Perda Puasa dan Empati kepada Sesama
Abdul Munir Mulkhan ;
Guru Besar; Ketua Senat UIN
Sunan Kalijaga Jogjakarta
|
JAWA POS, 24 Juni
2016
PERTANYAAN yang terus menggantung dalam
penegakan perda puasa seperti di Kota Serang adalah tergolong mungkarkah buka
warung makan saat siang? Jika tergolong mungkar, perlukah makanan dan minuman
yang dijual pedagang warung tersebut disita?
Tulisan ini bukannya mempersoalkan perda
syariah (baca: puasa). Yang perlu dijernihkan adalah bagaimana memaknai
kemungkaran dan kemakrufan, terutama dalam bulan yang penuh berkah. Alquran
sebagai pencerah kemanusiaan lebih mempromosikan kemakrufan daripada
penghancuran kemungkaran.
Saat miliaran muslim di seluruh dunia memenuhi
kewajiban puasa, itulah bulan penuh berkah dan ampunan Tuhan yang kebaikannya
lebih dari 1.000 bulan. Selama sebulan mereka berjuang memenuhi hasrat suci
laku saleh, bebas tindak mungkar dan maksiat. Setiap tempat siang di seluruh
lorong dan sudut negeri ini menjadi saksi suasana pembebasan diri dari
tindakan maksiat serta kemungkaran tersebut.
Tersedia tiga pilihan bagi muslim saat melihat
kemungkaran seperti hadis berikut. Dari Abu Sa'id Al-Khudri ra berkata: Aku
mendengar Rasul SAW bersabda: ''Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah
mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika masih
tidak mampu, dengan hatinya, tapi itulah selemah-lemahnya iman'' (HR Muslim).
Hadis nabi yang sering dirujuk saat menghadapi
kemungkaran tersebut menyediakan tiga pilihan: diubah dengan kekuatan
(biyadih; dengan tangan) secara tegas, dengan peringatan lisan, atau menolak
dalam hati. Pilihan ketiga itu menjadi indikasi kualitas keber-iman-an seseorang
yang rendah atau lemah.
Masalahnya, apakah berjualan makanan dan
minuman saat siang selama bulan Ramadan tergolong kemungkaran? Tidak 100
persen muslim yang balig menjalani puasa karena berbagai alasan. Perempuan
yang sedang menyusui atau datang bulan juga boleh tidak berpuasa. Demikian
pula mereka yang sedang sakit atau bepergian. Layanan bagi mereka yang tidak
berpuasa, baik karena alasan syarak atau bukan muslim, adalah bagian
kemakrufan kemanusiaan.
Dalam hubungan itulah, berjualan makanan dan minuman
saat siang dalam bulan Ramadan bisa berarti memenuhi kebutuhan mereka yang
sedang tidak menjalani puasa. Bukankah menolong orang lain yang membutuhkan
tergolong tindakan makruf atau baik yang dianjurkan ajaran Islam?
Di situ, tindakan satpol PP yang menyita
dagangan Bu Saeni saat membuka wartegnya ketika siang pada akhir minggu
pertama Ramadan di Kota Serang mengundang perdebatan. Alasan Bu Saeni
dianggap melanggar perda Kota Serang perlu di-tabayyun atau diklarifikasi
lebih dahulu.
Jadi, wajar jika tindakan satpol PP tersebut
mengundang reaksi netizen. Dalam tempo kurang dari 36 jam, ''tragedi'' Saeni
menghasilkan donasi lebih dari Rp 265 juta, selain bantuan dari Presiden
Jokowi.
Pada saat yang sama, muncul pertanyaan
mengenai bagaimana sebenarnya sikap yang lebih tepat dan arif bagi yang
menjalani puasa, juga bagi yang tidak berpuasa, berdasar beragam alasan?
Setiap datang bulan puasa, selalu muncul
pertanyaan apakah warung, restoran, atau kafe harus tutup. Bagaimana pedagang
dan karyawan warung, restoran, atau kafe harus memenuhi kebutuhan hidup
mereka selama bulan puasa?
Soal ini mestinya menjadi pertimbangan
penetapan peraturan daerah selama bulan puasa. Apa makna menghormati bulan
puasa, bagaimana menjalani ibadah puasa secara baik dan benar, manusiawi,
serta ikhtisaaban (atas dasar iman dan kesadaran)?
Cara mengelola ketidakpuasaan selalu menjadi
persoalan saat memasuki ibadah puasa. Apakah mereka yang tidak berpuasa harus
tidak makan di ruang terbuka sehingga warung atau restoran mesti tutup?
Bukankah mereka yang sedang menjalani puasa
harus menghormati yang tidak berpuasa? Persoalannya adalah kesediaan menerima
orang lain yang tidak sedang berpuasa apa adanya sebagai empati kepada sesama
dalam sebuah komunitas. Bahkan, bukankah Tuhan memberi kesempatan iblis untuk
menggoda manusia sehingga menjadi pengikutnya?
Sukses puasa adalah jika berlaku sabar dan
berempati kepada sesama, apa pun agama dan komunitasnya. Mereka yang tidak
sedang menjalani ibadah puasa harus diterima dan dihormati sebagai bagian
dari sabar serta empati. Baik karena memang tidak memeluk ajaran Islam atau
sedang berhalangan, safar (bepergian), sakit, atau alasan lain yang
dibenarkan syarak.
Saat Tuhan memberikan balasan berlipat atas
amal ibadah sesuai dengan kesulitan saat menjalani ibadah, bukankah makin
tinggi godaan saat puasa berarti makin tinggi peluang mendapat bonus pahala?
Bukankah orang yang sakit dan pekerja keras seperti tukang becak boleh
berbuka, selain yang safar atau bepergian?
Menghormati yang tidak berpuasa bersama
berjihad menahan nafsu makan saat melihat orang makan dengan lahap di warung
makan merupakan jalan terjal menjemput Tuhan dalam bulan puasa penuh berkah
dan ampunan Allah ini. Berkah kemanusiaan saat kitab suci diturunkan bagai
matahari menerangi muka bumi. Inilah kecerdasan spiritual berbasis God Spot (lihat Danah Zohar & Ian
Marshall), ketika seluruh tindakan dicerahi sinar ilahi, bukan nafsu
kedekatan pada-Nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar