Bising Komunikasi Jelang Pilkada DKI
Lely Arrianie ;
Dosen Komunikasi Politik
Universitas Bengkulu;
Ketua Program Magister Ilmu
Komunikasi Universitas Jayabaya Jakarta
|
KORAN SINDO, 18 Juni
2016
Suhu politik di DKI
sedang memasuki turbulensi disebabkan masih gamangnya partai politik melirik
siapa calon penantang petahana yang pantas diusung. Hal itu menyebabkan isu
apa pun tentang petahana menjadi seksi, menjadi trending topic media sosial,
yang seolah bisa mengalahkan isu terorisme, korupsi, dan amburadulnya kerja
para politisi. Arus komunikasi politik di DKI pun serta-merta jauh lebih
bising seirama isu reklamasi.
Aroma politik menyusup
ke bilikbilik kekuasaan yang tengah menunggu penentuan, tentang siapa saja
nama yang akan bersiap masuk dalam arena pertandingan pergantian kepemimpinan
di DKI Jakarta. Para komunikator profesional dan politisi, aktivis, jurnalis
peliput siaran politik, serta- merta mengejar isu ini sebagai bagian untuk
menata komentar politik yang menempatkan mereka untuk berdiri di antara
banyak kepentingan politik yang dipersiapkan untuk menyambut Pilkada 2017
mendatang.
Serta-merta
pertarungan argumentasi antara yang pro dan kontra bermunculan di media
(terutama media sosial). Sambil berdiskusi dengan mahasiswa saya yang juga
seorang penggiat media, dia mengatakan, “Sepertinya
apa yang terjadi di DKI sedikit banyak punya analogi dengan apa yang
dikatakan Chomsky ya bu ?”
Analogi yang dimaksud
bisa menjadi perumpamaan itu adalah apa yang menjadi bagian dari yang pernah
dikaji Noam Chomsky dalam bukunya Manufacturing Consent tentang keterlibatan
negara adikuasa dengan dalih menegakkan demokrasi. Kelompok pendukung
dianggap sebagai teman sementara yang tidak dilabeli sebagai axis of evil .
Mesin Komunikasi
Akhir-akhir ini
rasanya kita cukup prihatin pada persuasi yang sublimasi seperti yang pernah
ditemukan oleh Vance Packard melalui karya Hidden Persuaders. Betapa Packard
menyingkap tabir kekuatan yang begitu potensial dari media untuk
mengendalikan rakyat dan memasuki pikiran orang yang sedang istirahat dan
tidak sadar, sehingga tidak terkendalikan oleh kemauan maupun pemahaman yang
terbuka dari individu yang bersangkutan.
Saat ini pembelahan
itu sangat kentara. Siapa pun orang yang ada pada posisi mengkritik Ahok maka
kelompok haters Ahok akan memujanya. Sementara mereka ini bagi komunitas
lovers tentu saja akan dinilai sebagai axis of evil. Dan dua-duanya tentu
saja berjuang mencari pembenaran lewat media yang disebut Packard, terutama
media sosial, siapa pun yang memiliki alur dan akses yang lebih besar
terhadap media, maka kelompok itulah pemenangnya.
Meski kemenangan itu
sekedar “semu”, mindset publik juga dipengaruhi melalui penyesatan informasi.
Karena itu dengan kritis Van Dijk selalu mengingatkan: “Akses dan kekuasaan
yang besar bisa mengarahkan wacana ke arah mana saja, informasi bisa menjadi
misinformasi dan disinformasi”. Dunia media seperti ditangkap dengan
kesadaran yang rendah, pragmatisme awak media disambut manis oleh pragmatisme
pembaca dan pendengar.
Padahal, sifat
komunikasi bermedia dan terutama media sosial, efeknya jelas lebih
dimungkinkan dari informasi yang disebarkan. Tetapi karena pragmatisme dan
kecerdasan tidak paralel, maka jadilah semua informasi itu dimakan mentah-mentah.
Alhasil, kebingungan informasi dan penyesatan fakta itu justru terlahir dari
pengguna media itu sendiri. Situasi diperparah dengan banyaknya pemain media
yang terjebak dalam koalisi, menjadi persis seperti koalisi partai politik.
Industri media juga
lebih dominan ditentukan oleh mekanisme pasar, meski kebal dari kontrol
penguasa, tetapi tetap kebanyakan tidak cerdik memosisikan diri ke dalam
keberpihakan yang semestinya pada kepentingan publik. Sehingga elite politik
dan penguasa atau calon-calon penguasa baru berlomba-lomba bertingkah laku
politik ala dinamika yang diinginkan media.
Begitu menyesuaikan
diri dengan format industri media (apalagi sejak booming media sosial),
mereka memanfaatkan media itu sebagai sarana branding politik yang seolah
mampu menempatkan mereka menjadi sasaran empati publik, alih-alih malah
menyesatkan informasi publik. Jadi, karena media begitu disetir oleh
mekanisme pasar, para aktor dan pendukungnya pun beramai-ramai membuka diri
bagi masuknya isu-isu yang mempunyai nilai berita dari industri media.
Parahnya bahkan ada
media yang menentukan pilihan berita berdasarkan trending topic di media
sosial. Pilihan menonton dan pembaca media pun tidak lagi didasarkan pada
rasionalitas pilihan atas berita, melainkan ditelan mentah-mentah dan dengan
serta-merta mengungkapkan kembali respons atas pemberitaan itu dengan tanpa
jeda.
Sehingga hal ini tentu
saja sangat membantu para lovers atau pendukung tokoh politik tertentu untuk
melakukan adaptasi ke publik melalui media terutama media sosial, sejenis
“reifikasi “ sifatnya. Bisa juga sebagai selling point bagi publik yang masih
dianggap sebagai penentang.
Sehingga tidak heran
kebijakan dirancang untuk menarik dan mengelola atensi media dan membuat
media membantu menunjukkan identitas yang diinginkan kepada publik,
adaptabilitas semacam ini tentu saja disambut berbeda bagi para penentang.
Bagi para penentang, tentu saja yang tersajikan ke publik itu akan disambut
dengan upaya mendiskreditkan posisi hegemoni tokoh yang bersangkutan.
Apa pun masalahnya,
peringatan Chomsky akan perumpamaan campur tangan negara adikuasa dalam ritme
media di jelang Pilkada DKI sepatutnya menjadi pertimbangan para calon
penguasa yang “berambisi” untuk mengambil alih kepemimpinan di DKI. Pilkada
yang akan digelar juga harus menjawab concern keinginan pemilih di DKI, yang
tentu saja sudah sangat rasional dibandingkan dengan tipologi pemilih di
daerah pemilihan lain di tanah air ini.
Partai-partai yang
memenuhi persyaratan untuk mengusung bakal calon pun harus cerdik menempatkan
diri di media dan media sosial. Seperti yang diingatkan oleh Lees-Marshment
dalam tulisannya tentang “Market Oriented Party “ (MOP). Bahwa seperti halnya
media maka partai politik pun perlu beradaptasi dengan selera pasar dan
kebijakan adaptifnya, terutama untuk menentukan calon yang akan diusungnya
bisa menjadi selling point dalam rangka memenangkan perhatian media dan media
sosial, sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pemilih.
Meski kita masih
meramalkan bahwa bising komunikasi politik itu tak akan usai, dia akan
menjadi jeda atau tidak. Itu akan sangat ditentukan dengan seberapa besar
kapabilitas calon yang akan menantang petahana. Jadi bukan sekadar
popularitas, melainkan lebih pada hitungan elektabilitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar