Mengembalikan Marwah Bappenas
Candra Fajri Ananda ;
Dekan dan Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN SINDO, 20 Juni
2016
Berkaca dari
perkembangan draf Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN 2017)
yang sedianya memasuki tahap persetujuan DPR mengenai perubahan/penyesuaian
di pertengahan 2016, pemerintah tampaknya belum cukup percaya diri dengan
target penerimaan, terutama yang bersumber dari pendapatan pajak.
Normalnya pendapatan
pajak di suatu negara tidak terlepas dari faktor-faktor fundamental
makroekonomi seperti pencapaian pertumbuhan ekonomi, pengendalian terhadap
dampak perekonomian global, fluktuasi harga komoditas, tingkat konsumsi dan
pendapatan masyarakat, geliat di sector keuangandan sektor riil, khususnya
industri. Kalau kita memahami karakteristik perekonomian Indonesia, peran
pemerintah masih sangat diperlukan untuk menstabilkan kegiatan ekonomi
produktif baik melalui kebijakan fiskal, moneter maupun protektif melalui
regulasi.
Ini karena
perekonomian Indonesia tidak bisa dilepas kepada mekanisme pasar secara luas
mengingat masih besarnya ketidaksimetrisan informasi, lemahnya kelembagaan
ekonomi, serta perbedaan yang cukup kuat dinamika ekonomi baik Jawa dan luar
Jawa maupun wilayah kota dan desa. Dengan demikian, sangat penting bagi
pemerintah memiliki arahan perencanaan pembangunan untuk mendorong roda
perekonomian dan pembangunan, khususnya yang digerakkan oleh pemerintah dan
masyarakat, demi mencapai tujuan pembangunan secara lebih efisien dan
efektif.
Biasanya penyusunan
draf APBN-Perubahan (APBN-P) yang rutin dilakukan di pertengahan tahun, pada
umumnya akan digunakan kementerian/lembaga (K/L) pemerintah pusat untuk
berbondong-bondong menambah anggaran belanjanya melalui berbagai penyesuaian
program. Tahun ini justru menjadi sebuah anomali yang menarik karena anggaran
di beberapa instansi dipotong.
Presiden Joko Widodo
(Jokowi) sudah mendukung langkah-langkah efisiensi ini, apalagi disinyalir
banyak program kementerian/ lembaga yang masih menggunakan bahasa-bahasa
tidak fokus dan multitafsir sehingga menyulitkan pengukuran kinerja dan
berpotensi tumpang tindih (overlapping)
dengan program kementerian/lembaga lain. Dalam perspektif penulis, apa yang
tengah dilakukan pemerintah sekarang ini sangat wajar untuk segera
dikerjakan.
Ini lantaran
penerimaan negara tidak begitu menggembirakan sebagaimana diharapkan.
Direktorat Jenderal Pajak melansir hingga akhir Mei 2016 penerimaan negara
dari pajak tercatat Rp364,1 triliun, yang berarti baru sekitar 26,8% dari
sasaran akhir penerimaan 2016 yang ditargetkan sebesar Rp1.360,2 triliun.
Jika dibandingkan dengan capaian tahun lalu, penerimaan tahun ini justru
negatif karena tahun lalu pada periode yang sama capaiannya sudah mencapai
Rp377,03 triliun.
Capaian pertumbuhan
ekonomi dan kinerja net export pada kuartal pertama/2016 juga tidak terlalu
menggembirakan serta lemahnya tingkat konsumsi masyarakat, semakin memperkuat
keputusan pemerintah untuk mengurangi beberapa program yang dianggap tidak
terlalu mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Dalam berbagai
kesempatan, penulis cukup rajin menyampaikan pemikiran ini bagi pemerintah
untuk memperbaiki sisi kelembagaan antarinstansi perencana, agar proses
penyusunan perencanaan hingga pelaksanaan tidak menimbulkan banyak kelemahan
seperti yang akhirakhir ini sering terjadi. Kebutuhan perencanaan ini semakin
mendesak mengingat adanya keterbatasan ruang fiskal yang semakin sempit.
Dengan demikian,
perencanaan pembangunan yang disusun harus mampu menjamin perencanaan program
dan anggaran yang lebih selektif, efektif, dan efisien. Baru-baru ini Menko
Perekonomian, Menteri Keuangan, Sekretaris Kabinet, beserta Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas mengusulkan adanya
perubahan kelembagaan agar kinerja perencanaan dan anggaran lebih tajam
mendukung program-program prioritas.
Rencananya pada
Agustus 2016 akan diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) baru mengenai
Perencanaan Penganggaran. PP ini akan menggantikan dua PP sebelumnya yakni PP
Nomor 40 Tahun 2006 dan PP Nomor 90 Tahun 2010 yang masing-masing berisi
tentang sistem perencanaan nasional dan tentang keuangan negara. Dari
berbagai pemberitaan yang tengah beredar, PP yang direncanakan ini akan
memberikan hak terhadap Bappenas untuk menyusun perencanaan anggaran pada
program-program prioritas.
Pertemuan tersebut
membahas upaya untuk mengembalikan marwah Bappenas kembali menjadi leader
dalam proses perencanaan pembangunan nasional. Dengan demikian Bappenas
diharapkan mampu menyinkronkan ulang proses penyusunan anggaran dan kebijakan
sehingga dana yang dikucurkan lebih efektif dan tepat sasaran.
Sejak model
perencanaan pembangunan bergeser dari pola perencanaan terpusat menjadi
bauran antara top-down dan bottom-up yang ditandai dengan berlakunya putusan
desentralisasi/otonomi daerah lebih dari satu dasawarsa lalu, makna Bappenas
sebagai pengelola perencanaan memang nyaris semakin terkaburkan. Ego
kedaerahan semakin mengemuka dengan gejala yang muncul dari lemahnya proses
integrasi spasial. Ini yang perlu kita hindari bersama sehingga momentum
otonomi daerah justru harus diimbangi dengan penguatan peran Bappenas untuk
mencegah adanya mismatch pembangunan antardaerah.
Selama ini peran
Bappenas lebih terbatas dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP),
sedangkan untuk penetapan alokasi anggaran dikerjakan oleh Kementerian
Keuangan melalui Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Ke depannya penggunaan
anggaran akan semakin diperketat untuk menghindari penyalahgunaan dalam
setiap proyek pemerintah. Ketika pagu indikatif telah disusun Bappenas,
Kementerian Keuangan akan memberikan informasi mengenai resource envelope (kapasitas fiskal atau ketersediaan anggaran).
Berikutnya, Bappenas
juga bisa berkolaborasi dengan badan-badan perencana di tingkat daerah
(Bappeda) untuk mengarahkan adanya pola integrasi spasial. Sebagai contoh
dalam pembangunan jaringan irigasi yang berfungsi mendorong ketahanan pangan.
Dalam proses pengembangan sistem irigasi akan sangat dimungkinkan tidak hanya
melibatkan satu wilayah/ daerah saja, terutama sarana irigasi yang
menggunakan aliran sungai.
Pada posisi ini akan
dibutuhkan sistem yang mengatur jaringan irigasi antardesa dan daerah agar
masing-masing wilayah mendapat hak irigasinya secara proporsional. Jika tidak
diatur secara adil, yang dikhawatirkan akan terjadi persaingan tidak sehat
yang semakin mengukuhkan adanya ego-ego spasial.
Kepala Bappenas sudah
menjelaskan, Bappeda sebagai perencana pembangunan di tingkat daerah harus
memaksimalkan anggaran pembangunan dengan mengurangi inefisiensi anggaran dan
pembangunan, kemudian fokus pada kebutuhan yang lebih bermanfaat. Sebab
Bappeda memiliki peran strategis sebagai mitra Bappenas di daerah untuk
menjaga sinergi perencanaan pembangunan pusat dengan daerah, termasuk
pemenuhan targettarget proyek prioritas nasional.
Bappenas dan Bappeda
dapat saling bertukar informasi strategis agar ke depannya integrasi spasial
tidak hanya ditandai melalui pembangunan konektivitas infrastruktur saja,
tetapi mampu diterjemahkan melalui pertukaran arus barang dan jasa yang
mendukung peningkatan produktivitas ekonomi daerah. Kita perlu mengapresiasi
langkah ini sebagai bentuk penyegaran sistem perencanaan yang tujuannya tidak
hanya agar proses pelaksanaan pembangunan menjadi lebih ”low cost”, tetapi
juga lebih strategis pada target-target pembangunan.
Jika proses yang ada
dibiarkan berjalan pada mekanisme politik yang terpisah-pisah, dikhawatirkan
perencanaan anggaran pada K/L pemerintah pusat dan daerah hanya terpaku pada
rencana-rencana yang bersifat parsial. Selain itu upaya ini juga dimaksudkan
untuk menghindari potensi tumpang tindih fungsi dari K/L di tingkat
pemerintah pusat.
Dari sini Bappenas
bisa dipolakan sebagai server yang nantinya mem-plotting dan managing
program-program yang diusulkan serta menempatkan fungsi ideal dari
instansi-instansi yang ada sesuai dengan tupoksi utamanya.
Antarinstansi
pemerintah bisa saling bergotong-royong untuk menemukan kebijakan yang
bersifat komplementer dan titik poinnya lagi-lagi harus ada mekanisme
kelembagaan yang utuh, dalam hal ini Bappenas, agar konflik kepentingan yang
sering kali terjadi lebih mampu untuk diminimalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar