Tragedi Orlando, Self-radicalization,
dan Lone Wolf Terrorist
Amira Paripurna ;
Kandidat PhD di School of Law
University of Washington-USA dan Staf Pengajar Hukum Pidana di Universitas
Airlangga Surabaya; Saat ini sedang menyelesaikan penulisan disertasi ''The
Use of Intelligence in Indonesian Counter-terrorism Policing''
|
JAWA POS, 22 Juni
2016
TRAGEDI penembakan di Orlando, Amerika
Serikat, (12/6) mengingatkan kita betapa serangan lone wolf terrorist semakin
marak. Lone wolf terrorist adalah seseorang yang melakukan tindakan kekerasan
dalam rangka memberikan dukungan terhadap suatu kelompok, gerakan, dan
ideologi tertentu.
Dalam melakukan tindakan kekerasannya, pelaku
melakukan secara tunggal. Terlepas sama sekali dari perintah ataupun struktur
organisasi dan tidak mendapat sokongan materi dari organisasi yang
didukungnya. Pelaku dalam hal ini hanya simpatisan tunggal, mendapat
pengaruh, dan termotivasi oleh ideologi dan kepercayaan dari organisasi
terkait.
Meski angkanya belum begitu besar, di AS,
setidaknya sejak pasca serangan 11 September di tahun 2001 hingga 2013,
tercatat telah ada 45 serangan lone wolf. Kebanyakan serangan ini menggunakan
senjata api dan bom.
Tidak hanya di AS, negara-negara Eropa seperti
Norwegia, Inggris, Prancis, dan Belgia juga pernah menghadapi serangan
serupa. Misalnya yang pernah terjadi di tahun 2011, Anders Breivik membunuh
77 orang dalam serangan bom di Oslo dan penembakan di Pulau Utoya, Norwegia.
Selanjutnya di tahun 2012, Mohammed Merah
menembak 7 orang di Toulouse, Prancis. Dua tahun berselang, Mehdi Nemmouche
yang menyerang sebuah sinagog di Belgia mengakibatkan empat orang tewas.
Munculnya teroris lone wolf pasca 11 September
2001 di AS dan di Eropa ini sering kali disebabkan oleh personal dan
political grievances. Yaitu, rasa frustrasi pribadi dicampur dengan kemarahan
dan kekecewaan.
Pemicunya, pandangan dan perasaan
ketidakadilan yang dialami kalangan muslim sebagai hasil operasi militer yang
dilakukan AS di negara-negara Timur Tengah serta aliansi AS-Israel. Gabungan
beberapa faktor tersebut telah mendorong seseorang berpikir ekstrem dan
memilih mengambil tindakan kekerasan.
Orang-orang ini tidak tercatat sebagai bagian
dari kelompok-kelompok gerakan teroris yang dikenal. Mereka tidak menerima
dana, pelatihan, atau bantuan operasional dari sel atau kelompok jaringan
teroris.
Pertautan mereka dengan gerakan-gerakan
kelompok teroris internasional ada pada tataran pikiran. Mereka terinspirasi
oleh ideologi-ideologi garis keras, semisal Al Qaeda atau ISIS, melalui
internet. Jihad global yang dipropagandakan dan dipublikasikan secara online
telah pula meningkatkan jumlah individu yang mengalami self-radicalization.
Ancaman Lone Wolf di
Indonesia
Gejala munculnya lone wolf teroris di Indonesia memang belum tampak. Teroris di
Indonesia umumnya masih bekerja secara kelompok dan berjejaring. Namun, bukan
berarti Indonesia sepenuhnya aman dari lone wolf. Ancaman tersebut mungkin
saja bisa datang dari para veteran perang Syria yang kembali ke tanah air.
Mengingat munculnya lone wolf terrorist dipicu
oleh proses self-radicalization, pencegahan dengan cara-cara yang bijak agar
individu-individu tidak dengan mudah terpapar dengan pemikiran-pemikiran atau
ideologi radikal perlu dilakukan. Meski memang tidak mudah dilakukan.
Sebab, di negara demokratis, kita tidak
mungkin dan tidak boleh semena-mena menangkap orang-orang yang memikirkan
atau memiliki pemikiran atau ideologi radikal.
Ketidakberesan pengelolaan negara juga dapat
memicu kondisi-kondisi ketidakadilan terhadap masyarakat. Dan, pada akhirnya
memantik seseorang mengalami self-radicalization.
Yang juga perlu diingat, meski saat ini umumnya terkait dengan ideologi
radikal Islam, lone wolf dapat pula ditemukan pada semua tipe ideologi
politis dan agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar