Puasa dan Perilaku Berduri
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
20 Juni 2016
HIKMAH puasa tak
pernah bisa dihitung siapa pun, bahkan oleh banyaknya jumlah makhluk hidup
yang ada di muka bumi. Karena itu, ketika orang menulis soal manfaat, hikmah,
dan juga keutamaan ibadah puasa, banyak seperti terasa mengulang-ulang. Yang
diperbincangkan biasanya berhubungan dengan aspek kesehatan, besarnya pahala,
serta momentum untuk memperbaiki perilaku diri. Pendek kata, ibadah puasa
terasa seperti makhluk asing yang datang setahun sekali selama sebulan penuh
karena kehadirannya lebih banyak ditanggapi dengan pemaknaan yang formal.
Ibadah puasa adalah
ibadah yang tidak mementingkan aspek ritual formal. Laku puasa tak ada yang
bisa mendeteksi kecuali kita dan Tuhan saja yang tahu apakah hari itu kita
berpuasa atau tidak. Bahkan lebih jauh dari itu, jika dibaca lebih dalam
tentang syarat-syarat ibadah puasa secara fiqiyah, didapati begitu banyak
perangkap yang dapat menjadikan seseorang itu batal puasanya. Misalnya, tak
bisa menahan pikiran untuk selalu negative
thinking ke orang lain, tak mampu menahan mata untuk melihat hal-hal yang
dilarang, serta tetap berbohong kepada orang lain dan diri sendiri. Kita tahu
pada hari itu ada aturan yang kita langgar, tetapi kita tetap saja berpuasa
seolah-oleh Tuhan tidak tahu.
Salah arah antena puasa
Kesalahan fundamental
umat Islam dalam menjalankan puasa saat ini ialah tak tepatnya antena tujuan
berpuasa diarahkan. Antena hati dan pikiran lebih banyak ke arah konsumtif
dan duniawi, seperti mengingat saat berbuka dan sahur, yang dibesarkan ialah
jenis makanannya. Persiapan mudik Lebaran, seoalah-olah itu ialah persyaratan
berpuasa yang tak boleh ditinggalkan. Semua orang berbondong-bondong menuju
mal dan pusat-pusat perbelanjaan hanya demi membela keinginan ragawi untuk
dirinya, anak-anaknya, serta orangtua dan kerabatnya. Antena tujuan berpuasa
yang sudah salah arah sejak awal ini menjadi semakin akut dari hari ke hari
hingga tahun ke tahun.
Posisi antena berpuasa
kita setiap tahun tak pernah berubah karena antena diikat kesemuan duniawi
yang lama-lama menjadi karat dan susah untuk digerakkan kembali agar arahnya
berubah. Jika kesenangan duniawi bisa diinflitrasi pengetahuan dan juga
keterampilan yang seolah-olah telah menuntun kita ke arah yang benar, kita
lupa bahwa dalam setiap perilaku ternyata bukan hanya dipengaruhi pengetahuan
dan keterampilan yang kita butuhkan, melainkan juga niat yang laksana antena,
tak pernah diubah sama sekali arahnya. Padahal, niat ialah pangkal perilaku
yang sebenarnya, yang seharusnya bisa diubah setiap saat melalui kesadaran
diri.
Jika perilaku sudah
berduri, niat pun akan ditumbuhi duri yang sama.
Begitulah kira-kira
jika puasa kita hanya tertuju dan berpangkal pada pikiran semata. Perihal
perilaku berduri, ada metafor yang sangat baik dari Jalaluddin Rumi dalam
salah satu puisinya di Matsnawi (1240-1246).
'Ingatlah rumpun berduri itu setiap kebiasaan
burukmu
Berulang kali tusukannya menyobekkan kakimu
Berulangkali kamu terluka oleh akhlakmu yang
keji
Kamu tak punya perasaan, bebal dan keras hati
Jika terhadap luka yang kamu torehkan pada
orang
Yang semua dari watakmu yang garang
Kamu tak peduli, paling tidak pedulikan lukamu
sendiri
Kamu menjadi bencana bagi semua orang dan diri
sendiri
Ambillah kapak dan tebas layaknya lelaki
Runtuhkan benteng Khaibar, laksana Ali'
Puisi Jalaludin Rumi
di atas sesungguhnya berkisah tentang seorang penduduk Konya yang punya
kebiasaan aneh. Ia suka menanam duri di pinggir jalan. Setiap hari kerjanya
menanam duri. Lama kelamaan, pohon duri yang ia tanam menjadi besar. Awalnya
orang-orang yang lewat jalan itu tidak merasa terganggu oleh duri-duri. Mereka
baru mulai protes setelah duri itu mulai bercabang dan mempersempit jalan
yang dilalui mereka. Hampir setiap orang pernah tertusuk duri itu. Yang
menarik lagi, bukan orang lain saja yang terkena tusukan duri. Si penanamnya
pun berulang kali tertusuk duri tanaman yang ia pelihara.
Petugas kota Konya lalu
datang menegur orang itu dan memintanya agar menyingkirkan tanaman berduri
dari jalan. Si penanam enggan untuk menebang tanamannya. Namun, setelah
banyak orang yang protes, akhirnya ia berjanji menebang tanaman itu keesokan
harinya. Namun, ternyata pada hari berikutnya, ia menunda pekerjaannya.
Demikian pula hari berikutnya. Hal itu berlangsung terus-menerus hingga
akhirnya orang itu sudah menjadi sangat tua dan tanaman berduri itu sudah
menjadi pohon yang sangat kukuh. Orang tua itu sudah tak sanggup lagi untuk
mencabut pohon berduri yang ia tanam.
Dalam bahasa
sederhana, Jalaludin Rumi sesungguhnya sedang menasihati kita, "Kalian, wahai orang-orang yang
malang, adalah penanam duri. Tanaman berduri itu adalah kebiasaan dan sifat
buruk kalian, perilaku tercela yang selalu kalian pelihara dan sirami. Karena
perilaku buruk itu, banyak sudah yang menjadi korban dan korban yang paling
menderita adalah kalian sendiri. Karena itu, jangan menunda menebang duri
itu. Ambillah kapak dan tebang duri-duri itu sekarang agar orang bisa
melanjutkan perjalanan tanpa terganggu olehmu."
Marilah kita arahkan
sekarang juga antena berpuasa kita untuk menebang tanaman berduri di dalam
diri kita untuk meminimalkan nafsu jahat kita, perilaku binatang kita, dan
perbuatan-perbuatan kotor lainnya, tanpa sedikit pun melihat unsur
keduniawian dalam berpuasa. Puasa benar-benar bertujuan mengarahkan kembali
harkat kemanusiaan kita yang sesungguhnya mudah untuk terintimidasi oleh
kesenangan duniawi.
Mencabut akar berduri
dalam diri hanya bisa dilakukan laku puasa yang benar, yang tak berharap pada
banyaknya pahala, tetapi berniat untuk mengubah orientasi kehidupan ini
menjadi lebih berarti bagi diri sendiri dan orang lain. Seperti kata Allah, "Puasa itu untuk-Ku, dan hanya Aku
yang paling tahu apakah seseorang itu berpuasa karena Aku atau bukan."
Wallahualambissawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar