Fitri dengan Mengalami-Nya
Radhar Panca Dahana ;
Budayawan
|
KOMPAS, 30 Juni 2016
Jika Anda bersama
keluarga atau teman-teman makan di restoran untuk makan bersama secara
prasmanan, apakah Anda akan memesan masakan dengan porsi sesuai dengan jumlah
anggota rombongan? Mungkin hampir tidak pernah.
Kita akan pesan porsi
lebih dari kebutuhan atau porsi jumlah rombongan sehingga kerap di usai makan
bersama beberapa sajian tersisa, bahkan cukup banyak. Lalu beberapa orang
dengan "sukarela" coba menghabiskan walau mungkin perutnya sudah
penuh.
Begitu pula jika kita
menyelenggarakan buka bersama atau halalbihalal, makanan akan dipesan porsi
yang dilebihkan. Bukankah begitu dengan jumlah pakaian Anda? Mungkin Anda
sudah memiliki koleksi yang bisa dipakai bertukar ganti untuk seminggu,
tetapi Anda akan membeli lagi, hingga mungkin bisa untuk berganti-ganti untuk
dua minggu atau sebulan. Bukankah banyak wanita masih terus memburu butik,
toko baju, atau sale! walau koleksinya sudah satu lemari.
Kita adalah manusia
dan masyarakat yang berlebih. Tetapi bukan dalam arti pahala, sosial maupun
religius, atau harta dan kuasanya. Namun, berlebih dalam mengonsumsi,
tepatnya berlebih dalam memenuhi hasrat atau libido biologis dan mental kita.
Inilah satu gaya atau cara hidup yang saya sebut eksesif, yang sesungguhnya
menjadi akibat lanjut dari logika, praktik dan penetrasi industri berbasis
ideologi kapitalistik.
Bukankah kita kerap
mendengar terjadi antrean yang begitu panjang di sebuah toko saat
diumumkannya new release, new series, atau new trend dari produk industri
tertentu? Mungkin Anda pernah mengisi salah satu titik dari antrean itu.
Sebuah riset yang
dilakukan perusahaan gawai ternama dunia, mengumumkan hasil risetnya di
Indonesia, ternyata jumlah pemilik gawai modern di negeri ini mencapai lebih
dari 330 juta. Dengan masih adanya sebagian penduduk yang tidak mampu membeli
atau mengakses perangkat terkini itu, bisa jadi negeri ini memiliki angka
statistik dua gawai per kapita. Di mana lebih dari 50 persen dari pemilik itu
mengganti gawainya sekali dalam setahun, bukan karena rusak, melainkan karena
ketinggalan zaman oleh new edition tadi.
Hidup eksesif itu
tentu bisa kita amati di tiap item yang ada di tubuh kita, atau di dalam
rumah kita. Gaya dan perilaku itu pun bisa menerobos keluar dari hal-hal yang
material dan konsumtif, tetapi juga pada jabatan, kekuasaan, keuntungan,
ketenaran, dan seterusnya.
Kelebihan yang "kurang"
Dalam arus kuat
semacam tsunami halus itu, kita bersama masih menjalankan satu perintah agama
untuk melakukan puasa di bulan Ramadhan. Satu jenis ibadah yang kita mafhumi
maksudnya, antara lain untuk mengerem atau mengontrol nafsu dan ambisi kita
yang eksesif itu. Namun, sayang, dalam kenyataan hal yang bertentangan justru
terjadi. Pengeluaran kita untuk Ramadhan-apalagi menjelang Lebaran (Idul
Fitri)-membengkak berkali lipat, yang bahkan tunjangan hari raya (THR) pun
tidak mampu mengatasinya sehingga kita pun berkejaran usaha sampingan
kanan-kiri untuk mendapatkan "THR-THR" lain, bahkan dengan cara
yang mengkhianati puasa itu sendiri.
Apa yang diajarkan
puasa atau Ramadhan sebenarnya lebih dari sekadar mengerem atau mengontrol,
katakanlah mencukupkan kebutuhan kita. Justru Islam dan Nabi-nya yang mulia
meminta dan mencontohkan untuk hidup yang "kurang". Artinya di
bawah kecukupan. Jika kita biasa makan tiga-empat kali, plus jajan
kanan-kiri, di bulan Ramadhan kita diminta hanya makan dua kali. Kita
diajarkan mengurangi nafsu di balik pandangan, pendengaran, hingga tidur malam
yang terlalu lelap dan lama.
Inilah sebuah imperasi
personal yang juga sosial, kultural, dan spiritual untuk kita bisa menghadapi
dan mengatasi kehidupan keras (akibat praktik industrial/kapitalisme di atas,
misalnya) yang ternyata sudah diprediksi satu setengah milenium lalu itu.
Dan, ternyata hidup kurang itu tidak mengurangi apa pun dari hidup yang biasa
kita jalani selama ini. Hidup kurang akan membuat "pendapatan" kita
pun menjadi mendapatkan lebihan.
Lebihan ini, secara
masif, apalagi ditambah rezeki "tambahan Ramadhan" menjadi harta
atau potensi yang luar biasa untuk, misalnya digunakan dengan tujuan-tujuan
bermanfaat bagi lain orang (masyarakat). Mulai dari memberi infak, zakat,
santunan, beasiswa, hingga turut membantu proses pembangunan dengan membeli
saham, sukuk, obligasi negara atau bergotong royong membangun jembatan, tanpa
menunggu DPRD mengalokasikannya dalam APBD. Atau sekurangnya menjadi simpanan
masa depan anak, tanpa harus terjerat dalam skema rumit lembaga-lembaga
keuangan.
Apa yang lebih dahsyat,
nafsu eksesif untuk mendapatkan lebih dan lebih yang tidak dipraktikkan itu
akan menciptakan ruang lebar bagi orang lain-yang lebih membutuhkan-untuk
mengambil peluang atau rezeki itu. Bukan hanya pemerataan dan pemberdayaan
publik yang terjadi, tetapi juga kesejahteraan kolektif yang kemudian menjadi
efeknya. Bahkan ia berpotensi menjadi preseden di mana kesejahteraan kolektif
itu diciptakan lebih oleh publik ketimbang kebijakan pemerintah/negara.
Di tingkat personal ia
akan menciptakan kenyamanan batin dan pikiran karena kita telah melakukan
sesuatu yang mulia. Bahkan mungkin melebihi apa yang dilakukan oleh para
penguasa, petinggi, dan elite lainnya. Puasa jauh lebih dalam makna fungsi
sosial, kultural, hingga spiritualnya.
Apa yang jauh lebih dahsyat
lagi bisa kita dapat dari praktik ibadah di atas, peng-"kurang"-an
apa yang kita ambil atau rebut (paksa atau tidak) dari kehidupan material itu
akan mengangkat kita pada capaian imaterial yang lebih dalam di hati atau
batin kita. Hidup kurang yang ternyata tak kurang itu segera memberi kita
tidak hanya pemahaman, pengalaman, tetapi kedekatan pada hal-hal yang
imaterial, baik itu hati nurani hingga hal-hal bersifat supranatural atau
spiritual.
Sebagaimana diajarkan
oleh banyak tradisi spiritual di mana pun, juga agama-agama di dunia, praksis
hidup yang kurang menjadi semacam ritus atau proses kita mencuci diri.
Membersihkan kotoran-kotoran atau kecenderungan-kecenderungan satanik dalam
diri kita yang negatif dan destruktif. Apa yang dibersihkan sebenarnya adalah
setapak jalan menuju kedalaman hati kita sendiri, yang selama ini berkelambu
atau tertutup oleh layer-layer kotor dari perilaku, cara berpikir, sikap
hidup kita yang penuh nafsu dan amarah.
Inilah sebenarnya inti
jihad itu. Jihad adalah sebuah perjalanan, yang memang tidak mudah bahkan
sulit sekali, tetapi sekali kita mampu menjalaninya dengan ikhlas dan
istikamah, kita akan mendapat semacam terang (enlightment) karena jalan
menuju hati yang ilahiah itu kini mulai terbuka. Jiwa dan pikiran pun mantap
menjalaninya karena kenyamanan itu seperti siraman kesejukan dari gersang di
batin kita yang begitu lama.
Hal itu terjadi jika
sikap hidup kurang itu tak hanya dipraktikkan dalam Ramadhan. Ramadhan,
menurut banyak kalangan, adalah sebuah latihan untuk hidup dengan amalan yang
baik. Tapi kenapa latihan itu kita lakukan bertahun-tahun, puluhan bahkan
selamanya dengan cara dan kualitas yang sama, tanpa terwujudnya peningkatan
kesalehan, baik secara sosial maupun spiritual? Mungkin bagus sekali jika bertemu
akhir Ramadhan kita mempraktikkan apa yang sudah kita latih. Islam pun akan
hidup tidak dalam bunyi yang keras, apalagi membentak, yang dilantangkan
jutaan pelantang suara, dalam slogan atau tawaran kesucian yang menyesatkan,
tetapi dalam ketenangan yang mendamaikan, dalam pergolakan yang terjadi di
dalam diri tiap umat, bukan di luarnya.
Aku fitri bersama-Nya
Masih ada yang lebih
penting dari itu semua. Di hari-hari akhir puasa, saat menjelang Lebaran,
praktik puasa di atas yang dijalani dengan ikhlas, istikamah, dan tawadu akan
memberi kita sebuah saat atau momen di mana hidup kurang yang teguh,
konsisten, dan ikhlas itu dapat "pelengkap" kekurangannya. Ia bukan
satu hal yang bisa dilihat, didengar, apalagi dimaterialisasi bahkan oleh pikiran
(logika).
Pelengkap itu adalah
sebuah pengalaman monumental, di mana kita seakan mendapatkan cahaya yang
tidak hanya menciptakan terang (bagi kegelapan jalan ke hati), bahkan karena
saking terangnya ia seperti melenyapkan diri (eksistensi) kita. Kita mendapatkan
momen untuk mengalami-Nya, bersama-Nya, dengan kesadaran kemanusiaan kita
yang terintegrasi, tidak hanya akal, jiwa, batin, tetapi juga tubuh hingga
kenyataan sosial kita. Kita menyatu-diri begitu kuatnya sehingga yang tinggal
adalah sesuatu yang tak terlenyapkan, sesuatu yang juga ada dalam alam
natur(al) hingga supranatural. Kita seperti hilang, tetapi sesungguhnya
menyatu dengan semua itu.
Maka, Lebaran pun akan
menjadi mudik yang sesungguhnya, secara spiritual, bukan sekadar kebiasaan
atau tradisi meneguhkan kembali eksistensi kita yang dihancurkan (atau kita
hancurkan sendiri) oleh kehidupan dan peradaban kota (modern). Lebaran akan
menjadi momen yang "lebar", begitu lebarnya hingga kita tidak
melihat batas-batasnya, tetapi kita penuh mengisinya. Lebaran pun menjadi
"fitri" karena berkah dan hidayah-Nya yang memang melulu fitri
berisi.
Kesadaran terbaik dari
Idul Fitri seperti terurai di atas tercipta dan kita mafhum bahwa Dia
sesungguhnya tidak pernah meninggalkan umat atau makhluknya. Dia selalu hadir,
tanpa tempat tanpa waktu, di mana dan kapan saja, sehingga peluang untuk
mengalami-Nya tidak hanya tersua hanya pada saat puasa dan Ramadhan. Tapi,
ketika kita sudah meramadhankan setiap bulan, mempuasakan keiblisan kita,
kita memiliki peluang untuk didatangi hidayah itu. Kita bisa mengalami-Nya,
kapan saja dan di mana saja. Bahkan sesungguhnya Dia hadir dalam tiap inci
dan tiap saat kehidupan kita. Namun, karena hidup kita dipepati hijab
(layer), kita pun kehilangan peluang itu untuk mengalami-Nya, kita mengoleksi
kegelapan jalan setapak menuju-Nya.
Maka, betapa indah
Lebaran jika ia menjadi momen awal kita untuk mendapat tamu hidayah, karena
kita sudah menjadi makhluk yang pantas untuk dihampiri utusan-Nya itu. Betapa
luar biasa jika masyarakat kita mulai diisi manusia-manusia semacam itu, yang
tidak pernah unjuk apa pun, apalagi unjuk rasa, kecuali unjuk amalan yang
semata diabdikan pada manusia lain (masyarakat) dan secara langsung juga
untuk-Nya.
Betapa cantik kau
manusia jika tidak cuma berpikir atau berucap-apalagi berlagak-dengan
simbol-simbol agama murahan, tetapi lebih berhati alias berbuat dengan nurani
Islam yang terus belajar (iqra) semata untuk meninggikan keilahian dalam
dirinya. Tidak perlu Ramadhan, maka kita akan menjumpai Lebaran dan
kefitrian: kapan saja, di mana saja. Bahkan mungkin tanpa satu ayat pun kita
lidahkan hanya untuk mendemonstrasikan keislaman kita. Islam sesungguhnya
bukan dalam kata, tetapi dalam lakunya. Itulah Indonesia dan Islam yang kita
damba: perkasa, teguh, luhur, dan penuh adab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar