Menguji Ketahanan Ekonomi
A Prasetyantoko ;
Ekonom di Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya Jakarta
|
KOMPAS, 27 Juni 2016
Beberapa jam setelah
hasil referendum diumumkan, banyak pendukung Brexit panik bergumul dengan
mesin pencari memahami apa itu Uni Eropa. Jadi, mereka membuat pilihan begitu
besar tanpa tahu duduk perkara sesungguhnya. Padahal, bagai pelatuk sudah
hela, peluru pun meluncur liar tak terkendalikan lagi.
Pasar bergejolak
keras, nilai tukar poundsterling Inggris terjun bebas, sementara Indeks The
Financial Times Stock Exchange (FTSE) 100 di pasar saham London terguncang
hebat. Lembaga pemeringkat Moody’s menurunkan proyeksi perekonomian Inggris
Raya dari stabil menjadi negatif.
Implikasi globalnya,
kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, tertahan.
Sementara Bank Sentral Jepang akan kembali membanjiri pasar dengan
likuiditas. Padahal, suku bunga di sebagian negara maju sudah begitu rendah.
Suku bunga negatif ditambah suntikan likuiditas dan kelesuan ekonomi
merupakan persamaan dari krisis.
Peringatan Larry
Summer, mantan penasihat ekonomi Presiden Obama, soal ”stagnasi sekuler”
menjadi relevan. Dana Moneter Internasional menerjemahkannya sebagai situasi
pertumbuhan ekonomi rendah terjadi dalam kurun waktu panjang. Mungkin inilah
takdir negara maju yang memang sudah sulit diungkit lagi kinerja ekonominya.
Masalahnya, situasi
ini juga berimbas pada negara berkembang. Situasi global ini, kalaupun tak
menyebabkan turbulensi, paling tidak menghambat laju perekonomian. Isu ini
yang tengah menjadi perhatian kita belakangan ini. Setelah pada triwulan
I-2016 hanya mampu tumbuh 4,9 persen, pertumbuhan di akhir tahun diperkirakan
tak lebih dari 5,1 persen. Jika ketidakpastian global terus berlanjut,
mungkin saja pertumbuhan ekonomi tertahan di bawah 5 persen.
Meski demikian, selalu
ada berkah dari setiap kesulitan. Dari dalam negeri dilaporkan, UU
Pengampunan Pajak akan segera disahkan. Menilik situasi global yang cenderung
tak bersahabat, perlu segera menggali sumber pertumbuhan domestik.
Diluncurkannya UU Pengampunan Pajak diharapkan menambah energi dalam dua hal,
yakni meningkatkan penerimaan pajak melalui tebusan dan repatriasi modal.
Situasi fiskal menjadi
salah satu titik lemah penting, yang jika tak dimitigasi dengan baik bisa
menimbulkan kerawanan pada perekonomian kita. Dari sisi moneter, sinyal
positif telah diluncurkan dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia
menjadi 6,5 persen. Pemerintah terus mendorong, bahkan berani menjanjikan,
pada Agustus, BI Rate akan menjadi 5 persen.
Pada sisi industri,
Paket Kebijakan Ekonomi I-XII juga telah memberi sinyal terjadinya
transformasi industri. Majalah The Economist (edisi 29/2/2016) melaporkan,
pada 2007 Indonesia tergolong negara paling tak bersahabat dengan modal asing
se-Asia Tenggara. Restriksi terhadap investasi asing meningkat dari 83
menjadi 338 aturan.
Melalui paket
kebijakan yang digulirkan, Presiden Joko Widodo menegaskan arah kebijakan
ekonomi menuju era kompetisi. Tak kurang dari 30 sektor ekonomi mengalami
deregulasi pada paket pertama. Paket kebijakan berikutnya menambah cakupan
deregulasi ke berbagai sektor lain yang lebih luas. Tujuannya, memberikan
sinyal pada investor swasta asing agar masuk.
Laporan tiga bulanan
Bank Dunia yang dirilis Juni lalu menyebutkan, ada dua agenda pokok yang
perlu mendapatkan perhatian. Pertama, tindak lanjut paket kebijakan ekonomi,
sehingga sungguh berdampak pada realisasi investasi asing. Kedua, reformasi
perpajakan agar mampu menambal defisit fiskal yang agak mengkhawatirkan.
Selain itu, dinamika
sektor perbankan juga perlu dicermati. Di tengah gejolak di sektor keuangan,
intervensi pemerintah ”merepresi” suku bunga kredit bisa menjadi
kontraproduktif. Neraca perbankan merupakan rujukan stabilitas perekonomian.
Jika ada satu atau dua bank saja gagal bayar, dampaknya bisa menyebar tak
terkendali.
Beruntungnya,
Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan telah disahkan
sehingga mekanisme penanganan krisis relatif jelas. Selain pembagian tugas
dan wewenang di antara regulator, juga penerapan sistem bail in atau
mekanisme pembiayaan internal dari perbankan sendiri jika terjadi masalah.
Dari sisi perbankan, kebijakan ini menambah biaya. Selama ini, jika ada
masalah, pemerintah mengambil alih dengan memberikan bail out atau dana
talangan.
Jadi, ketahanan
ekonomi kita relatif baik menghadapi guncangan eksternal. Berbagai perangkat
kebijakan telah disiapkan, termasuk koridor hukumnya. Justru yang harus
didudukkan secara baik adalah orientasi kebijakan pemerintah sendiri. Dalam
situasi seperti ini, tak bijaksana merepresi suku bunga satu digit serta
menggunakan anggaran tanpa perhitungan matang.
Intinya, bukan
seberapa kuat tekanan luar, tetapi seberapa mampu mengatasi persoalan
internal. Krisis pada akhirnya bukan perkara eksogen, melainkan endogen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar