Kamis, 30 Juni 2016

Kapolri Baru dan Akselerasi Reformasi Hukum

Kapolri Baru dan Akselerasi Reformasi Hukum

Bambang Soesatyo ;   Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar;
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
                                                   KORAN SINDO, 22 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pergantian kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akan terlaksana ketika kekecewaan masyarakat terhadap kemurnian penegakan hukum mencapai puncaknya. Kepercayaan publik terhadap semua institusi penegak hukum mendekati nol. Kapolri baru diharapkan bisa menjadi faktor yang mampu mengakselerasi progres reformasi hukum. Reformasi Indonesia sudah berproses selama hampir dua dekade.

Beberapa agenda reformasi sedang dan terus berjalan, bahkan mencatat kemajuan signifikan. Sebutlah kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi, hingga kebebasan memilih (dalam ajang pilpres, pileg, dan pilkada).

Tetapi, ketika masyarakat Indonesia membuat renungan memperingati 18 tahun perjalanan reformasi pada pekan terakhir Mei 2016, ada perasaan kecewa yang tak bisa ditutup-tutupi. Salah satu agenda utama reformasi, yakni reformasi hukum, seperti tidak mencatat progres atau kemajuan.

Alih-alih mencatat progres, semua institusi penegak hukum sebagaigardaterdepanjustruterus dirundung masalah, termasuk masalah moral.

Rangkaian masalah moral itulah yang merontokkan kepercayaan publik terhadap kemurnian praktik penegakan hukum. Kecenderungan seperti itu jangan dianggap remeh.

Ketidak percayaan dan keraguan publik terhadap kemurnian penegakan hukum berpotensi menumbuhkan keyakinan bersama tentang tidak ada kepastian hukum. Sudah begitu banyak publikasi tentang persoalan moral sejumlah oknum penegak hukum.

Dari rangkaian publikasi itu, publik mendapat gambaran bahwa di hadapan penegak hukum, salah-benar bukan ditentukan oleh fakta hukum, melainkan uang suap. Berat-ringan sanksi hukum pun tidak ditentukan oleh besar-kecil kesalahan terdakwa, melainkan lagi-lagi uang suap.

Dan, uang suap pun bisa menjadi panduan penuntutan dan vonis pengadilan. Karena penyimpangan penegakan hukum itu sangat telanjang, publik pun berkesimpulan bahwa reformasi hukum memang tidak berjalan alias tanpa progres.

Bahkan, apa yang tampak di permukaan saat ini layak untuk dimaknai sebagai kondisi darurat penegakan hukum. Begitu banyak bukti yang melandasi penilaian itu.

Misalnya, hari-hari ini dunia peradilan Indonesia terus diguncang oleh skandal suap hakim dan panitera. Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan pun sudah diacak-acak mafia hukum dan peradilan.

Pejabat MA dan sejumlah hakim serta panitera sudah dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, KPK juga menangkap sejumlah oknum jaksa. Umumnya berlatar belakang dagang perkara untuk mendapatkan uang suap.

Setiap tahun, Kejagung RI memecat puluhan jaksa nakal. Menyadari banyak jaksa berperilaku menyimpang, Kejagung dan KPK menjalin kerja sama untuk mengintai dan menyergap mereka. Institusi Polri pun tak bersih dari masalah.

Setiap tahun Polri harus memecat puluhan anggota dengan tidak hormat. Selain karena alasan indisipliner, ada juga oknum anggota Polri yang dipecat karena terlibat kasus narkoba, baik sebagai pemakai atau sekadar sebagai pelindung bandar narkoba.

Tak hanya itu, baru-baru ini ramai diberitakan pemerkosaan oleh oknum polisi terhadap gadis di Pekanbaru, Riau dan di Klungkung, Bali. Benar bahwa masih ada ribuan hakim dan jaksa yang dihormati publik. Juga masih ratusan ribu polisi yang menunjukkan perilaku baik.

Tetapi, akibat ulah segelintir oknum, citra dan reputasi institusi tercoreng. Masyarakat pun menunjukkan kecenderungan menyamaratakan penilaian yang negatif terhadap semua penegak hukum. Tidak mudah membalikkan persepsi publik yang negatif itu.

Pernyataan dari setiap pimpinan institusi untuk melakukan perbaikan internal bahkan nyaris tidak dipercaya lagi.

Mungkin karena komitmen perbaikan internal itu hanya diucapkan, tapi minim bukti. Apalagi, dalam merespons setiap kasus yang melibatkan anggota korps, institusi penegak hukum lebih menunjukkan kecenderungan membela anggota yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran hukum.

Sinergi Strategis

Di tengah memuncaknya kekecewaan masyarakat akibat praktik penegakan hukum yang sarat noda itu, Presiden Joko Widodo telah mengajukan Komisaris Jenderal Polisi Tito Karnavian sebagai calon tunggal kepala Polri.

Pilihan Presiden itu sudah mengundang banyak komentar dari para tokoh masyarakat, politisi, maupun pengamat. Sebagian besar mengapresiasi pilihan Presiden itu.

Respons masyarakat kebanyakan pun sungguh di luar perkiraan. Selain karena euforia terhadap pilihan Presiden terhadap sosok Tito Karnavian, respons itu menunjukkan kepedulian publik institusi Polri. Kepedulian itu tentu mencerminkan harapan banyak orang.

Segenap jajaran Polri patut mensyukuri perhatian yang diberikan masyarakat itu. Menurut survei yang dilakukan Indonesia Indicator (I2), keputusan Presiden Joko Widodo menetapkan Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal kepala Polri mendapat sambutan sangat positif dari netizen di media sosial Twitter.

Menurut I2, sejak 15-17 Juni 2016 pukul 17.00 WIB sebanyak 27.507 tweet menyambut antusias pilihan Jokowi itu. Kesimpulan dari respons netizen itu adalah trust dan joy.

Respons yang demikian itu tentu saja tidak sekadar mengapresiasi pilihan Presiden, tetapi juga mencerminkan harapan masyarakat terhadap peran Polri dalam penegakan hukum. Bahwa Komjen Tito memenuhi syarat sebagai kapolri sudah dipahami masyarakat.

Rekam jejak, reputasi, dan intelektualitas Tito pun sudah menjadi catatan berbagai kalangan. Pertanyaannya kemudian adalah apa yang patut diharapkan dari Komjen Tito Karnavian manakala dia menjabat kapolri nanti? Sudah barang tentu masyarakat berharap kapolri baru menggarisbawahi kenyataan bahwa reformasi hukum belum mencatat progres yang menjanjikan.

Dan, terhadap kenyataan itu, Komjen Tito diharapkan mampu menghayati betul kekecewaan masyarakat. Kesannya memang berlebihan, tetapi harapan itu relevan karena Polri adalah aparatur terdepan dalam praktik penegakan hukum di lapangan.

Memang, beban Polri saat ini cukup padat dan tidak ringan. Selain melanjutkan reformasi di tubuh Polri, kepemimpinan Komjen Tito pun harus memberi perhatian ekstra pada ancaman terorisme, penetrasi sindikat narkotika dari berbagai negara, serta modus lain dalam kejahatan lintas negara.

Tak kalah pentingnya adalah meningkatkan kewaspadaan dan kesigapan prajurit Polri merespons kebrutalan pelaku kejahatan. Belakangan ini sejumlah prajurit Polri menjadi korban tewas dan korban luka akibat serangan mematikan oleh pelaku kejahatan.

Namun, mengharapkan peran lebih dari Polri di bawah kepemimpinan Tito Karnavian pun masuk akal. Dia secara personal sudah dikenal Presiden. Masyarakat pun sudah mencatat Tito adalah sosok polisi yang cerdas dan sarat pengalaman.

Maka itu, Tito seharusnya bisa menjadi faktor yang mampu mengakselerasi reformasi hukum. Setidaknya Tito bisa memberi rekomendasi kepada Presiden tentang strategi akselerasi reformasi hukum yang mandek saat ini.

Masih dalam konteks akselerasi reformasi hukum, Polri di bawah kepemimpinan Tito perlu membangun sinergi yang lebih strategis dengan KPK. Akhir- akhir ini hanya KPK yang aktif memerangi mafia hukum dan peradilan.

Karena keterbatasan jelajah operasi, jumlah kasus yang berhasil diungkap KPK masih minim. Sedangkan publik meyakini bahwa banyak praktik mafia hukum dan peradilan yang tidak terungkap. Mengingat jelajah operasinya yang demikian luas, jelas bahwa Polri sangat bisa diandalkan untuk juga ikut memerangi mafia hukum dan peradilan itu.

Sangat disayangkan jika potensi Polri yang demikian besar itu tidak dimaksimalkan. Dengan mengerahkan intelijennya, Polri mampu berkontribusi memerangi mafia hukum dan peradilan. Pemerintahan sebelumnya pernah mengerahkan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum (PMH).

Satgas PMH itu gagal memberi hasil maksimal karena fakta membuktikan bahwa praktik mafia hukum justru makin marak sekarang ini. Pemerintahan Presiden Joko Widodo hendaknya belajar dari kegagalan memerangi mafia hukum itu.

Harap dicamkan bahwa reformasi hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena proses penegakan hukum pada begitu banyak kasus selalu dibayang- bayangi oleh aksi mafia hukum dan peradilan.

Mereka menggoda oknum polisi, jaksa, panitera, hingga oknum hakim. Berdasarkan pengalaman itu, akselerasi reformasi hukum tampaknya harus dimulai dengan memprioritaskan penindakan terhadap semua oknum penegak hukum yang berperilaku menyimpang.

Memprioritaskan penindakan bertujuan membangun efek jera. Memerangi mafia hukum di negara sebesar ini, KPK tak mungkin bekerja sendiri. Cobalah untuk mempertimbangkan perlunya bersinergi dengan Polri. Selamat bertugas kapolri baru!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar