Membaca RAPBNP 2016: Pentingnya Kredibilitas
Mukhamad Misbakhun ;
Anggota Komisi XI DPR RI
|
KORAN SINDO, 21 Juni
2016
Pemerintah mengajukan
RAPBNP tahun 2016 kepada DPR sebagai langkah menyesuaikan perubahan asumsi
dasar ekonomi makro.
Selain itu, untuk
menampung perubahan pokok kebijakan fiskal dalam rangka mengamankan
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 dan tetap
menjaga pencapaian sasaran pembangunan nasional.
Beberapa variabel
asumsi dasar ekonomi makro yang berdampak mengurangi defisit atau menambah
surplus terhadap postur RAPBNP tahun 2016 adalah peningkatan pertumbuhan
ekonomi, kenaikan inflasi, peningkatan Indonesian Crude Price (ICP), serta
kenaikan liftingminyak dan gas bumi.
Peningkatan pada asumsi
dasar ekonomi makro tersebut akan berdampak langsung pada kenaikan pendapatan
negara, terutama pada penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak
(PNBP), dan berdampak tidak langsung terhadap kenaikan anggaran transfer ke
daerah, terutama dana bagi hasil (DBH).
Sesuai perhitungan
analisis sensitivitas, peningkatan besaran asumsi dasar ekonomi makro
diharapkan berdampak pada peningkatan pendapatan negara yang lebih tinggi
dibandingkan kenaikan belanja negara.
Akibat itu,
peningkatan tersebut berdampak pada pengurangan defisit anggaran. Yang perlu
dicermati adalah beberapa faktor perkembangan ekonomi yang memengaruhi
pelaksanaan APBN.
Pertama, kondisi
ekonomi global dan domestik yang memengaruhi asumsi dasar ekonomi makro, di
mana yang sangat signifikan adalah harga minyak mentah Indonesia dan nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Kedua, tidak
tercapainya target pendapatan negara pada 2015, khususnya sektor perpajakan
yang menjadi dasar penghitungan dari target pendapatan negara pada APBN 2016.
Pada 2015 realisasi penerimaan perpajakan tercatat sebesar 83,3% dari target
dalam APBNP 2015 sebagai akibat perlambatan ekonomi, terutama turunnya
permintaan pada sektor industri pengolahan dan pertambangan.
Ketiga, pelebaran
besaran defisit anggaran. Perkiraan penurunan realisasi pendapatan negara
dari target APBN 2016, dan diiringi dengan komitmen alokasi belanja negara
yang masih mengacu pada APBN 2016, mengakibatkan potensi pelebaran defisit
anggaran hingga melebihi ambang batas.
Sesuai UU Nomor 17/
2003 tentang Keuangan Negara, jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi
tidak melebihi 3% dari produk domestik bruto.
Perubahan Postur RAPBNP
2016 Pendapatan negara
2016 diperkirakan mengalami penurunan sebesar Rp88,045 triliun dari APBN
2016. Penurunan tersebut terutama akibat penurunan PNBP sebesar Rp68,437
triliun dan penurunan penerimaan perpajakan sebesar Rp19,550 triliun.
Rendahnya realisasi
penerimaan perpajakan serta realisasi lifting dan harga minyak mentah
Indonesia (ICP) selama 2015 menyebabkan pemerintah menurunkan target
penerimaan perpajakan pada RAPBNP 2016 menjadi Rp1.527,113triliun, yang
utamanya disebabkan penerimaan PPh migas dan PPN.
Dalam upaya mencapai
target penerimaan perpajakan serta mengamankan tax ratio, pemerintah
melakukan perbaikan sektor perpajakan antara lain: (1) peningkatan kepatuhan
wajib pajak, (2) peningkatan tax ratio
dan tax buoyancy, (3) peningkatan tax coverage melalui penggalian
potensi perpajakan sektor unggulan, (4) penguatan dan perluasan basis data
perpajakan, serta (5) pelaksanaan tax
amnesty/ voluntary disclosure.
Dengan upaya-upaya
tersebut, tax ratio (arti sempit) dalam RAPBNP 2016 ditargetkan sebesar
12,08%, sedangkan tax ratio dalam arti luas (termasuk penerimaan SDA migas
dan pertambangan umum) ditargetkan sebesar 12,44%. Belanja negara
diproyeksikan mencapai Rp.2.047,841 triliun, atau turun 2,3% dari pagu APBN
2016.
Belanja negara pada
2016 meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.289,537 triliun serta
transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp758.303,8 miliar.
Belanja pemerintah
pusat dalam RAPBNP 2016 diperkirakan lebih rendah dari APBN 2016, terutama
disebabkan kebijakan penghematan dan pemotongan belanja kementerian
negara/lembaga (K/ L).
Sedangkan penurunan
dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi khusus (DAK) merupakan kontribusi
terbesar dari penurunan transfer ke daerah dan dana desa.
Pentingnya Kredibilitas
Pemerintahan Joko Widodo
(Jokowi) berjalan di tengah ketidakpastian global yang entah kapan berakhir.
Ekonomi di Eropa dan Jepang masih terpuruk.
Pemulihan ekonomi
Amerika Serikat pun belum solid. China, walaupun ekonominya mengarah ke
kondisi yang lebih stabil, risiko pelemahannya masih tinggi.
Kondisi ini
menyebabkan PDB ekspor Indonesia terus menyusut dari Rp599,3 triliun pada
triwulan I 2015 menjadi Rp533,6 triliun pada triwulan I 2016.
Situasi ini disikapi
pemerintah dengan menerbitkan sejumlah paket kebijakan yang diharapkan segera
berdampak pada perekonomian. Paket kebijakan diterbitkan sejalan dengan
ekstensifikasi pajak untuk peningkatan penerimaan pajak.
Pemerintah juga
berharap banyak pada pemberlakuan tax amnesty atau pengampunan pajak.
Berbekal harapan yang tinggi pada paket-paket kebijakan dan keberhasilan
upaya penerimaan pajak, pemerintah merancang belanja yang ambisius.
Nyatanya perhitungan
tersebut meleset. Ketidaksiapan birokrasi menyebabkan paket kebijakan tidak
dapat diimplementasikan dengan mudah.
Ditjen Pajak kesulitan
memperluas basis wajib pajak di tengah ekonomi yang terpuruk saat ini.
Sementara upaya mengundangkan tax amnesty mendapat banyak hambatan.
Banyak pihak menentang
pemberlakuan tax amnesty karena menilai kebijakan tersebut tidak adil dan
hanya menguntungkan pengemplang pajak, koruptor, dan pencuci uang.
Akumulasi dari
faktor-faktor di atas membawa RAPBNP 2016 berinti pada pemangkasan anggaran.
Namun, di sini pemerintahan Jokowi harus bertindak cermat.
Pemangkasan anggaran tidak
saja berimbas secara ekonomi, tetapi juga psikologis karena bisa memicu
ketidakpercayaan. Pemotongan anggaran belanja negara dapat memberikan sinyal
buruk ke pasar dan investor karena akan dimaknai sebagai kontraksi
pertumbuhan.
Dalam teori ekonomi,
sinyal kontraksi pertumbuhan merupakan hal yang sangat berbahaya sehingga
sebisa mungkin harus dihindari pemerintah. Sinyal kontraksi menyebabkan
psikologis pasar dan investor terganggu.
Dampaknya adalah
mereka cenderung akan mengerem segala aktivitasnya. Jika pemerintahan Jokowi
selalu merevisi anggaran belanjanya menjadi lebih rendah seperti dilakukan
sebelumnya pada APBNP 2015, kredibilitas pemerintah akan jatuh.
Pemerintahan Jokowi
akan diragukan kompetensi dan kemampuannya dalam merancang serta mengeksekusi
anggaran. Persoalan kredibilitas merupakan hal penting sehingga pemerintah
harus bisa menjaga kepercayaan pasar dan investor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar