Krisis Vaksin dan Ancaman Potong Generasi
Reza Indragiri Amriel ;
Ketua Bidang Pemenuhan Hak
Anak,
Lembaga Perlindungan Anak
Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
28 Juni 2016
ADA gambaran getir
yang tersaji dalam Laporan Tahunan Unicef Indonesia 2012. Di situ tertulis,
Indonesia ialah negara terbesar ketiga dalam jumlah anak-anak yang belum
diimunisasi. Namun, seiring dengan penyikapan serius berupa kampanye
imunisasi oleh pemerintah, diperkirakan dari waktu ke waktu tingkat kesadaran
masyarakat Indonesia akan pentingnya imunisasi bagi anak kian menggembirakan.
Disayangkan bahwa
kesadaran yang secara logis diikuti dengan peningkatan jumlah kebutuhan akan
vaksin bagi anak-anak justru ditangkap pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab sebagai peluang menangguk keuntungan secara ilegal. Tambahan lagi,
ketika realitas menunjukkan harga (sebagian) vaksin masih dinilai tidak murah
oleh banyak kalangan, semakin terbuka celah bagi para pebisnis terlarang
untuk menghasilkan vaksin-vaksin berharga murah tapi palsu. Itulah yang
dibongkar Polri beberapa hari lalu.
Di samping dampaknya
yang sangat merugikan bagi perusahaan produsen vaksin-vaksin asli, vaksin
palsu menambah ancaman kelas berat utamanya terhadap kesehatan anak-anak,
selain obat-obatan palsu.
Hal itu semakin
merisaukan karena bukan semata-mata masalah produk palsu. Vaksin bagi
anak-anak ternyata juga bisa dibeli melalui situs belanja daring populer.
Ketersediaan vaksin di
situs umum tersebut nyata-nyata memperlihatkan tidak adanya safeguard yang dibutuhkan
untuk menjamin kesehatan anak dari serbaneka penyakit mematikan. Dengan kata
lain, vaksin yang diperjualbelikan secara sedemikian bebas pada akhirnya
tidak memberikan standar tentang mutu dan keaslian vaksin, pihak yang
benar-benar memiliki lisensi untuk membeli dan memberikannya ke anak, serta
antisipasi terhadap efek-efek buruk yang diakibatkan vaksin palsu tersebut.
Penegakan hukum
berarti mencari pihak-pihak yang bersalah dan kelak menjatuhkan sanksi pidana
kepada mereka. Itu sudah berjalan. Kerja kepolisian sangat diapresiasi. Namun,
pertanyaan yang jauh lebih krusial lagi ialah bagaimana prospek kesehatan
anak-anak yang belum dan sudah diimunisasi? Ini jelas bukan pertanyaan untuk
kepolisian. Otoritas kesehatan nasional yang harus memberikan jawaban.
Tanpa jawaban yang
meyakinkan, apalagi solusi tepat sasaran, niscaya ada berjuta-juta anak
Indonesia yang tidak imun terhadap penyakit-penyakit mematikan. Mereka yang
telah menerima vaksin palsu bahkan berpeluang mengidap penyakit lain, sebagai
akibat dari masuknya zat-zat berbahaya ke tubuh mereka. Mana kala imunitas
anak tidak terbangun, tinggal menunggu waktu sampai penyakit-penyakit yang
sebelumnya sudah teratasi akan mewabah kembali. Dari perspektif perlindungan
anak, hilir dari rentetan masalah itu ialah meningginya tingkat kematian
anak, betapa pun pemerintah telah menggalakkan program imunisasi nasional.
Apa boleh buat, ada
alasan kuat untuk waswas bahwa masalah di seputar vaksin seperti tertulis di
atas akan menjadi langkah mundur bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia
untuk merealisasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, khususnya poin ketiga,
menjamin dan mempromosikan kehidupan yang sehat bagi semua pihak. Padahal,
itu sudah menjadi komitmen global bahwa selambatnya pada 2030, negara-negara
dunia akan mampu menyediakan vaksin dan obat-obatan yang aman lagi efektif
bagi seluruh warga.
Merespons situasi yang
ditandai krisis vaksin tersebut menjadi ekspektasi besar terhadap pemerintah
untuk, pertama, melakukan pemeriksaan komprehensif terhadap persediaan vaksin
anak--khususnya yang termasuk daftar imunisasi wajib--di seluruh sentra
kesehatan yang menyelenggarakan layanan imunisasi anak. Harus selekasnya
dipastikan tidak ada lagi satu tetes pun vaksin palsu yang tertinggal,
apalagi diberikan kepada anak-anak.
Kedua, sebagai bentuk
sikap konsekuen pemerintah atas pengadaan imunisasi wajib, sudah seharusnya
pemerintah mengagendakan pemberian imunisasi ulang secara cuma-cuma. Sasarannya
ialah anak-anak yang telah menerima vaksin awal serta anak-anak yang sudah
memperoleh vaksin penguat (booster)
sejak pertama kali beredarnya vaksin palsu.
Ketiga, upaya untuk
melaksanakan poin kedua tersebut akan terbantu apabila Indonesia memiliki
basis data imunisasi nasional. Atas dasar itu, sudah tiba saatnya pemerintah
secara sungguh-sungguh mengadakan basis data nasional dimaksud. Basis data
tersebut dapat diintegrasikan dengan kartu identitas anak (KIA). Dengan KIA
yang terkoneksi ke basis data, seketika akan dapat ditelusuri riwayat
imunisasi anak, yakni waktu-waktu pemberian vaksin, dokter, maupun praktisi
medis pemberi vaksin, serta jenis dan merek vaksin.
Keempat, penegasan
ulang tentang kemutlakan bagi orangtua (pengasuh) untuk memenuhi seluruh
imunisasi yang diwajibkan bagi anak. Penegasan ini menjadi urgen karena
hingga kini masih ada kelompok-kelompok masyarakat yang menolak imunisasi
anak. Mereka, dengan rupa-rupa alasan, memilih memberikan kepada anak-anak
zat-zat dengan kandungan yang tidak terjelaskan secara kedokteran ilmiah.
Ketika orangtua
(pengasuh) mengabaikan keharusan untuk memberikan imunisasi wajib kepada
anak, itu setara dengan pengabaian terhadap kebutuhan anak untuk hidup sehat.
Kepada anak tersebut dapat dikenakan status sebagai anak korban pelakuan
salah dan penelantaran.
Pemerintah, pemerintah
daerah, dan lembaga negara lainnya wajib memberikan perlindungan khusus
sebagaimana perintah Undang-Undang Perlindungan Anak. Sementara itu, orangtua
(pengasuh) si anak dikenai ancaman pidana penjara dan/atau denda.
Kelima, karena pengadaan
vaksin palsu kiranya juga disebabkan harga vaksin yang mahal, kembali
dikaitkan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, pemerintah sudah
sewajarnya memperkuat dukungan bagi penelitian dan pengembangan vaksin.
Dukungan diberikan dalam rangka memperluas akses masyarakat ke berbagai
fasilitas kesehatan, termasuk ketersediaan vaksin yang berkualitas dan
berharga terjangkau.
Pada akhirnya,
kesadaran akan kesehatan anak-anak ialah sinonim dengan keinsafan akan masa
depan bangsa. Jika terlambat, potong--paling sedikit--satu generasi akan
menjadi ungkapan bermakna denotatif.
Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar