dianggap berlebihan kala itu, Jakarta
”membekukan” hubungan dengan Singapura.
Secara simbolik
kedatangan jenazah Usman dan Harun ke Tanah Air disambut besar-besaran.
Beberapa tahun setelah momen tersebut, Lee merasa harus memperbaiki hubungan
dengan Jakarta.
Ia mengambil langkah
yang cukup kontroversial guna meredakan hubungan Singapura-Indonesia. Pada
1973 PM Lee me-lakukan kunjungan kenegaraan.
Mendengar keinginan
Lee, Presiden Soeharto mengajukan syarat agar pemimpin Singapura itu
melakukan tabur bunga di makam Usman-Harun sebagai bentuk simpati.
Secara mengejutkan,
Lee menyetujui syarat tersebut. Apa yang dicontohkan Lee dan Soeharto
merupakan simbol bagaimana dua negara— meskipun mempunyai ganjalan sejarah—mampu
mendahulukan kepentingan nasional masing- masing dalam mengatasi tantangan
yang makin kompleks.
Setiap momen dalam
sejarah hendaknya menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya untuk mengambil
manfaat dan membumikan nilai-nilai kebangsaan di tengah perubahan zaman yang
terus berjalan.
Kini
Indonesia-Singapura memiliki tantangan untuk meningkatkan hubungan bagi
kepentingan dua bangsa. Salah satu tantangan yang masih
mengganjal—sebagaimana penulis singgung di atas—tak lain mengenai DCA dan
perjanjian ekstradisi.
Bagi Indonesia,
ekstradisi sangat mendesak karena kita membutuhkan banyak dana yang parkir di
luar negeri (termasuk Singapura) untuk membiayai pembangunan di banyak
daerah, khususnya infrastruktur.
Namun, Singapura
mengindikasikan akan menyetujui perjanjian ekstradisi bila Indonesia juga
meloloskan DCA. Ini tentu bukan langkah yang bijak karena menyatukan dua
perjanjian yang berbeda rezim sangat sulit untuk dicapai kesepakatan.
Berpikir Out of The Box
Perjanjian Kerja Sama
Pertahanan Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada 6 Mei 2007 di
Bali memuat banyak pasal yang di samping mengganggu kedaulatan kita di darat,
laut, dan udara juga dapat merusak lingkungan, ekosistem di laut, serta mengancam
keamanan para nelayan kita.
Beberapa poin krusial
dari perjanjian tersebut yang tidak mungkin untuk diratifikasi DPR RI antara
lain pasal di mana Angkatan Udara Singapura diizinkan untuk melakukan test
flight di area Alpha-1 dan latihan militer di Alpha-2 yakni di perairan
sekitar Selat Malaka.
Lalu, ada lagi pasal
yang menyatakan Angkatan Laut Singapura dengan dukungan AU bisa melakukan
latihan menembak peluru kendali sampai empat kali dalam setahun di area
Bravo.
Bagi Indonesia, secara
geopolitik area Alpha 1, Alpha 2, dan Bravo merupakan checkpoint zone di wilayah Barat NKRI. Ini zona strategis yang
tidak mungkin ada pembagian kontrol dengan negara lain karena menyalahi
prinsip kedaulatan negara.
Kedua, ada klausul
latihan mandiri bagi militer Singapura dan pelibatan negara ketiga yang
ditentukan Singapura juga tidak mungkin disetujui oleh Indonesia karena
secara psikologi politik tidak tepat dan sulit diterima.
Apalagi bila negara
ketiga ikut serta dalam latihan di darat. Sebagai negara yang meraih
kemerdekaannya melalui revolusi fisik, memori kolektif masyarakat Indonesia
cenderung menolak kehadiran tentara asing dalam jumlah besar di wilayah
daratnya.
Ketiga, dalam
dokumentasi Rapat Komisi I DPR mulai 2006 hingga 2015 dengan mitra kerjanya
seperti menteri pertahanan, panglima TNI, dan menteri luar negeri, tidak ada
perubahan sikap dari parlemen terhadap DCA.
Walaupun dibahas di
tiga periode parlemen (2004-2009, 2009-2014, dan2014-sekarang), sikap DPR
tetap sama, menolak substansi DCA yang dianggap tidak menguntungkan
Indonesia. Dengan kata lain, ke depan sulit untuk menggambarkan DCA akan
disetujui dengan konsep seperti yang ada hari ini.
Untuk keluar dari
lingkaran yang tidak berujung ini, penulis menyarankan agar pemimpin di dua
negara berpikir melampaui ihwal teknis dan pragmatis semata.
Apa yang dicontohkan
PM Lee Kuan Yew dan Presiden Soeharto dimasalalubisamenjadi best
practicesbagi pemimpin saat ini untuk berpikir out of the box.
Indonesia dan
Singapura adalah dua negara bertetangga yang memiliki saling ketergantungan
dalam banyak bidang.
Tidaklah nyaman
apabila kedekatan ini terganggu oleh beberapa pending matters yang sesungguhnya bisa dicarikan solusi dengan
pemikiran out of the box.
Perihal kerja sama
militer, harus diakui bahwa tanpa DCA pun militer Singapura kerap berlatih
dengan TNI di wilayah Indonesia. Karena sebenarnya Perjanjian Kerja Sama
Pertahanan antara dua negara sudah lama terjalin, meliputi kegiatan latihan
bersama, pendidikan, pertukaran perwira, serta visit program.
Kerja sama tersebut
diselenggarakan di bawah organisasi Annual Meeting antara panglima angkatan
bersenjata dua negara. Pola semacam ini bisa dilanjutkan di masa depan.
Lalu, mengenai
ekstradisi, Singapura harus melihat hal ini secara utuh dan tidak
menggabungkannya dalam satu paket dengan DCA karena jelas keduanyatidakberada
pada rezim yang sama.
Dengan membahasnya
secara mandiri, itu bisa diartikan bahwa Singapura juga melihat gerakan
antikorupsi global sebagai sesuatu yang penting. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar