Kapolri Baru dan Akselerasi Reformasi Hukum
Bambang Soesatyo ;
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi
Partai Golkar;
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
|
KORAN SINDO, 22 Juni
2016
Pergantian kepala
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akan terlaksana ketika kekecewaan
masyarakat terhadap kemurnian penegakan hukum mencapai puncaknya. Kepercayaan
publik terhadap semua institusi penegak hukum mendekati nol. Kapolri baru
diharapkan bisa menjadi faktor yang mampu mengakselerasi progres reformasi
hukum. Reformasi Indonesia sudah berproses selama hampir dua dekade.
Beberapa agenda
reformasi sedang dan terus berjalan, bahkan mencatat kemajuan signifikan.
Sebutlah kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi, hingga kebebasan
memilih (dalam ajang pilpres, pileg, dan pilkada).
Tetapi, ketika
masyarakat Indonesia membuat renungan memperingati 18 tahun perjalanan
reformasi pada pekan terakhir Mei 2016, ada perasaan kecewa yang tak bisa
ditutup-tutupi. Salah satu agenda utama reformasi, yakni reformasi hukum,
seperti tidak mencatat progres atau kemajuan.
Alih-alih mencatat
progres, semua institusi penegak hukum sebagaigardaterdepanjustruterus
dirundung masalah, termasuk masalah moral.
Rangkaian masalah
moral itulah yang merontokkan kepercayaan publik terhadap kemurnian praktik
penegakan hukum. Kecenderungan seperti itu jangan dianggap remeh.
Ketidak percayaan dan
keraguan publik terhadap kemurnian penegakan hukum berpotensi menumbuhkan keyakinan
bersama tentang tidak ada kepastian hukum. Sudah begitu banyak publikasi
tentang persoalan moral sejumlah oknum penegak hukum.
Dari rangkaian
publikasi itu, publik mendapat gambaran bahwa di hadapan penegak hukum,
salah-benar bukan ditentukan oleh fakta hukum, melainkan uang suap.
Berat-ringan sanksi hukum pun tidak ditentukan oleh besar-kecil kesalahan
terdakwa, melainkan lagi-lagi uang suap.
Dan, uang suap pun
bisa menjadi panduan penuntutan dan vonis pengadilan. Karena penyimpangan
penegakan hukum itu sangat telanjang, publik pun berkesimpulan bahwa
reformasi hukum memang tidak berjalan alias tanpa progres.
Bahkan, apa yang
tampak di permukaan saat ini layak untuk dimaknai sebagai kondisi darurat
penegakan hukum. Begitu banyak bukti yang melandasi penilaian itu.
Misalnya, hari-hari
ini dunia peradilan Indonesia terus diguncang oleh skandal suap hakim dan
panitera. Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan
pun sudah diacak-acak mafia hukum dan peradilan.
Pejabat MA dan
sejumlah hakim serta panitera sudah dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Selain itu, KPK juga menangkap sejumlah oknum jaksa. Umumnya berlatar
belakang dagang perkara untuk mendapatkan uang suap.
Setiap tahun, Kejagung
RI memecat puluhan jaksa nakal. Menyadari banyak jaksa berperilaku
menyimpang, Kejagung dan KPK menjalin kerja sama untuk mengintai dan
menyergap mereka. Institusi Polri pun tak bersih dari masalah.
Setiap tahun Polri
harus memecat puluhan anggota dengan tidak hormat. Selain karena alasan
indisipliner, ada juga oknum anggota Polri yang dipecat karena terlibat kasus
narkoba, baik sebagai pemakai atau sekadar sebagai pelindung bandar narkoba.
Tak hanya itu,
baru-baru ini ramai diberitakan pemerkosaan oleh oknum polisi terhadap gadis
di Pekanbaru, Riau dan di Klungkung, Bali. Benar bahwa masih ada ribuan hakim
dan jaksa yang dihormati publik. Juga masih ratusan ribu polisi yang
menunjukkan perilaku baik.
Tetapi, akibat ulah
segelintir oknum, citra dan reputasi institusi tercoreng. Masyarakat pun
menunjukkan kecenderungan menyamaratakan penilaian yang negatif terhadap
semua penegak hukum. Tidak mudah membalikkan persepsi publik yang negatif
itu.
Pernyataan dari setiap
pimpinan institusi untuk melakukan perbaikan internal bahkan nyaris tidak
dipercaya lagi.
Mungkin karena
komitmen perbaikan internal itu hanya diucapkan, tapi minim bukti. Apalagi,
dalam merespons setiap kasus yang melibatkan anggota korps, institusi penegak
hukum lebih menunjukkan kecenderungan membela anggota yang diduga terlibat
dalam kasus pelanggaran hukum.
Sinergi Strategis
Di tengah memuncaknya
kekecewaan masyarakat akibat praktik penegakan hukum yang sarat noda itu,
Presiden Joko Widodo telah mengajukan Komisaris Jenderal Polisi Tito
Karnavian sebagai calon tunggal kepala Polri.
Pilihan Presiden itu
sudah mengundang banyak komentar dari para tokoh masyarakat, politisi, maupun
pengamat. Sebagian besar mengapresiasi pilihan Presiden itu.
Respons masyarakat
kebanyakan pun sungguh di luar perkiraan. Selain karena euforia terhadap
pilihan Presiden terhadap sosok Tito Karnavian, respons itu menunjukkan
kepedulian publik institusi Polri. Kepedulian itu tentu mencerminkan harapan
banyak orang.
Segenap jajaran Polri
patut mensyukuri perhatian yang diberikan masyarakat itu. Menurut survei yang
dilakukan Indonesia Indicator (I2), keputusan Presiden Joko Widodo menetapkan
Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal kepala Polri mendapat sambutan
sangat positif dari netizen di media sosial Twitter.
Menurut I2, sejak
15-17 Juni 2016 pukul 17.00 WIB sebanyak 27.507 tweet menyambut antusias
pilihan Jokowi itu. Kesimpulan dari respons netizen itu adalah trust dan joy.
Respons yang demikian
itu tentu saja tidak sekadar mengapresiasi pilihan Presiden, tetapi juga
mencerminkan harapan masyarakat terhadap peran Polri dalam penegakan hukum.
Bahwa Komjen Tito memenuhi syarat sebagai kapolri sudah dipahami masyarakat.
Rekam jejak, reputasi,
dan intelektualitas Tito pun sudah menjadi catatan berbagai kalangan.
Pertanyaannya kemudian adalah apa yang patut diharapkan dari Komjen Tito
Karnavian manakala dia menjabat kapolri nanti? Sudah barang tentu masyarakat
berharap kapolri baru menggarisbawahi kenyataan bahwa reformasi hukum belum
mencatat progres yang menjanjikan.
Dan, terhadap kenyataan
itu, Komjen Tito diharapkan mampu menghayati betul kekecewaan masyarakat.
Kesannya memang berlebihan, tetapi harapan itu relevan karena Polri adalah
aparatur terdepan dalam praktik penegakan hukum di lapangan.
Memang, beban Polri
saat ini cukup padat dan tidak ringan. Selain melanjutkan reformasi di tubuh
Polri, kepemimpinan Komjen Tito pun harus memberi perhatian ekstra pada
ancaman terorisme, penetrasi sindikat narkotika dari berbagai negara, serta
modus lain dalam kejahatan lintas negara.
Tak kalah pentingnya
adalah meningkatkan kewaspadaan dan kesigapan prajurit Polri merespons
kebrutalan pelaku kejahatan. Belakangan ini sejumlah prajurit Polri menjadi
korban tewas dan korban luka akibat serangan mematikan oleh pelaku kejahatan.
Namun, mengharapkan
peran lebih dari Polri di bawah kepemimpinan Tito Karnavian pun masuk akal.
Dia secara personal sudah dikenal Presiden. Masyarakat pun sudah mencatat
Tito adalah sosok polisi yang cerdas dan sarat pengalaman.
Maka itu, Tito
seharusnya bisa menjadi faktor yang mampu mengakselerasi reformasi hukum.
Setidaknya Tito bisa memberi rekomendasi kepada Presiden tentang strategi
akselerasi reformasi hukum yang mandek saat ini.
Masih dalam konteks
akselerasi reformasi hukum, Polri di bawah kepemimpinan Tito perlu membangun
sinergi yang lebih strategis dengan KPK. Akhir- akhir ini hanya KPK yang
aktif memerangi mafia hukum dan peradilan.
Karena keterbatasan
jelajah operasi, jumlah kasus yang berhasil diungkap KPK masih minim.
Sedangkan publik meyakini bahwa banyak praktik mafia hukum dan peradilan yang
tidak terungkap. Mengingat jelajah operasinya yang demikian luas, jelas bahwa
Polri sangat bisa diandalkan untuk juga ikut memerangi mafia hukum dan
peradilan itu.
Sangat disayangkan
jika potensi Polri yang demikian besar itu tidak dimaksimalkan. Dengan
mengerahkan intelijennya, Polri mampu berkontribusi memerangi mafia hukum dan
peradilan. Pemerintahan sebelumnya pernah mengerahkan Satuan Tugas (Satgas)
Pemberantasan Mafia Hukum (PMH).
Satgas PMH itu gagal
memberi hasil maksimal karena fakta membuktikan bahwa praktik mafia hukum
justru makin marak sekarang ini. Pemerintahan Presiden Joko Widodo hendaknya
belajar dari kegagalan memerangi mafia hukum itu.
Harap dicamkan bahwa
reformasi hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena proses penegakan
hukum pada begitu banyak kasus selalu dibayang- bayangi oleh aksi mafia hukum
dan peradilan.
Mereka menggoda oknum
polisi, jaksa, panitera, hingga oknum hakim. Berdasarkan pengalaman itu,
akselerasi reformasi hukum tampaknya harus dimulai dengan memprioritaskan
penindakan terhadap semua oknum penegak hukum yang berperilaku menyimpang.
Memprioritaskan
penindakan bertujuan membangun efek jera. Memerangi mafia hukum di negara
sebesar ini, KPK tak mungkin bekerja sendiri. Cobalah untuk mempertimbangkan
perlunya bersinergi dengan Polri. Selamat bertugas kapolri baru! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar