Ketika China Menguasai Dunia
Rahman Mangussara ;
Koordinator Komunitas Buku dan
Film OJK
|
KORAN SINDO, 28 Juni
2016
“China adalah raksasa tidur, biarkan dia tertidur, sebab bila
dia bangun, akan mengejutkan dunia.”
Berdiri di atas
panggung berbentuk teater yang disediakan untuk undangan luar negeri di
Tiananmen, persis di depan foto Mao Zedong yang tergantung kokoh di tembok
raksasa di pinggir lapangan, saya bersama sejumlah jurnalis dari berbagai
negara Asia yang diundang Kementerian Luar Negeri China untuk menghadiri
perayaan ulang tahun Partai Komunis China pada awal 2000-an memandang dengan
takjub parade otot militer negara ini.
Rudal-rudal jelajah,
pesawat tempur, dan puluhan mesin pembunuh lainnya bergerak lambat melintasi
penonton yang berdecak kagum, tidak terkecuali saya. Puluhan ribu warga
Beijing yang berbaur dengan undangan berteriak seperti paduan suara: hidup
China. Staf Kementerian Luar Negeri China yang mendampingi kami sebagai
penerjemah dengan lancar memproklamirkan bahwa semua mesin militer yang
menakutkan itu buatan China.
Bagi saya, kebenaran
informasi itu tidaklah penting sebab apakah itu buatan China atau Rusia,
pesan yang ingin disampaikannya sama jelasnya: hati-hati dengan kami. Di
bawah cuaca pagi yang segar, saat itu kualitas udara Beijing masih sangat
bersih, saya bertanya-tanya apakah pernyataan Napoleon dua ratus tahun silam
yang lebih mirip ramalan yang dikutip di awal tulisan ini akan menjadi
kenyataan? Ya... Napolen benar belaka.
China akan menguasai
dunia, tapi bukan dalam pengertian militer, melainkan dalam bidang ekonomi.
Dua abad setelah Napoleon berkata seperti itu, China melangkah ke panggung
dunia sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua, menyalip negara-negara
maju lain. Pengamat yang paling optimistis sekalipun tidak pernah
membayangkan ini akan menjadi kenyataan.
Beberapa tahun lalu
sebuah survei global menemukan bahwa masyarakat Barat, terutama di Eropa,
mengkhawatirkan ekonomi China akan mendominasi dunia. Seorang akademisi dari London School of Economic, bernama
Martin Jacques, membuat perkiraan mencengangkan bahwa China akan menguasai
dunia, menjadi negara dengan keperkasaan ekonomi nomor satu, mendahului
Amerika dalam sepuluh tahun mendatang atau paling telat lima belas tahun
lagi.
Dalam bukunya yang
berjudul When China Rules The World,
Jacques mengatakan, jika waktu itu tiba, bahasa Mandarin akan menggantikan
bahasa Inggris sebagai lingua franca. Setidak-tidaknya menjadi bahasa kedua dalam
pergaulan dunia. Mungkin perkiraan Jaques terlalu berlebihan, mengingat
pertumbuhan ekonomi China dalam beberapa waktu terakhir ini yang merosot di
bawah 10% per tahun.
Namun, itu soal waktu
belaka. Sejumlah fakta yang kita saksikan belakangan ini berbicara jelas
tentang arah dan pencapaian negara ini. Coba kita periksa beberapa di
antaranya. Industrial and Commercial
Bank of China (ICBC) adalah bank yang kumuh dan loyo kekurangan darah,
khas perusahaan milik negara komunis, sebelum go public pada 2006.
Saat menjual sahamnya
di bursa Hong Kong, bank ini meraup USD19 miliar yang menepatkannya sebagai
yang terbesar dalam sejarah penawaran saham. Dalam tiga tahun terakhir ini,
ICBI, yang salah satu cabangnya di luar negeri berkantor megah di Jalan Sudirman
Jakarta, menjadi bank nomor satu versi majalah Forbes sebagai emiten terbesar
dunia. Setahun setelah penjualan sahamnya, ICBC sudah menancapkan
kuku-kukunya di luar negeri.
Pada 2017, ICBC
mencaplok 20% saham Standar Bank, bank terbesar di Afrika. Pengambilalihan
ini bukan tanpa alasan yang jelas. Pertimbangan di belakang akuisisi ini
sangat jelas: menguasai dunia. Pada awal-awal reformasi ekonomi China, John
dan Doris Naisbit mencatat bahwa badanbadan usaha negara adalah kuburan bagi
begitu banyak aset tak produktif.
Namun, semua
kebobrokan itu berubah setelah Beijing mengambil langkah cerdik dengan
membiarkan investor luar negeri mengelola aset-aset buruk itu. Gaya manajemen
juga berubah dari diktator dan kuno menjadi partisipatif dan modern. Jadi
tidaklah mengherankan bila saat ini China enterprise berada di mana-mana di
ujung-ujung dunia, mengambil alih perusahaan-perusahaan bagus.
Aksi korporasi yang
paling mutakhir seperti ditulis KORAN SINDO (9 Juni 2016), pembelian
mayoritas saham klub sepak bola Inter Milan oleh perusahaan ritel China Suning Commerce, menyusul
sebelumnya pembelian perusahaan market place berbasis di Singapura, Lazada,
oleh Alibaba.
KORAN SINDO mencatat
nilai akuisisi gabungan BUMN dan swasta China di luar negeri tidak kurang
dari USD109 miliar tahun ini. Nilai itu akan terus bertambah seiringan akan
banyaknya perusahaan China yang membeli saham-saham perusahaan asing di luar
negeri.
Ketika negara-negara
Barat mengalami kemerosotan ekonomi pada 2008, negara-negara industri itu
berpaling ke Beijing untuk meminta negara itu membeli surat-surat utang
mereka dan memberi pinjaman. Peran negara ini dalam perekonomian dunia sudah
sangat jelas.
Saat dibawa
berkeliling mengunjungi perusahaan-perusahaan negara, saya datang dengan
pemahaman bahwa BUMN ini pastilah kumuh dan tidak bersemangat, namun gambaran
saya itu sepenuhnya runtuh setelah melihat langsung kantor dan fasilitas
produksi mereka yang modern. Tapi, waktu itu saya tidak membayangkan lompatan
sehebat seperti saat ini. “Ah .. paling
juga akan mengekor di belakang Indonesia,” begitu pikiran saya waktu itu.
Saya salah sepenuh-penuhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar