Polisi
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior
TEMPO
|
TEMPO.CO, 25 Juni
2016
Begitu mendengar Romo Imam pulang dari luar
negeri, saya langsung ke padepokannya. Beliau lagi menatap televisi.
"Sudah terang benderang Romo, tak akan ada yang menolak pencalonan Pak
Tito menjadi Kapolri. Kok, Romo masih mendengarkan pertanyaan wakil rakyat
yang bertele-tele itu?"
Romo tenang saja dengan keusilan saya. Juga
tidak memindahkan channel sebagaimana biasanya kalau saya sedang memprotes
apa yang beliau tonton di layar kaca. "Saya tak fokus mendengarkan apa
pertanyaan wakil rakyat," akhirnya Romo menanggapi juga. "Yang saya
pikirkan, Tito Karnavian tak bisa memenuhi harapan yang begitu besar dari
masyarakat. Memperbaiki citra polisi."
"Kenapa Romo pesimistis?" saya
bertanya. Romo mengecilkan suara televisi sebelum menjawab. "Karena
memperbaiki citra polisi tak sepenuhnya ada di tangan kepala kepolisian. Tito
bisa saja mengusulkan gaji dan tunjangan polisi naik seratus persen atau
lebih. Gaji pokok polisi sampai berpangkat ajun brigadir di bawah upah
minimun regional, di bawah dua juta rupiah. Kalaupun tunjangannya juga
dinaikkan, tak jauh-jauh amat. Gaji jenderal itu tak sampai enam juta.
Katakanlah ditambah ini dan itu, tak akan sampai dua puluh juta. Kalah oleh
gaji polisi negara tetangga yang terendah, tiga puluh juta. Kalau naik
terlalu tinggi, apa pemerintah mengabulkan? Anggaran di berbagai kementerian
sudah dipangkas. Kita lagi darurat anggaran."
Saya memotong, "Apakah memperbaiki citra
polisi itu harus dengan menaikkan gaji?" Romo langsung menyambar,
"Ya, itu pasti. Omong kosong citra polisi membaik kalau kesejahteraan
mereka buruk. Memangnya ada berapa polisi seperti Bripka Seladi yang nyambi
menjadi pemulung? Kejujuran sering kalah ketika perut lapar. Bukan lapar
karena puasa, tapi lapar karena tak ada yang dimakan. Polisi jujur seperti
Hugeng itu sudah tak ada. Buktinya, rencana membuat Hugeng Award batal karena
calon yang diduga ada, ternyata, tetap bermasalah."
"Padahal mensejahterakan polisi merupakan
salah satu program Pak Tito," saya bergumam. "Pak Tito bisa
melakukannya secara bertahap disesuaikan dengan anggaran, tapi ada instansi
lain yang turut menentukan," jawab Romo. "Tapi, andai kata gaji
polisi sudah naik, apakah masyarakat siap membantu polisi memperbaiki
citranya?"
"Apa kaitannya dengan masyarakat? Rakyat
senang polisi jujur," saya nyeletuk. Romo tertawa. "Masyarakat yang
lagi sakit ini punya andil besar menjerumuskan polisi. Sampeyan, kalau jelas
bersalah melanggar lalu lintas, apa mau ditilang? Antre di pengadilan karena
hakimnya terbatas, membayar denda tapi surat yang ditahan masih diurus ke
panitera, buang banyak waktu. Nyogok seratus ribu ke polisi pasti sampeyan
rela. Polisi mau disogok sampeyan hina: mata duitan. Polisi menolak, sampeyan
memaki: sombong, sok jujur. Polisi salah melulu."
Romo melanjutkan: "Itu baru polisi di
jalanan. Kalau yang punya jabatan, besar lagi godaannya. Setingkat kepala
sektor digoda bandar judi dan makelar minuman keras. Rumor yang beredar,
polisi yang pernah memegang jabatan kepala resor di kabupaten pasti punya
rumah pemberian pengembang. Apa ada jenderal polisi yang jatuh miskin?"
"Romo menakut-nakuti. Kita harus
mendukung Pak Tito untuk membersihkan korupsi di kepolisian. Hanya dengan itu
citra polisi baik," kata saya. "Ya, kita dukung," Romo
menyambar. "Tapi itu perlu waktu dan harapan yang besar ini janganlah
cepat ditagih. Pasti Presiden mengangkat Tito karena tahu, membenahi citra
polisi butuh waktu panjang, perlu Kapolri yang tak cepat pensiun." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar