BRIsat dan Disruption di Bisnis Perbankan
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 23 Juni
2016
Bagi seorang ayah,
detik-detik menunggu istrinya melahirkan adalah momen membahagiakan, tapi
juga sangat menegangkan. Bagi sebagian orang mungkin pula terasa mencekam.
Suasana semacam itulah
yang saya rasakan saat menemani direksi Bank BRI menunggu detik-detik
peluncuran BRIsat di pusat peluncuran satelit di Kourou, Guyana Prancis,
Amerika Selatan.
Setelah ditunda, saya
kembali ke Jakarta karena masih perlu beberapa hari lagi. Meski demikian
putra saya yang punya naluri jurnalisme kuat (ia seorang fotografer
profesional) sudah lebih dulu berada di Kourou. Waktu diberitakan ditunda,
dia sudah bertemu saya di Paris, lalu berangkat ke Kourou dan menjelajahi
Hutan Amazon. Kemudian kembali lagi ke Kourou.
Naluri jurnalistiknya
yang kuat telah menghasilkan foto-foto yang menurut saya selain bersejarah,
juga indah.
Suasana serupa juga
saya rasakan ketika berada di tengah-tengah jajaran direksi PT Angkasa Pura
II (AP II) menanti detik- detik jadi tidaknya Terminal 3 Ultimate
dioperasikan. Maklum suasana di T1 dan T2 di luar Hari Raya Lebaran saja
sudah begitu crowded. Bahkan
limpahannya sudah sampai ke Bandara Halim Perdanakusuma. Kadang saya gemas mengapa
izin slot terbangnya dibuka terus. Dan kalau terbang di pagi hari saya sering
khawatir menyaksikan satu-dua penumpang yang menjadi mudah marah dan bentrok.
Karena penumpangnya banyak sekali melebihi kemampuan daya tampungnya. Padat
sekali dan antrean mengular panjang. Waswas kalau ada pesawat yang delay.
Sore hari kalau
landing di T1 atau di Bandara Halim, saya pun merasakan hal yang sama. Sama
sekali sudah tak nyaman. Ya di udara, ya di darat. Apalagi terminal Halim
sering dipakai tamu VVIP. Yang sudah pasti sewaktu-waktu dihentikan
penerbangannya. Maka kalau jadi dioperasikan T3U, pasti akan baik bagi
kenyamanan penumpang. Dan harapan saya, kenyamanan adalah buah dari keamanan.
Kebetulan dua
peristiwa tersebut, peluncuran BRIsat dan Terminal 3 Ultimate, terjadi dalam
waktu berdekatan. Dan keduanya harus menghadapi kenyataan yang sama, yakni
penundaan.
Keputusan penundaan
peluncuran BRIsat bahkan sampai tiga kali.
Semula BRIsat bakal
diluncurkan Kamis, 9 Juni 2016. Namun peluncuran itu ditunda karena ada
masalah pada bahan bakar roket. Rencana peluncuran berikutnya ditetapkan pada
Jumat, 17 Juni 2016, tetapi lagi-lagi ditunda akibat adanya gangguan sistem
elektrik. Penundaan ketiga terjadi pada Sabtu, 18 Juni 2016, akibat gangguan
cuaca di Kourou. Angin di sana bertiup sangat kencang.
Setelah tiga kali
mengalami penundaan, akhirnya pada Minggu (19/6) dini hari waktu Indonesia,
satelit BRIsat berhasil diluncurkan. Lega. Persis seperti suami yang sekian
lama menunggu istrinya melahirkan, akhirnya saat itu tiba juga. Sang istri
melahirkan seorang bayi. Keduanya, ibu dan anak, dalam keadaan sehat.
Kalau BRIsat akhirnya
berhasil diluncurkan, bagaimana dengan Terminal 3 Ultimate? Agaknya pihak AP
II masih harus bersabar. Sampai sekarang kami di AP II tidak tahu kapan
terminal tersebut bisa dioperasikan. Ketidakpastian semacam ini tentu
melelahkan. Meski begitu kami terus mencoba memetik hikmahnya. Namanya juga
kerja kolaborasi. Di antara pihak-pihak itu selalu ada yang tak menjalankan
tugasnya, alpa menyediakan ini dan itu, atau ada yang sama sekali tak mau
keluar biaya.
Tapi ada juga yang
baru tahu kekurangannya di last minute.
Namun, jangan lupa,
untuk melayani masyarakat, yang namanya aparatur sipil negara (ASN) juga
punya kewajiban yang diatur dalam UU Pelayanan Publik (UU No 25 Tahun 2009).
Kita perlu bahu-membahu membantu, bukan pamer kekuasaan.
Tiga Kali Penundaan
Saya berada di Jakarta
ketika pihak Arianespace memutuskan untuk menunda peluncuran BRIsat. Saya
juga mendengarkan penjelasannya. Sangat detail dan teknis, tetapi saya paham
maksudnya. Padahal dini hari itu, pukul 02.00 WIB, saya sudah dijemput sebuah
stasiun TV. Pukul 06.00 berikutnya saya juga sudah meluncur ke Terminal 3
Ultimate dan akhirnya kepala saya pusing, dua hari saya terkapar di sebuah
kamar perawatan.
Besoknya BRIsat
melesat ke angkasa, tapi T3U belum bisa dipakai para pemudik. Tapi saya tetap
minta teman-teman di Angkasa Pura II terus memperbaiki kekurangan yang ada,
berikan yang terbaik.
Kesan saya, sebagai
perusahaan yang sangat berpengalaman dalam peluncuran satelit, Arianespace
memilih bertindak ekstra-hati-hati. Maklum investasi BRI untuk BRIsat tidak
sedikit. Hampir Rp3,4 triliun. Tapi Terminal T3U juga tak kalah besar
investasinya, sekitar Rp7 triliun. Semua itu tentu dilakukan untuk mengatasi
ketertinggalan.
Selain itu Arianespace
tentu juga memiliki standard operating
procedure (SOP) yang sangat ketat. Soal ini Arianespace tak mau toleran
sama sekali. Kalau kondisi tak sesuai dengan SOP, mereka lebih baik tak
meluncurkan satelit sama sekali. Ini harga mati. Bahkan 20 menit sebelum launching, peluncuran satelit itu pun
nyaris ditunda lagi. Tapi alhamdulillah, puji Tuhan, masalah segera diatasi.
Hal lain yang membuat
saya sangat terkesan adalah budaya kerja Arianespace. Setiap kali ada
masalah, mereka membahasnya secara detail guna mencari solusi dan—ini yang
menarik— sinergi. Bukan malah gontok-gontokan dan sibuk mencari siapa yang
salah. Ini budaya yang patut kita tiru dan kembangkan di negeri ini. Negeri
yang kalau ada masalah, yang pertama dicari adalah siapa yang paling bisa
dipersalahkan. Bukan mencari masalahnya apa, lalu menemukan solusinya
terlebih dahulu. Apalagi dengan memakai pendekatan yang sinergis. Maksudnya
semua pihak diajak memberikan kontribusi. Diajak bekerja sama.
Mendisrupsi Diri Sendiri
Apa pelajaran yang
bisa kita petik dari peluncuran BRIsat dan tertundanya pengoperasian Terminal
3 Ultimate? Pertama, jelas kita bisa belajar dari Arianespace. Ketika ada
masalah, yang pertama mereka cari adalah masalah dan solusi. Senyampang
mencari solusi, mereka dengan tangan terbuka menggandeng pihak-pihak lain
untuk diajak bekerja sama. Saya garis bawahi: kerja sama. Itulah yang belakangan
saya rasakan mulai menghilang di negeri ini.
Bukan hanya di
masyarakat, bahkan fenomena menipisnya kerja sama ini sangat terasa di
jajaran pemerintahan. Presiden Joko Widodo sudah mengatakan dari awal, tak
ada lagi visi menteri. Tapi, mohon maaf, harus saya katakan kerja sama ini
amat mahal di negeri kita sendiri. Kalau ada kesalahan, yang pertama-tama di cari
siapa yang mau di-blame, baru
dicari-cari apa yang mau di-blame.
Karena itu masalahnya bisa menjadi rumit.
Kedua, BRI adalah bank
pertama di dunia yang memiliki satelit sendiri. Ini membanggakan, tetapi di
sisi lain juga menyimpan tantangan. Apa tantangannya? Anda tahu banyak
perkembangan teknologi yang mendisrupsi bisnis-bisnis model lama. Istilah change kini memasuki babak baru:
disrupsi. Dan ini menyangkut inovasi
yang berlangsung sejak 20 tahun terakhir, yang puncaknya tengah terjadi saat
ini. Ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di dunia. Ini adalah topik
kajian yang sedang saya rampungkan dalam revisi edisi buku Change yang saya tulis 10 tahun lalu.
Dan ketidakpahaman
negara terhadap dampak dan proses inovasi disruption
yang tengah melanda dunia dapat membiarkan lembaga perbankan dan jajaran
regulator mengatur pembiayaan dan perizinan dengan cara-cara yang counter-productive. Alih-alih
menumbuhkan inovasi positif, dunia usaha malah diarahkan pada inovasi
efisiensi yang bertentangan dengan semangat penciptaan pekerjaan.
Inovasi disruption dalam beberapa hal memang
bisa berdampak buruk bagi bisnis incumbents
yang keras kepala dan kurang meremajakan diri, tapi berdampak luas bagi
penciptaan lapangan pekerjaan baru. Kita di Tanah Air juga menyaksikannya.
Korbannya, hampir
semua incumbents yang selama ini
berjaya sampai awal abad ke-21 ini. Jangan cuma lihat usaha taksi saja, tapi
hampir semua, termasuk partai-partai politik yang sedang merintih kesakitan
melihat langkah dukungan publik terhadap jalur independen.
Di luar itu, disruption tengah terjadi dalam
bisnis-bisnis pendidikan, pelayanan keagamaan, perhotelan, perjalanan wisata,
kebandaraan, pelabuhan, media massa, sampai termasuk bisnis perbankan. Ini
bukan masalah sepele, melainkan turut berkontribusi terhadap pelemahan negara
dalam penerimaan pajak dan shifting
bisnis yang selama ini kambing hitamnya dianggap ada di pelambatan ekonomi
Tiongkok atau dampak kebijakan moneter yang diambil The Fed. Tapi nantilah kita dalami soal ini.
Untuk sementara, saya
ajak Anda kembali ke perbankan karena soal lain-lain akan saya bahas
terpisah. Saat ini perbankan kita tengah berancang-ancang menghadapi gempuran
dari lembaga keuangan digital— yang sudah mempreteli bisnis perbankan
konvensional di negara-negara maju.
Anak-anak muda di
seluruh dunia, menurut Millenials
Disruption Index, kini sudah tak tertarik dengan perbankan konvensional.
Mereka ingin mendapatkan layanan finansial dari Google, Facebook, atau
Amazon.
Gila bukan? Padahal
kini bukan cuma mereka. Apple saja sudah menguasai metode pembayaran (Apple Pay), belum lagi perusahaan
seperti Home Depot yang mulai
dituntut pasar membiayai pinjaman mortgage.
Maka, BRI tak perlu
meniru bisnis transportasi konvensional kita yang berteriak meminta
perlindungan pemerintah. Dengan modal BRIsat, saya ingin BRI melompat tak
hanya selangkah ke depan, tetapi dua atau tiga langkah sekaligus. Bagaimana
caranya? BRI memakai BRIsat untuk mendisrupsi bisnis-bisnisnya sendiri.
Jargonnya: manage your company like a
startup! Lalu perkuat lini bisnisnya dengan kehadiran satelit sendiri.
Menurut saya, banyak
unit bisnis perbankan yang sudah tak layak lagi karena ongkosnya yang terlalu
mahal. Bisnis kredit, misalnya, skema yang ada di bisnis perbankan
konvensional terlalu bertele-tele. Prosesnya terlalu berbelit-belit dan
mahal. Akibatnya debitor harus menanggung ongkosnya dengan suku bunga yang
tinggi. Ingat model bisnis yang dikembangkan para disruptor bukan hanya harus
save money, melainkan juga save time.
Ini modal besar untuk
menjalani misi inklusi keuangan yang sebagian besar berada di jalur
nonkonvensional, luar pulau besar dan informal.
Bisnis ATM juga saya
anggap sangat mahal. Mungkin sebentar lagi juga tergilas dengan hadirnya uang
digital. Lalu untuk apa juga bank-bank terus membuka kantor-kantor cabang
yang besar-besar? Itu era owning
economy yang mahal, bukan sharing
economy. Dan masih banyak lagi bisnis perbankan konvensional kita yang
perlu didisrupsi oleh bisnis-bisnis finansial yang berbasis teknologi (financial technology atau fintech).
Beranikah BRI? Saya
harap begitu. Sayang kalau investasi BRIsat yang sudah begitu besar tidak
dimanfaatkan secara optimal. Saya melihatnya ini sebagai sebuah peluang
besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar