Rabu, 29 Juni 2016

Krisis Vaksin dan Ancaman Potong Generasi

Krisis Vaksin dan Ancaman Potong Generasi

Reza Indragiri Amriel ;   Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak,
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
                                              MEDIA INDONESIA, 28 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ADA gambaran getir yang tersaji dalam Laporan Tahunan Unicef Indonesia 2012. Di situ tertulis, Indonesia ialah negara terbesar ketiga dalam jumlah anak-anak yang belum diimunisasi. Namun, seiring dengan penyikapan serius berupa kampanye imunisasi oleh pemerintah, diperkirakan dari waktu ke waktu tingkat kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya imunisasi bagi anak kian menggembirakan.

Disayangkan bahwa kesadaran yang secara logis diikuti dengan peningkatan jumlah kebutuhan akan vaksin bagi anak-anak justru ditangkap pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai peluang menangguk keuntungan secara ilegal. Tambahan lagi, ketika realitas menunjukkan harga (sebagian) vaksin masih dinilai tidak murah oleh banyak kalangan, semakin terbuka celah bagi para pebisnis terlarang untuk menghasilkan vaksin-vaksin berharga murah tapi palsu. Itulah yang dibongkar Polri beberapa hari lalu.

Di samping dampaknya yang sangat merugikan bagi perusahaan produsen vaksin-vaksin asli, vaksin palsu menambah ancaman kelas berat utamanya terhadap kesehatan anak-anak, selain obat-obatan palsu.
Hal itu semakin merisaukan karena bukan semata-mata masalah produk palsu. Vaksin bagi anak-anak ternyata juga bisa dibeli melalui situs belanja daring populer.

Ketersediaan vaksin di situs umum tersebut nyata-nyata memperlihatkan tidak adanya safeguard yang dibutuhkan untuk menjamin kesehatan anak dari serbaneka penyakit mematikan. Dengan kata lain, vaksin yang diperjualbelikan secara sedemikian bebas pada akhirnya tidak memberikan standar tentang mutu dan keaslian vaksin, pihak yang benar-benar memiliki lisensi untuk membeli dan memberikannya ke anak, serta antisipasi terhadap efek-efek buruk yang diakibatkan vaksin palsu tersebut.

Penegakan hukum berarti mencari pihak-pihak yang bersalah dan kelak menjatuhkan sanksi pidana kepada mereka. Itu sudah berjalan. Kerja kepolisian sangat diapresiasi. Namun, pertanyaan yang jauh lebih krusial lagi ialah bagaimana prospek kesehatan anak-anak yang belum dan sudah diimunisasi? Ini jelas bukan pertanyaan untuk kepolisian. Otoritas kesehatan nasional yang harus memberikan jawaban.

Tanpa jawaban yang meyakinkan, apalagi solusi tepat sasaran, niscaya ada berjuta-juta anak Indonesia yang tidak imun terhadap penyakit-penyakit mematikan. Mereka yang telah menerima vaksin palsu bahkan berpeluang mengidap penyakit lain, sebagai akibat dari masuknya zat-zat berbahaya ke tubuh mereka. Mana kala imunitas anak tidak terbangun, tinggal menunggu waktu sampai penyakit-penyakit yang sebelumnya sudah teratasi akan mewabah kembali. Dari perspektif perlindungan anak, hilir dari rentetan masalah itu ialah meningginya tingkat kematian anak, betapa pun pemerintah telah menggalakkan program imunisasi nasional.

Apa boleh buat, ada alasan kuat untuk waswas bahwa masalah di seputar vaksin seperti tertulis di atas akan menjadi langkah mundur bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk merealisasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, khususnya poin ketiga, menjamin dan mempromosikan kehidupan yang sehat bagi semua pihak. Padahal, itu sudah menjadi komitmen global bahwa selambatnya pada 2030, negara-negara dunia akan mampu menyediakan vaksin dan obat-obatan yang aman lagi efektif bagi seluruh warga.

Merespons situasi yang ditandai krisis vaksin tersebut menjadi ekspektasi besar terhadap pemerintah untuk, pertama, melakukan pemeriksaan komprehensif terhadap persediaan vaksin anak--khususnya yang termasuk daftar imunisasi wajib--di seluruh sentra kesehatan yang menyelenggarakan layanan imunisasi anak. Harus selekasnya dipastikan tidak ada lagi satu tetes pun vaksin palsu yang tertinggal, apalagi diberikan kepada anak-anak.

Kedua, sebagai bentuk sikap konsekuen pemerintah atas pengadaan imunisasi wajib, sudah seharusnya pemerintah mengagendakan pemberian imunisasi ulang secara cuma-cuma. Sasarannya ialah anak-anak yang telah menerima vaksin awal serta anak-anak yang sudah memperoleh vaksin penguat (booster) sejak pertama kali beredarnya vaksin palsu.

Ketiga, upaya untuk melaksanakan poin kedua tersebut akan terbantu apabila Indonesia memiliki basis data imunisasi nasional. Atas dasar itu, sudah tiba saatnya pemerintah secara sungguh-sungguh mengadakan basis data nasional dimaksud. Basis data tersebut dapat diintegrasikan dengan kartu identitas anak (KIA). Dengan KIA yang terkoneksi ke basis data, seketika akan dapat ditelusuri riwayat imunisasi anak, yakni waktu-waktu pemberian vaksin, dokter, maupun praktisi medis pemberi vaksin, serta jenis dan merek vaksin.

Keempat, penegasan ulang tentang kemutlakan bagi orangtua (pengasuh) untuk memenuhi seluruh imunisasi yang diwajibkan bagi anak. Penegasan ini menjadi urgen karena hingga kini masih ada kelompok-kelompok masyarakat yang menolak imunisasi anak. Mereka, dengan rupa-rupa alasan, memilih memberikan kepada anak-anak zat-zat dengan kandungan yang tidak terjelaskan secara kedokteran ilmiah.

Ketika orangtua (pengasuh) mengabaikan keharusan untuk memberikan imunisasi wajib kepada anak, itu setara dengan pengabaian terhadap kebutuhan anak untuk hidup sehat. Kepada anak tersebut dapat dikenakan status sebagai anak korban pelakuan salah dan penelantaran.
Pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya wajib memberikan perlindungan khusus sebagaimana perintah Undang-Undang Perlindungan Anak. Sementara itu, orangtua (pengasuh) si anak dikenai ancaman pidana penjara dan/atau denda.

Kelima, karena pengadaan vaksin palsu kiranya juga disebabkan harga vaksin yang mahal, kembali dikaitkan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, pemerintah sudah sewajarnya memperkuat dukungan bagi penelitian dan pengembangan vaksin. Dukungan diberikan dalam rangka memperluas akses masyarakat ke berbagai fasilitas kesehatan, termasuk ketersediaan vaksin yang berkualitas dan berharga terjangkau.

Pada akhirnya, kesadaran akan kesehatan anak-anak ialah sinonim dengan keinsafan akan masa depan bangsa. Jika terlambat, potong--paling sedikit--satu generasi akan menjadi ungkapan bermakna denotatif.
Wallahualam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar