Pemasyarakatan: Masalah atau Solusi
Romli Atmasasmita ;
Direktur LPIKP
|
KORAN SINDO, 14 Juni
2016
Saya tidak kaget
ketika membaca berita dengan judul Lima Bulan Penghuni Lapas Tambah 15.000
(KORAN SINDO, 8 Juni 2016). Karena sudah sejak lama masalah tersebut
dikemukakan pihak Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), juga ketika saya
bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM Bapak Yasonna Laoly.
Namun ketika saya
bertemu dengan Bapak Menteri/Kepala Bappenas, juga dikatakan bahwa dalam
keterbatasan anggaran negara tidak mungkin masalah lapas dapat diatasi
segera. Apalagi untuk keperluan renovasi bangunan lapas saja mencapai angka
Rp197 miliar. Belum lagi untuk sarana dan prasarana operasional, yang
memerlukan dana sebesar Rp390 miliar, sehingga total diperlukan dana sebesar
Rp587 miliar.
Besaran dana yang
diperlukan tersebut belum lagi ditambah dengan dana keperluan biaya makan
yang besarnya Rp15.000 untuk satu narapidana di lapas di Pulau Jawa.
Sementara untuk daerah diluar Jawa sekitar Rp20.000-25.000 per narapidana.
Dengan jumlah narapidana/tahanan 192.767 orang, dana yang diperlukan (dengan
rata-rata 192.000 tahanan) sebesar Rp2.880.000.000 per hari. Angka itu akan
mencapai Rp518.400.000.000 per tahun.
Jika rata-rata
narapidana dihukum selama dua tahun, angka tersebut bertambah menjadi
Rp1.036.000.000.000 (satu triliun tiga puluh enam miliar rupiah). Angka
tersebut dengan asumsi jumlah narapidana/tahanan tidak mengalami perubahan.
Akibat dari pendanaan
negara yang terbatas dan jumlah pertambahan penghuni lapas yang meningkat
(selama lima bulan mencapai 500 orang), tidak mengherankan jika
lapas–Kemenkumham– memiliki utang biaya makan kepada rekanan sebesar Rp288.8
miliar pada 2016. Utang tersebut terjadi secara terus-menerus setiap tahun;
dana untuk tahun 2016 untuk membayar utang tahun anggaran 2015.
Kondisi objektif ini
harus segera diatasi, setidak-tidaknya dicegah. Pemerintah saya yakin
memahami keadaan, dan masalahnya sampai saat ini belum ada solusi yang tepat.
Dalam pertemuan saya dengan Bapak Menteri/Kepala Bappenas, saya sampaikan
usul untuk melakukan kebijakan hukum pidana ”memotong” arus hulu
permasalahan, agar tidak berlanjut sampai ke hilir (ditempatkan di lapas).
Konsep ini beralasan,
karena sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pendekatan
bekerjanya sistem hukum pidana dilandaskan pada teori penjeraan melalui
penghukuman, alias teori kesalahan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan.
Ada sedikit celah untuk ”menghentikan perkara pidana” jika secara normatif
beralasan mengeluarkan/ menetapkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3) atau Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).
Namun, persentasenya
sangat kecil dibandingkan dengan jumlah perkara pidana yang mengalir
berlanjut ke pengadilan, sehingga bukan solusi dari masalah yang tengah
dihadapi Lapas. Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Polri telah sepakat untuk
mengurangi nilai perkara yang tidak signifikan diselesaikan, melalui diversi;
suatu proses menghentikan penuntutan untuk perkara di bawah nilai Rp2,5 juta.
Dan bahkan MA tengah
menyusun peraturan untuk mendorong agar para hakim berani berinisiatif melakukan
perdamaian, antara para pihak yang bersengketa termasuk juga perkara pidana.
Dalam pandangan saya, teori penjeraan–keadilan retributif–suatu sebutan yang
tidak tepat (contradictio in terminis).
Karena keadilan diperoleh dengan pembalasan; telah kedaluwarsa jika
dihubungkan dengan perubahan peradaban umat manusia abad XXI, yang
mengutamakan tujuan kesejahteraan bangsa dengan menggunakan pendekatan
kemanfaatan sosial (social utility).
Tujuan ini hanya dapat
dicapai jika terjadi perubahan cara pandang (mindset) para pengambil kebijakan hukum, yang diikuti oleh semua
aparatur hukum pidana. Mulai dari cara pandang penjeraan kepada cara pandang
efisiensi dalam bekerjanya sistem hukum pidana yang lebih mengutamakan dampak
keberhasilan (outcome) daripada
keberhasilan per se (output).
Perubahan cara pandang
ini hanya dapat dilaksanakan jika pendekatan bekerjanya hukum pidana
didasarkan pada pendekatan analisis ekonomi mikro yang mengutamakan prinsip
maksimisasi (maximization),
efisiensi (efficiency), dan
keseimbangan (equilibrium) menurut
Coase, Becker, dan Posner.
Pendekatan analisis
ekonomi mikro telah diterapkan di negara-negara maju sejak tahun 1970-an
dengan menggunakan metode analisis dampak regulasi (regulatory impact
analysis/ RIA). Metode ini digunakan untuk mencapai tingkat akurasi mengenai
dampak suatu regulasi dalam kehidupan masyarakat, dan terhadap negara,
sehingga dapat diketahui secara cermat dan terukur perhitungan cost and
benefit ” dari suatu regulasi baik secara sosial, ekonomi, dan politik.
Contoh terburuk dari
teori penjeraan dengan tujuan keadilan retributif adalah peningkatan jumlah
residivis, sementara kejahatan tidak terhentikan. Selain itu, kerusuhan dan
kerusakan fisik dari aspek humanisme di dalam lapas, praktik korupsi dan
kehidupan napi di lapas, yang merupakan komunitas tersendiri dan terasing
dari kehidupan masyarakat luar.
Sehingga disadari atau
tidak, suatu wajah dan bentuk eksklusivisme di dalam masyarakat, dengan
nilai-nilai dan cara pandang yang berbeda secara ekstrem dengan masyarakat
luar. Kondisi kehidupan narapidana selama bertahun-tahun di lapas dengan
”kerugian keuangan negara” yang signifikan sebagaimana diuraikan di atas,
merupakan ”bom waktu” masa depan bangsa ini.
Saya menggugah dan
merekomendasikan suatu kebijakan hukum yang mengedepankan keadilan restoratif
yang memiliki pendekatan, metode dan prinsip-prinsip kerja berbeda dengan
keadilan retributif. Keadilan restoratif bertujuan pemulihan hubungan
individu-individu pelaku dan korban atau keluarganya, dengan prinsip
musyawarah dan mufakat di mana negara bertindak selaku fasilitator bagi
mereka yang terlibat dalam perkara pidana.
Prinsip ini hanya
berlaku untuk tindak pidana ringan (tipiring) saja dan kejahatan serius di
bawah ancaman empat tahun. Hukuman pidana bersyarat, pidana denda, pidana
kerja sosial di masyarakat, serta pidana pengumuman putusan hakim di media
cetak dan medsos. Khusus bagi korporasi yang terlibat tindak pidana dikenakan
pidana penundaan izin beroperasi atau pencabutan izin dan penghentian, sementara
transaksi bisnis serta pidana denda yang maksimal.
Penerapan keadilan
restoratif dalam perkara-perkara tersebut dijamin dapat menurunkan tingkat
risiko terburuk khusus dari aspek anggaran negara secara signifikan. Contoh,
jika pemerintah dapat menurunkan kuantitas perkara pidana sehingga hanya
menghasilkan penambahan narapidana/tahanan sampai 500 per lima bulan, maka
hanya diperlukan anggaran biaya sebesar Rp7.500.000.
Angka ini jauh lebih
hemat dari dana yang dikeluarkan untuk 15000 narapidana/tahanan dalam lima
bulan sebagaimana terjadi saat ini, yaitu Rp225.000.000. KUHP Belanda (1996)
telah menggunakan pendekatan restoratif sehingga sistem hukum pidana Belanda
dikenal sebagai ”low profile of justice”
di antara negara Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Saya setuju untuk
menerjemahkan Pancasila yang merupakan nilai kesusilaan sekaligus jiwa bangsa
Indonesia (volkgeist) ke dalam
sistem hukum pidana Indonesia. Sehingga kehidupan masyarakat tidak selalu
mengalami kegaduhan yang tidak perlu, dan tetap bermartabat dalam
memperlakukan setiap pelaku dan korban tindak pidana. Hal itu tentu untuk
mencegah ekses-ekses negatif dan buruk dari sistem hukum pidana yang
bertopang pada penjeraan semata-mata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar